" Status YM ""
ukm indonesia sukses: UKM Indonesia

Tampilkan postingan dengan label UKM Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UKM Indonesia. Tampilkan semua postingan

Tahan Panas, Buah Ajaib Gampang Dibudidayakan

Tanaman miracle fruit alias buah ajaib kini sedang naik daun. Tanaman ini populer berkat kemampuannya mengubah rasa di lidah menjadi manis. Lantaran khasiatnya itu, tanaman ini diyakini bisa membantu penderita diabetes.

Komoditas asal Afrika Barat ini juga banyak diburu kolektor tanaman karena tergolong tanaman unik. Tak heran, bila budidaya miracle fruit kini sedang ngetren.Deni Hadian, Kepala Pemasaran Sentra Tani Bogor, Jawa Barat bilang, budidaya buah ajaib tergolong mudah. Tanaman ini gampang tumbuh dan tidak memerlukan air dalam jumlah banyak. Dan sesuai cuaca di negara asalnya, buah ajaib bisa dikembangkan di daerah yang cuacanya panas.

Kendati demikian, lahannya harus subur agar tanaman tumbuh subur. Sebelum ditanam, tanahnya harus digemburkan terlebih dahulu. ''Penyiraman cukup dua kali kali sehari jika panas, dan jika musim hujan tidak perlu disiram,“ kata Deni.

Tanaman ini juga tidak memerlukan lahan yang luas bahkan bisa dibudidayakan dengan menggunakan pot saja. Soalnya, miracle fruit  tergolong tanaman perdu yang tinggi maksimal hanya 1 meter dan ukurannya kecil.Bila di tanam di lahan, jarak tanam antar pohon minimal 2 x 1 meter persegi (m²).  Tanaman ini cukup lama berbuahnya. Deni menyatakan, perlu waktu sekitar tiga hingga empat tahun menunggu tanaman ini berbuah.

Saat itu, tinggi pohon buah ajaib Deni sudah mencapai 40 centimeter (cm)-60 cm. Setelah buah pertama, buah ajaib akan berbuah terus sepanjang tahun. “Semakin tua pohonnya semakin banyak buahnya, sekitar 10 hingga 20 buah per pohon,“ cerita Deni.

Menurut Deni, khusus buah ajaib berdaun kecil dapat berbuah lebih cepat, yakni satu tahun. Untuk hama, Anda hanya harus waspada dengan keberadaan kutu daun. ''Biasanya sudah ada di daun dan pangkal buah,“ tukasnya.

Dian Lestari, pemilik Harvin Green asal Bogor, Jawa Barat mengakui, budidaya miracle fruit tidak sulit. "Perawatannya tidak terlalu banyak, tetapi memang agak lama menunggu berbuah,“ ujar Dian.

Layaknya tanaman perdu, pembiayaan dilakukan dengan biji. Tanaman miracle fruit tidak bisa distek ataupun juga dibiakkan dengan okulasi. Persoalannya, biji tanaman buah ajaib ini belum banyak dijual. Maka tidak jarang orang harus mengimpornya biji tanaman itu.

Sementara bagi pembudidaya lama, harus menunggu biji dari tanaman yang sudah berbuah. Menurut Dian, pemupukan buah ajaib cukup lakukan sebulan sekali. Penggunaan pupuk kandang lebih dianjurkan

Sumber : kompas
 
 

Tawaran Usaha Ayam Tulang Lunak Desyinof

Ayam termasuk makanan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Maklum, ayam bisa diolah menjadi aneka menu. Selain digoreng dan dibakar, juga bisa diolah jadi ayam tulang lunak. Salah satu pebisnis yang tertarik menjajal usaha ini adalah Ahmad Dalail di Bekasi.

Ia mendirikan gerai Ayam Tulang Lunak Desyinof pada awal tahun ini. "Tapi embrionya sudah ada sejak 2006. Dulu kami buat rumah makan,  tapi belum fokus ke ayam tulang lunak," ujar Ahmad.

Meski demikian, gerai Desyinof tidak hanya menyajikan ayam tulang lunak, tapi juga dilengkapi menu bebek goreng dan burung puyuh goreng. Satu porsi menu dibanderol berkisar Rp 14.500 hingga Rp 26.000.

Sejak awal membuka usaha, Ahmad langsung menawarkan kemitraan. Tak heran, kini sudah ada 28  gerai Desyinof yang tersebar di Bekasi, Bogor dan Jakarta. Empat gerai diantaranya miliki pusat, sisanya milik mitra.

Tertarik bermitra dengan Desyinof? Ada tiga paket investasi yang ditawarkan, yaitu paket golden senilai Rp 14,5 juta, paket silver senilai Rp 11 juta dan bronze Rp 3,5 juta.Untuk paket golden, mitra akan mendapat paket lengkap, berupa booth, bahan baku awal, perlengkapan masak dan berjualan, serta perlengkapan promosi.

Lalu, mitra yang membeli paket silver juga akan mendapat perlengkapan yang tidak berbeda jauh dengan golden. Bedanya, ukuran booth lebih kecil, dan tidak dapat cooler box.Sedangkan, pada paket bronze, ditujukan bagi mitra yang telah memiliki tempat berjualan dan menjadikan produk Desyinof sebagai tambahan jualan. "Mitra hanya mendapat bahan baku. Mereka juga harus menyediakan freezer boks sendiri," ujar Ahmad.

Ia memperkirakan, mitra bisa meraih omzet berkisar Rp 500.000 hingga Rp 2 juta sehari. Dengan asumsi omzet per bulan Rp 15 juta, dan keuntungan bersih 27 persen, diharapkan mitra bisa balik modal dalam 4 bulan.

Ahmad tidak mengutip biaya royalti. Namun, mitra wajib membeli bahan baku dari pusat.

Sumber : Kompas
 

Dulu Berjualan di Jalan, Kini Punya Swalayan

Berawal dari jualan di pinggir jalan dengan modal Rp 300.000, Riza Rizki Adhiyaksa (30) akhirnya bisa memiliki swalayan. Bahkan ia pernah meraup omzet tertinggi dalam sebulan mencapai Rp 750 juta.

Kesuksesannya ini menjadi inspirasi hingga ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai talkshow mengenai peluang usaha di industri kreatif.Nanutz Mania menjadi brand usaha makanan ringan yang dirintis Riza pada Maret 2011. Ayah dua orang anak ini mengatakan dirinya terinspirasi dari lagu boyband Smash berjudul Cinta Cenat Cenut.

"Produk awal saya kan sebenarnya nachos. Saya sempat bingung cari nama. Waktu saya sedang menggoreng, dengar radio tetangga sedang diputar lagu Smash yang Cinta Cenat Cenut. Lalu saya satukan, Nachos Cenat Cenut menjadi Nanutz," ujar Riza kepada Tribun di kantornya di Swalayan Nanutz Mania, Jalan Babakan Ciparay 243, pekan lalu.

Produk Nanutz Mania ini beragam, mulai dari mi nyere sebagai andalan, pangsit goreng atau nachos, keripik sosis, keripik kulit ayam, keripik bayem yang diberi nama Mariyu Bayem dan belasan produk lainnya. Mi nyere itu sendiri memiliki 18 varian rasa.

"Kami berusaha agar brand ini tetap fun dan aman. Artinya, ketika sedang booming keripik singkong, kami membuat mi nyere. Makanan tradisional khas Sunda ini oleh Nanutz dimodernisasikan dengan berbagai varian rasa hingga bentuk dan packaging. Kami juga jual mi nyere yang warna-warni. Kami pelopor mi nyere modern di Indonesia," kata Riza.

Dalam memasarkan produknya, Riza fokus pada penjualan melalui agen dan online. Swalayan di Jalan Babakan Ciparay 243 pun baru dibuka pada Maret 2013 sebagai tempat penjualan offline. Di daerah Mekarwangi pun ada gerai Nanutz Mania. Saat ini, ia sudah bermitra dengan 75 orang agen y di 28 provinsi, hingga ke luar negeri, seperti Jepang, Australia dan Belanda.

"Nanutz ini jual offline baru sekarang. Dari awal berdiri jualnya melalui online. Saya sampai korbankan akun Facebook saya yang sudah ada 5.000 teman. Facebook saya diganti fotonya tiba-tiba dengan foto Nanutz, sampai orang pada kaget. Itu strategi  murah dan efektif. Punya uang 2.500, tinggal ke warnet saja," ujarnya sambil tertawa.

Setiap harinya, dapur produksi Riza yang ditopang 28 pekerja bisa mencapai 1.400-2.000 produk, itu pun yang sudah melalui tahap quality control. Ia mengatakan pernah menggunakan mesin untuk produksi lebih banyak, namun hasilnya tak seenak bikinan tangan. Ia pun kembali mengandalkan dapurnya untuk hasil sempurna.

Hingga hari ini, Riza pun masih berkutat di dapur setiap pagi untuk membuat bumbu. Ia mengatakan tak ingin seperti pengusaha pada umumnya, yang meninggalkan dapur ketika sudah merasa sukses.

Perjalanan Riza selama dua tahun merintis usaha keripik cukup sulit. Sebelum mengangkat merek Nanutz Mania, ia awalnya berjualan di pinggir jalan hingga sering kehujanan dan diusir Satpol PP. Tak habis akal, ia pun ikut berjualan di ajang car free day dan pasar malam, hingga punya teknik jitu. "Teknik saya, saat MaIcih lagi ikut pameran, saya ikutan. Ma Icih di dalam booth, saya di luar tenda di tempat parkir. Nggak ikut bayar booth," ungkapnya.

Baginya, kesuksesan produk Ma Icih menjadi inspirasi dan panutan.

Sumber : kompas
 
 

Dari Pecinta Batik, Kini Beromzet Rp 100 Juta

Berawal saat diberikan batik oleh ibundanya, Soedjadi pun menjadi pecinta batik. Dari kecintaannya terhadap salah satu warisan budaya Indonesia ini, wanita berusia 75 tahun ini pun membuka usaha batik. Bahkan kini omzet usahanya sudah mencapaip Rp 100 juta per bulannya.

Soedjadi telah membuka usaha kain batik sejak 40 tahun silam, saat ia berusia 35 tahun. Ia mengaku sangat mengagumi keindahan batik yang akhirnya mulai merintis usahanya yang kini sudah mempunyai 23 karyawan.

"Awalnya karena dikasih kain batik oleh ibu saya. Semenjak itu saya mulai mengagumi keindahan kain itu. Ketika saya pakai batik, banyak orang (turis mancanegara) yang menanyakan, itu kain apa sih?. Mereka sangat menyukainya. Semenjak itu saya berpikir untuk memproduksi batik sendiri," katanya saat ditemui di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (17/7/2013).

Kini ia sudah mempunyai sebuah toko yang menjual aneka jenis kain batik, khususnya batik Cirebon di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Blok M. Kain-kain batik tersebut dijual dengan beberapa variasi harga. Mulai dari paling harga terendah yakni Rp 2,5 juta, hingga Rp 25 juta.

Soedjadi memproduksi kain batik di rumahnya di Cirebon, Jawa Barat. Untuk sekali produksi, memerlukan waktu antara tiga sampai empat bulan.Selain membuka sebuah toko, batik-batik koleksinya juga dipajang di rumahnya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Soedjadi juga melayani pemesanan dengan request corak dan warna. Dalam sebulan, Soedjadi dapat menjual sekitar 20 batik.

"Kebanyakan memang yang pesan corak daripada beli langsung di toko. Biasanya langganan. Kalau yang mesan-mesan itu biasanya orang luar, seperti Jepang atau Eropa. Mereka sangat suka dengan keindahannya," ujarnya.

Nenek yang telah dikaruniai delapan orang cucu ini mengakui, dirinya lebih mementingkan keindahan batik daripada sibuk mengurusi usahanya. Hingga kini, ia telah mempunyai ratusan koleksi batik pribadinya yang berasal dari berbagai daerah.

"Saya mah melihat batik saja sudah senang. Batik itu adalah karya seni yang sangat luar biasa. Sekarang saya sudah tidak terlalu memikirkan produksi. Kalau impas yasudah, kalau untung Alhamdulillah," kata Soedjadi seraya tersenyum.

Soedjadi berpendapat, seiring berjalannya waktu, perkembangan batik Indonesia kian naik pamornya. Saat ini batik sudah menjadi trend berbusana masyarakat Indonesia.Akan tetapi ia menyayangkan dengan makin berkembangnya batik, semakin menjamur pula produksi batik dengan kualitas rendah. Hal ini menurutnya akan berdampak pada penilaian orang terhadap kualitas dan keindahan batik itu sendiri.

Walau sudah banyak orang yang menjual batik dengan harga murah, Soedjadi mengaku tidak takut bersaing. Dirinya akan tetap mempertahankan kualitas batik walau harganya jauh lebih mahal ketimbang batik-batik yang dijual pada umumnya.

"Saya tidak takut bersaing dengan batik-batik murah. Saya tetap akan mempertahankan kualitas batik. Karena memang itulah batik yang sebenarnya. Kalau orang yang mengerti batik, dia tidak mau beli batik yang murah. Dia akan membeli batik dengan kualitas bagus, karena seni itu mahal," sebut Soedjadi.

Sumber : kompas

Berawal dari Hobi, Ryan Kini "Raja" Cajon Beromzet Belasan Juta

Memulai bisnis kadang didasari oleh hal sederhana, hobi misalnya. Hobi bermusik dapat menjadi inspirasi untuk memulai usaha. Koning Percussion adalah salah satu contoh wirausaha yang didirikan atas dasar hobi. Ryan Ade Pratama telah lama menjadi bagian dunia musik, khususnya drum.

Tahun 2008, cajon, yang merupakan alat musik instrumen perkusi, mulai populer di Indonesia. Namun, harga cajon selangit. Barangnya pun sulit diperoleh. "Kalaupun ada ya impor. Teman-teman saya di kursus dan komunitas (drumer) mengeluh tingginya harga cajon. Rata-rata harganya Rp 2 juta sampai Rp 5 juta atau Rp 6 jutaan. Dari situ, saya mulai coba belajar kreatif untuk membuat cajon sendiri," kata pria yang akrab dipanggil Ryan ini, di kediaman sekaligus kantornya di kawasan Kalibata, Jakarta, akhir pekan lalu.

Nama Koning dipilih Ryan karena latar belakang pendidikannya kuliah di program studi Belanda. Koning dalam bahasa Belanda berarti "raja". Tahun 2010, Ryan yang waktu itu masih mahasiswa memulai usahanya dengan modal dari uang sakunya sendiri.

"Waktu itu bikin karena harus beli bahan dengan jumlah banyak. Tripleks kan harus dibeli selembar besar itu. Jadi, saya sekali bikin bisa 4, 2 untuk saya dan teman, sisanya dijual. Dijualnya pun ke komunitas sendiri. Ternyata responsnya bagus, jadi ya diteruskan sampai sekarang," ungkap Ryan.

Koning Percussion disebut Ryan tak hanya perajin. Ia mengarahkan usahanya ini untuk industri. Karenanya, ia tak main-main dalam hal produksi. Ia pun tak gentar dengan bermunculan usaha serupa.  Menurutnya, usaha cajon yang benar-benar serius dikembangkan bisa dihitung jari.

Ryan mengaku selain melakukan riset, ia pun terus berinovasi dalam mengembangkan usaha. Saat ini, ia sudah memproduksi 11 tipe cajon. "Itu semua untuk memenuhi segala genre musik. Kita bikin (cajon) untuk semua aliran musik," katanya.

Selain cajon, Ryan juga memproduksi gig bag atau softcase dengan merk Carney. Softcase produksinya ini juga diperuntukkan untuk segala alat musik.

Awalnya, ia mengaku agak kesulitan untuk memasarkan produknya secara luas karena alat musik ini waktu itu masih "barang baru" yang belum banyak dikenal orang. "Saat pertama kali produksi, banyak orang yang tanya 'Mas, bikin salon (speaker) ya Mas?' Karena terdapat lubang pada cajon jadi dikira speaker. Drumer-drumer juga enggak banyak yang tahu cajon itu alat musik ritmik.  Kendala kedua, pemasaran. Awalnya promosi cuma dari mulut ke mulut, tetapi kemudian pakai media online, jadi lumayan terbantu," ujar dia.

Sarjana lulusan Universitas Indonesia ini pun memanfaatkan media sosial dengan promosi di Twitter, Facebook, dan pasang iklan berbayar di internet untuk memperluas pemasaran produknya. Selain itu, ia juga promosi ke stasiun radio, mengikuti bazar, mensponsori acara musik, dan meng-endorse beberapa musisi, seperti Deni "Hijau Daun" dan Andi "Seventeen".

Ia juga membuka diri bagi reseller yang ingin bekerja sama. Saat ini, ada sekitar 15 titik penjualan yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Tahun ini ia akan memperluas jaringan produksinya di Jawa dan Bali.

Sebagai pelayanan, Ryan juga memberikan potongan ongkos kirim dan delivery jika area kirim masih terjangkau. Ia pun melayani cash on delivery (COD).

Ryan, yang kini mempunyai empat karyawan, dalam sebulan dapat memproduksi 50 sampai 60 unit cajon dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 1,2 juta. Dalam sebulan, ia bisa menjual antara 30 hingga 35 unit cajon sehingga ia pun bisa meraup omzet mencapai Rp 18 juta sebulan.

Anak muda ini pun berbagi tips untuk yang ingin berwirausaha. Menurutnya, yang paling penting adalah jangan takut untuk memulai. "Memulai usaha itu susah-susah gampang. Susah kalau kita kebanyakan mikir, gampang kalau kita enggak pakai mikir dan langsung mulai. Sekarang banyak pengusaha muda, tapi mau enaknya saja, mau langsung sukses. Yang terpenting adalah mulai dulu, apa pun usahanya berapa pun modalnya. Kedua, tahan mental. Kalau rugi, jangan stuck, karena sebenarnya kita mendapat modal baru. Bukan uang, tapi pengetahuan dan pengalaman," tandasnya.


Sumber : kompas
 
 

17 Wirausahawan Indonesia Dapat Penghargaan

Enterprise Asia memberikan penghargaan bagi 17 wirausahawan Indonesia, Sabtu (13/4/2013) malam, di Hotel JW Marriot. Malam penganugerahan dibuka Presiden Enterprise Asia William Ng dan juga dihadiri CMO dari PAS FM yang merupakan co-organizer dari Asia Pacifif Entrepreneurship Awards 2013 Robert Saputra.

Ke-17 wirausahawan itu adalah:

1. Noni Sri Ayati Purnomo (Vice President of Blue Birds Group),
2. Mugi Rahardjo (President Director of PT Dinamika Energitama Nusantara),
3. Brian Yaputra (President of Eztu Glass Art 1981),
4. Johnnie Sugiarto (President Director & CEO of PT El John Indonesia),
5. Lau Chia Nguang (President Director of PT Malindo Feedmill Tbk),
6. Nanda Widya (President Director of PT Metropolitan Land Tbk),
7. Eva Kurniaty (President Commissioner of Multi Niaga Sukses),
8. Yanurmal (Director of Asia Wisata),
9. Rocky J Pesik (CEO of Caraka Group),
10. Iwan Suhermin (Director of PT Babybelle Jaya Lestari),
11. Yantje Wongso (Director of Biru Semesta Abadi),
12. Teguh Ariwibowo (CEO of PT Dharmavoila Indonesia Prakarsa),
13. Tito Kadaryanto (President Director of PT Indolima Perkasa),
14. Susanna S Hartawan (President Director of PT NBO Indonesia),
15. M Akbar Djohan (CEO of Multi Angkutan Express),
16. Wempy Dyocta Koto (CEO of PT Wardour and Oxford,
17. Arie Mone (Owner of Usaha Anak Bangsa).

"Penghargaan ini merupakan kebanggaan bagi kami. Kami akan lebih bekerja keras untuk mengembangkan usaha kami di bidang perkapalan. Indonesia adalah negara kepulauan dan memerlukan kapal untuk mengangkut berbagai hasil tambang yang ada," kata Eva Kurniaty di sela acara penghargaan.

Enterprise Asia adalah organisasi non pemerintah yang memiliki misi membantu perkembangan kewirausahaan di kawasan Asia. 
 
Inspirasi >> Yuuk Siapa Nyusul Jadi Pengusaha Sukses
 
 

Laba mengiurkan dari air liur lebah

Lebah tergolong jenis  serangga yang menghasilkan banyak produk alami yang berkhasiat buat kesehatan tubuh manusia. Salah satunya adalah propolis yang kini menjadi produk kesehatan alternatif yang diminati masyarakat.

Propolis dikumpulkan oleh lebah dari tumbuh-tumbuhan atau pucuk muda dan kulit pohon, terutama pohon popular lalu dicampurkan dengan air liurnya. Cairan itu digunakan lebah untuk menambal lubang di sarangnya, sekaligus melindungi sarang lebah dari serangan virus, bakteri dan jamur.

Sebagai obat herbal, propolis dipercaya mengandung banyak khasiat kesehatan bagi tubuh, seperti antioksidan, antitoksin, antibiotik, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.Lebah trigona merupakan penghasil propolis yang paling terkenal. Seiring tingginya permintaan propolis di pasaran, budidaya lebah ini pun makin diminati. Lebah trigona memiliki tubuh lebih kecil dibandingkan lebah madu. Jenis lebah ini bisa menghasilkan cairan propolis lima kali lipat lebih banyak dari lebah madu.

"Sekarang banyak yang tertarik membudidayakan lebah ini buat diambil propolisnya," kata Wiyadi Suprihatin, yang sudah membudidayakan lebah trigona sejak tahun 2009 di Pandeglang, Banten.Awalnya, ia melihat lebah ini cukup banyak di wilayahnya. Ketika itu, propolis belum populer sebagai obat herbal, sehingga lebah ini dianggap kurang menarik karena menghasilkan madu lebih sedikit.

Namun, Wiyadi mengaku, tetap tertarik menangkarkan lebah trigona karena melihat banyaknya habitat lebah ini di daerahnya. Keputusannya itu tidak salah. Terbukti, propolis kini populer dan harganya terus merangkak naik. Kini, Wiyadi menjual bibit trigona beserta ratu dalam satu koloni.

Untuk satu koloni dalam kotak berukuran 25 centimeter (cm) x 20 cm x 20 cm dijualnya seharga Rp 150.000 per kotak. Pelanggannya berasal dari banyak daerah, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Dari penjualan bibit lebah trigona, Wiyadi bisa mengantongi omzet Rp 5 juta-Rp 12 juta per bulan.

Peternak lainnya adalah Hariyono asal Malang, Jawa Timur. Ia mengembangkan lebah trigona di bawah bendera usaha Tawon Rimba Raya sejak tahun 1980. Selain menghasilkan propolis dan madu, lebah ini digemari karena perawatannya mudah dan tak bersengat.  "Lebah ini juga sangat kuat dan mudah merawatnya," tutur Hariyono.

Sama seperti Wiyadi, Hariyono juga menjual bibit lebah trigona. Ia menjual satu koloni bibit trigona mulai dari Rp 60.000 sampai dengan Rp 450.000, tergantung jumlah koloni lebah. Dalam sebulan, omzet Hariyono dari penangkaran lebah trigona bisa mencapai Rp 10  juta. 
 
Inspirasi
 

Bisnis ayam cemani


CetakAyam goreng berbalut tepung sudah tidak asing lagi di lidah masyarakat Indonesia. Rasanya yang gurih membuat kudapan ini banyak digemari orang sebagai lauk makan. Tak heran, bila banyak pelaku usaha kuliner melirik menu olahan ayam ini sebagai larang bisnis.

Salah satunya adalah Agus Sucipto di Bekasi, Jawa Barat. Ia sudah menekuni usaha ayam goreng krispi sejak 1999 dengan merek Cemani Fried Chicken. Sejak 2010 lalu, Cemani Fried Chicken resmi membuka peluang kemitraan. Kini, total gerai Cemani sudah ada tujuh. Rinciannya, lima gerai milik mitra dan dua milik sendiri.

Cemani menawarkan dua paket kemitraan. Pertama, paket senilai Rp 3 juta. Biaya investasi itu dipakai sebagai biaya pendampingan, pelatihan mitra, dan biaya survey lokasi. Untuk perlengkapan usaha, mitra mendapat fasilitas pinjaman booth dan peralatan masak. "Paket ini khusus untuk orang-orang yang di-PHK dan komitmen berwirausaha,” kata Agus.

Kedua, paket dengan biaya investasi Rp 9 juta. Mitra akan mendapatkan booth, peralatan masak, pendampingan, pelatihan, dan survei lokasi. Cemani tidak memungut biaya royalti dari mitra. Agus mengklaim, rata-rata gerai Cemani meraup omzet mulai Rp 450.000 – Rp 1,2 juta per hari.

Dengan laba bersih Rp 20 persen, mitra diperkirakan balik modal dalam waktu dua bulan hingga enam bulan. Cemani menyajikan menu ayam goreng kripsi plus nasi. Untuk setiap potong ayam dihargai Rp 5.000 – Rp 6.000. Sementara harga nasi dibanderol Rp 3.500 per porsi.

“Dari riset saya, harga ini di bawah harga pasaran, tapi kualitasnya sama dengan produk yang disediakan di restoran cepat saji yang sudah terkenal,” klaimnya.Meski sudah berjalan lama, Agus mengakui mitranya belum terlalu banyak. Pasalnya, selama ini pemasaran Cemani hanya dari mulut ke mulut. Baru sebulan belakangan, Agus memasang iklan di beberapa situs di internet. Targetnya hingga tutup tahun ini bisa menggaet minimal 15 mitra baru.  
 
Inspirasi
 

Denni, Menciptakan Makanan Khas Batam


Dalam dua setengah tahun, bisnis Denni Delyandri (28) berkembang pesat. Saat ini, ia sudah memiliki empat gerai untuk menjual kue pisang atau kek (cake) pisang. Kini, ia dan istrinya, Selvi Nurlia (28), bersama para pekerja mampu memproduksi 600 loyang kue pisang dengan omzet penjualan rata-rata Rp 20 juta per hari. Beberapa penghargaan diraihnya. Salah satunya adalah juara III tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri.

Denni sebenarnya bukan seorang koki atau pembuat kue. Latar belakang pendidikannya sarjana teknik elektro. Sejak tahun 2003, ia bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan elektronik di Batam dengan gaji pokok sekitar Rp 1,2 juta per bulan.

Akan tetapi, kerisauan dan ketidakpuasan menjadi seorang karyawan membuat dirinya mampu mengubah pola pikir. "Setelah lulus kuliah, saya bekerja di pabrik dengan sistem shift. Saya berpikir, kok cuma begini- begini saja," katanya.Bekerja shift dengan penghasilan yang tidak terlalu besar sering kali membuat pekerja bosan. Ia pun mulai berpikir untuk bisa berusaha untuk menambah penghasilan. Di tengah kesibukan sebagai karyawan, akhir 2004, Denni menjual kerupuk udang yang diambil dari orang lain.

"Waktu berangkat kerja, saya titip saja di warung-warung di sekitar pabrik di Mukakuning. Setelah pulang kerja, saya ambil uangnya," kata Denni. Penghasilan penjualan kerupuk udang pun lumayan, yaitu sekitar Rp 800.000 per bulan atau lebih dari separuh dari gaji pokok.Namun, pekerjaan sambilan itu hanya dilakukan sekitar empat bulan. Kesibukan di pabrik dengan kerja shift tidak lagi dapat memberi peluang untuk bisnis sambilan. Sementara itu, istrinya pun sedang mengandung.

Denni kemudian mencobaberjualan kue onde-onde yang juga diambil dari orang lain. Pekerjaan sambilan itu pun hanya dilakukan beberapa bulan.Akhir 2005, keinginan untuk berwiraswasta mulai dirintis lagi. Dengan uang pinjaman dari koperasi karyawan sebesar Rp 10 juta, ia memulai usaha rumah makan padang. Namun, bisnis rumah makan yang dibuka di depan rumah hanya berlangsung dua bulan."Strateginya salah. Di situ sudah ada dua rumah makan, tetapi saya buat di situ lagi," kata Denny. Tambahan modal untuk menyuntik usaha pun tidak ada lagi. Akhirnya, aset rumah makan dijual senilai Rp 5 juta kepada rekannya.

Baca buku

Jatuh bangun untuk memulai usaha tidak membuat dirinya patah arang. Apa yang mendorong Denni untuk terus-menerus berusaha dan memulai sesuatu yang baru?Menurut Denni, dia membaca buku Rich Dad and Poor Dad karangan Robert T Kiyosaki. Buku yang spektakuler itu memberikan inspirasi bagi dia.Pesan yang diambil dalam buku itu adalah bahwa seseorang harus berpikiran positif, berani menempuh suatu perjalanan yang baru, dan selalu berani menangkap peluang. Itulah yang memotivasi dan membuat Denni mampu bertahan dalam jatuh dan bangun lagi untuk memulai suatu usaha.

Setelah gagal berbisnis rumah makan padang, ia memulai lagiusaha event organizer (EO) pada April 2006. Pada mulanya, bisnis itu memang cukup menguntungkan. Pekerjaan sebagai karyawan di perusahaan elektronik pun ditinggalkan pada Juli 2006.Bisnis itu terus digeluti. "Saya pernah mendapat keuntungan Rp 10 juta-Rp 15 juta dalam satu event," katanya.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, mencari sponsor pun tidak semudah yang dibayangkan. Kelelahan untuk mencari sponsor membuat pekerjaan sebagai EO pun ditinggalkan pada September 2006.
Denni pulang ke kampung halaman di Padang saat Lebaran tahun 2006. Setelah pulang kampung, ia kembali ke Batam dan mencoba bisnis kue pisang. Kue pisang itu dibuat oleh istrinya, Selvi. Pada mulanya, kue- kue pisang yang dibuat hanya ditawarkan kepada tetangga.

Dengan berbagai buku manajemen dan marketing yang "dilahapnya", termasuk kemampuan menangkap peluang, Denni mulai menjalankan pemasaran kue pisang.Kue pisang difoto dan ditawarkan kepada teman-teman untuk dijual dengan imbalan Rp 3.000 dari harga kue Rp 15.000 per potong. Dengan berbekal foto-foto itu, teman-temannyamenawarkan kue ke pabrik-pabrik.

Suatu saat, ia pun mendapat pesanan kue pisang sebanyak 40 potong. Pesanan yang cukup mengagetkan itu membuat Denni dan istri kewalahan memenuhinya."Oven untuk membuat kue di rumah terlalu kecil. Jadi, saya dan istri harus bergadang sampai pagi untuk membuat kue dan memenuhi pesanan itu. Rumah pun sudah seperti kapal pecah," kata Denni. Saat itu, dia tinggal di Perumahan Villa Mukakuning.Setelah berjalan dua minggu sejak pesanan kue sebanyak 40 potong itu, ia pun membeli oven yang lebih besar seharga Rp 3,5juta dengan cara pembayaran dicicil.

Usaha kue pisang yang dijalankannya terus berkembang. Pesanan juga terus bertambah. Awal 2007, pesanan kue pisang sudah mencapai 100-150 loyang per hari.Untuk memperluas usaha, ia pun mencoba mencari kredit dari bank. Pinjaman sebesar Rp 40 juta diperoleh dari Bank Danamon yang digunakan untuk menyewa rumah toko (ruko) di Mukakuning.

Pada suatu waktu, ada pembeli yang ingin membeli kue pisang untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Saat itulah Denni mulai berpikir bahwa kue pisang yang dibuatnya dapat menjadi oleh-oleh dari Batam sebagai makanan khas. Apalagi, Batam belum memiliki makanan yang khas.Dengan keberaniannya, ia pun memasang iklan billboard. Melalui iklan itu, ia berani mengklaim atau menjadikan kue pisang sebagai makanan khas Batam.

Slogan yang dibuat untuk produk yang dijual Denni adalah "Batam, ya kek pisang Villa". Istilah "Villa" berasal dari nama tempat ia membuat kek pisang, yaitu Perumahan Villa Mukakuning, Batam.
Dengan slogan dan strategipemasaran, Denny pun telah menciptakan produk dan merek tersendiri. Hak paten merek itu juga sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual.

38 karyawan
Masyarakat pun, baik penduduk Batam, pendatang, maupun para turis, semakin ingin mengetahui kue pisang buatan Denni. Untuk menarik turis ke gerai-gerai kek pisang, Denni pun bekerja sama dengan perusahaan atau agen perjalanan wisata. Dengan cara itu, bisnis kue pisang pun semakin berkembang. Kini di Batam Center sudah ada dua ruko yang menjual kue pisang buatan Denni.

Pertengahan 2008, Denni mendapat kredit lagi sebesar Rp 500 juta dari Bank Bukopin untuk memperluas usaha. Uang itu digunakan untuk menyewa ruko, outlet, dan membeli peralatan produksi. Kini, dia sudah memiliki empat gerai. "Saya mau tambah satu outlet lagi dibandara sehingga nanti menjadi lima outlet," katanya.

Perkembangan gerai-gerai itu tentu disambut positif oleh Pemerintah Kota Batam. Apalagi, Pemkot Batam sedang gencar-gencarnya mencanangkan "Visit Batam 2010".Dengan outlet-outlet "makanan khas" Batam diharapkan para turis atau pendatang yang datang ke Batam dapat menemukan oleh-oleh untuk dibawa pulang, yaitu "Kek Pisang Villa".

Usaha mandiri kek pisang itu juga mendapat respons positif dan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kepulauan Riau.
Terakhir, ia mendapat penghargaan sebagai juara III tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri yang diberikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Denni yang dulu menjadi karyawan perusahaan elektronik itu kini tumbuh sebagai usahawan muda yang mempekerjakan 38 orang.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kompas Cetak

Antara Tahu Organik dan Matematika

 
Bertemu Rudik Setiawan seperti jumpa tempayan tumpah. Ia dengan murah hati berbagi  pemikiran, pengalaman bisnis, teori, bahkan rahasia bisnisnya.  Belum lama bicara, ia minta secarik kertas dan pena. Ia lalu membuat skema konsep bisnisnya, latar belakang teori, nama-nama ahli dibalik teori itu dan  tahun bukunya.



Ia membuat skema bisnis model canvas dari  pakar manajemen Alexander Osterwalder (2010), salah satu  strategi manajemen yang biasa diajarkan pada program pascasarjana. Ia terapkan pada pabrik tahunya. Aksi itu membuat orang lain bisa membaca peta bisnisnya dengan cepat.
Karakternya itu melengkapi kontras antara bidang studi yang ia tempuh, sebagai sarjana Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam, Universitas Brawijaya, Malang, dan  kegiatannya sebagai pengusaha pabrik tahu di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekitar  14 kilometer dari Kota Malang.

Terasa  unik mengamati bagaimana Rudik menggabungkan matematika dan manajemen untuk mengelola pabrik tahu. Matematika tetaplah  kegemarannya. Matematika tak ia lepaskan, karena  dia pun guru Matematika di  madrasah di Singosari.

Lewat jalan itu, sejak tahun 2004  ia memulai bisnis tahu. Saat itu  ia  masih  siswa  Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Malang. Hasilnya, hingga kini ia meraih tujuh  penghargaan  dari kompetisi manajemen usaha kecil menengah (UKM).

Penghargaan membawanya dua kali bertemu  Wakil Presiden Boediono, termasuk hadiah dari Kemenpora berupa perjalanan meninjau UKM tahu di China. Omzet bisnisnya tahun lalu Rp 1,2 milyar, dan tahun ini ia menargetkan  Rp 2,2 milyar dengan 14  karyawan.

Bagi Rudik, ia  bukanlah pengusaha pabrik tahu, tetapi pebisnis tahu. “Saya tak terlibat proses produksi, meski saya bisa membongkar pasang mesin pabrik tahu.  Seperti umumnya pebisnis, saya mencari untung dari tahu. Tetapi  bukan sekadar untung, saya  mengedepankan karakter dan kejujuran.”
Proses produksi tahu miliknya sama  dengan  pabrik tahu lainnya. ”Hanya pemikiran dan konstruksi di balik lahirnya tahu itu yang berbeda,” katanya sambil menunjukkan produknya, tahu organik.

Kecemasan konsumen
Rudik membidik kecemasan  konsumen tahu yang kian sadar kesehatan dan lingkungan.  “Terutama konsumen perkotaan yang belanja di  supermarket. Mereka khawatir  adanya formalin dalam tahu. Konsumen kelompok ini belum  terlayani kebutuhannya mendapatkan sumber protein murah dan  intim dalam menu makanan kita.”

Ia memproduksi tahu organik berbahan baku kedelai organik. ”Kedelai organik itu dari produsennya, dosen IPB (Institut Pertanian Bogor) juga petani kedelai organik. Harganya  Rp 18.500 per kilogram (kg), jauh lebih mahal dibanding kedelai impor Rp 5.500–Rp 7.500 per kg.”
Dibalik kesederhanaan tahu organik itu, prestasi  terpentingnya adalah membangun kepercayaan pasar. Ia mencanangkan strategi zero waste dan open kitchen  di pabrik tahu. Sampah limbah pabrik tahu itu nol. Dapur pabrik  siap dikunjungi siapa pun.

”Semua itu bukan semata saya pro-lingkungan,  tetap ada pertimbangan komersialnya. Pabrik tahu  biasanya dimusuhi warga desa, karena bau dan limbahnya mengotori sungai. Di pabrik saya, limbah tahu yang berisi protein dimasukkan ke sawah orangtua,” ceritanya.

Alhasil, sawah milik orangtuanya bisa menghasilkan   7,5 ton per hektar (ha). Sedangkan sawah tetangga 5,5 ton per ha. Jadilah ampas tahu pabriknya  dipesan  tetangga untuk pupuk dan pengepul pakan sapi.
Rudik juga tak memakai bahan bakar diesel, tetapi motor listrik dengan modifikasi pada mesin giling. Selain hemat, tak ada suara berisik diesel dari pabrik tahunya. Biaya listriknya sebulan Rp 1 juta lebih, sedangkan pabrik tahu lain membayar bahan bakar sekitar Rp 3 juta.

Inovasi itu didorong  logika Matematika yang menguasai cara berpikirnya. Ia juga melakukan modifikasi pada batu pemecah kedelai di pabriknya.

Saat krisis
Tahu organik ia ”temukan” pada 2007, saat terjadi krisis kedelai. Saat itu harga kedelai impor naik dari Rp 3.000 per kg menjadi Rp 5.500. Krisis tahun 2012 menjadikan harga kedelai  menjadi  Rp 8.000 per kg. Padahal 70 persen biaya produksi pabrik tahu ada pada  bahan baku.
Rudik membuat  tahu organik yang pengerjaannya sama dengan  tahu biasa, kecuali bahan kedelainya yang  organik (tanpa pestisida dan bahan kimia). Ia mengiringi produk tahu organik  dengan upaya meyakinkan konsumen pada ”kesehatan”  tahu. Ia pun mendapatkan sertifikat organik dari Kementerian Kesehatan.

Tahu organik buatannya berukuran 16,5 cm x 16,5 cm, untuk membedakan dari tahu biasa yang umumnya 11,5x11,5 cm. Ia melepas produknya sampai ke pasar swalayan di Jakarta.
”Saya diprotes konsumen, mengapa sama-sama tahu (produk) saya tetapi harganya beda,  Rp 4.000 untuk tahu non-organik, dan  Rp 12.000 yang organik. Saya belajar lagi,  lalu saya beri warna label yang berbeda dan konsumen bisa menerima,” katanya.

Meski tahu organik pasarnya relatif jelas, tetapi Rudik tak meninggalkan pembuatan tahu non-organik. Alasan dia, ”Saya  tak mau  melayani konsumen yang menguntungkan saja. Saya juga wajib melayani konsumen tahu biasa, meski  mereka (konsumen tahu non-organik) berdaya beli rendah.”

Waralaba
Rudik  berencana meluaskan usahanya dengan  waralaba. Ia pun membuat tahu bulat dengan konsumen utama anak-anak. Dia melepas tahu bulat seharga Rp 200 per buah kepada pedagang, yang bisa dijual lagi seharga Rp 500 termasuk sausnya.

”Lantaran tahu saya tanpa formalin dan  lebih lembut, jadi anak-anak suka,” katanya.
Tahu bulat dibuat dari irisan pinggir tahu yang tak rapi, lalu dipadatkan dan dibuat bubur tahu di nampan. Sebagian tahu menyusup ke celah-celah nampan, menjadi  lembaran yang tak rapi.   ”Lembaran itu biasanya diikutkan saat dijual, tetapi untuk produk tahu  saya, lembaran itu saya potong. Lalu dibuat   bola tahu, saya goreng. Jadilah produk baru,” katanya.

Rudik tak menggunakan pengawet karena kecepatan pembusukan tahu bisa ditahan  dengan meningkatkan kepadatan tahu. ”Logikanya gampang, tahu padat air sulit masuk pori-pori, maka bakteri pembusuk sulit berkembang. Jadi umur tahu bisa sampai tiga hari. Itu waktu yang cukup untuk memasarkan tahu, tak perlu  sampai tujuh hari.”

Namun kepadatan tahu membutuhkan lebih banyak  bahan baku. ”Kelihatannya rugi, tetapi sebenarnya tidak,” ucapnya. Label tanpa formalin dan  jaminan Dinas Kesehatan pada produk tahu Rudik, membuat  konsumen memilih tahu merek ITRDS (industri tahu Rudik Setiawan).
”Tahu tanpa formalin juga lebih lembut, tidak keras, dan lebih enak,” ucap  Rudik meyakinkan.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
  
Sumber : Kompas Cetak
 

Wisnu Sukses dengan Kue Bingka Beromzet Ratusan Juta

Setiap daerah pasti memiliki makanan atau kue khas daerah dengan keunikannya masing-masing. Tak terkecuali Batam, Kepulauan Riau. Daerah ini juga memiliki kue khas bernama kue bingka bakar.  Sayangnya, kue khas daerah ini terus meredup lantaran kalah pamor dengan produk makanan impor dari negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Prihatin melihat kondisi tersebut, Rosnendya Wisnu Wardhana berupaya mengembalikan kejayaan kue bingka bakar.

“Selama ini yang lebih terkenal di Batam itu produk negeri tetangga, seperti cokelat dari Singapura atau Malaysia, Sementara makanan khas Batam tenggelam,” kata lekaki yang acap disapa Wisnu ini.

Pada 2009 ia pun mulai mengembangkan kue bingka bakar. Di bawah bendera usaha Kue Bingka Bakar Nay@adam, ia memproduksi kue bingka bakar sebanyak 11.000 loyang setiap hari. Dengan harga jual Rp 20.000 per loyang, omzetnya dalam sebulan mencapai ratusan juta rupiah. “Alhamdulillah cukup untuk menghidupi keluarga dan sekitar 60 karyawan,” katanya.

Berkat kerja kerasnya, kue bingka kini sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang membeli kue bingka. "Sekarang kue bingka sudah lumayan dikenal hingga ke luar Batam," katanya. 

Popularitas kue ini bahkan sudah sampai di Singapura. Selain dibawa turis Singapura yang melancong ke Batam, ia juga pernah memperkenalkan langsung kue ini dengan mengikuti pameran kuliner di Negeri Singa tersebut.
Produk kue bingka buatannya bisa diterima pasar karena sudah dimodifikasi sesuai dengan selera masyarakat modern. Aslinya, kue berbahan baku santan yang dibuat berbentuk bunga matahari segi delapan ini hanya memiliki satu varian rasa. Yakni, rasa pandan yang dibuat manis dan paling lama tahan satu hari.

Tapi, di tangannya, kue bingka kini hadir dengan 12 varian rasa, seperti keju, stroberi, buah naga, kiwi, wijen, durian, mochacino, hingga blueberry. Dengan pilihan rasa yang kian variatif, kue bingka kini semakin diterima pasar. Padahal sebelumnya, kue ini hampir punah. Kalaupun ada, paling hanya dijual di pasar-pasar tradisional. "Saya bereksperimen mengembangkan varian rasa kue ini dengan dibantu keluarga," ujarnya. 

Selain kue bingka, ia juga memproduksi makanan khas daerah Batam lainnya. Di antaranya kek, sejenis kue blackforest tapi berbahan dasar pisang. Ia berharap, semua kue buatannya tetap bisa menjadi rujukan oleh-oleh khas Batam bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. 

Berkat usahanya ini, ia pun diganjar sejumlah prestasi. Beberapa di antaranya adalah pemenang terbaik 1 Wirausaha Muda Mandiri Bidang Usaha Boga Mandiri 2010, UMKM Kreatif versi Kadin Provinsi Kepulauan Riau 2010, The Best Entrepreneur of The Years 2011 oleh Indonesia Community Center. Prestasi lain yang didapatnya adalah The Indonesian Small & Medium Business & Entrepreneur Award (ISMBEA) 2012.

Sukses yang diraih Rosnendya Wisnu Wardhana tidak didapat dalam waktu sekejap. Perlu waktu dan kerja keras agar bisa sukses seperti sekarang. Beberapa kali, ia mengalami jatuh bangun dalam menjalankan usaha.  Sebelum merintis usaha Kue Bingka Bakar Nay@dam, Wisnu pernah mencoba menjalankan usaha cuci motor dan mobil, cuci helm, hingga membuka gerai angkringan. "Karena pengelolaannya tidak fokus, Alhamdulillah semua usaha ini akhirnya tutup," ujarnya. 

Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Belajar dari pengalaman, ia mencoba bangkit kembali dan fokus di satu jenis usaha. 

Hal itulah yang dilakukannya saat merintis usaha pembuatan kue khas Batam, seperti kue bingka dan kue bilis. Ia merintis usaha ini di awal tahun 2009 dengan modal awal Rp 5 juta. Modal yang tak seberapa itu dipakainya buat membeli bahan baku, mixer, dan Loyang cetakan kue.  Sisanya dipakai buat menyewa sebuah konter berukuran 2x3 meter di kawasan Pasar Mega Legenda, Batam. Ia sengaja memilih konter terkecil karena modalnya sudah habis buat yang lain. "Karena konter kecil biaya sewanya hanya sekitar Rp 390.000 per bulan," ujarnya. 

Awalnya, ia hanya menjual aneka jajanan pasar, seperti kerupuk ikan, keripik talas, hingga keladi pedas. Berbagai camilan itu cukup sering dijual di pasar-pasar Batam saat itu. Setelah hampir dua bulan berjalan, ia kemudian memutuskan untuk membuat kue bingka bakar. Di awal-awal berjualan, kuenya belum begitu laris. Dalam sehari paling hanya 15 loyang kue bingka yang laku terjual. "Saya ingat saat itu harganya Rp 8.000 per loyang," ujarnya.

Namun, saat itu, ia sudah bertekad ingin menjadikan kue bingka bakar sebagai oleh-oleh khas Batam. Ia pun gencar memasarkan produknya ke sejumlah acara, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, atau provinsi. Seperti acara penyuluhan keluarga berencana maupun perhelatan mushabaqoh tilawatil quran (MTQ) tingkat provinsi.  Lambat laun, upayanya itu mulai membuahkan hasil. Pada Agustus 2009, Pemerintah Kota Batam mengajaknya untuk ikut serta dalam acara Asia Food Festival di Singapura. Setelah mengikuti acara itu, kue buatannya semakin dikenal masyarakat, baik warga Batam maupun wisatawan yang datang. 

Ia mengaku, saat itu masih minder bila ada wisatawan yang mendatangi gerainya. "Karena masih kecil sekali, seperti konter pulsa begitu kok," katanya.

Baru di tahun 2010, ia memindahkan lokasi usahanya ke sebuah ruko yang lebih luas. Selain luas, lokasi baru ini juga lebih rapi dan bersih. Setelah pindah ke ruko inilah usahanya semakin berkembang.  Namun, butuh perjuangan bagi Wisnu untuk memindahkan usahanya ke ruko tersebut. Soalnya, ruko itu dibeli dengan cara mencari pinjaman ke bank. Untuk keperluan itu, ia terpaksa menjaminkan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) milik istrinya ke bank tersebut.

Maklum, mengandalkan omzetnya dari berjualan di pasar belum cukup. "Saat itu omzet bulanan saya rata-rata masih sekitar Rp 5 juta per bulan," ujarnya.Tapi, semua upayanya itu tidak sisa-sia. Dengan menempati ruko, makin banyak pelanggan yang percaya dengan kualitas produknya. Selain warga Batam sendiri, banyak wisatawan asing dan lokal yang membeli penganan khas Batam hasil karyanya ini. "Kalau dulu takut ada wisatawan yang datang karena gerai -nya kecil , sekarang malah sangat berharap makin banyak wisatawan yang datang," ujarnya.

Saat ini, kue bingka buatannya sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Jumlah gerainya juga terus bertambah. Sampai saat ini, sudah ada enam gerai Kue Bingka Bakar Nay@adam miliknya di Kota Batam.

Untuk membesarkan usahanya, ia juga menggandeng pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Batam. Para pelaku UKM tersebut diberi kesempatan untuk menitip jual makanan, minuman, serta aneka produk kerajinan lainnya di gerai -gerai miliknya. Alhasil, gerai Nay@dam pun kini makin semarak. Selain makanan, juga ada aneka suvenir seperti kaos dan gantungan kunci khas Batam. "Saya berharap, ada sesuatu yang bisa dijadikan kenang-kenangan setelah seseorang berkunjung ke Batam," ujarnya.

Melalui usahanya itu, Wisnu memang berharap bisa turut membantu mengembangkan pelaku usaha lain. Terutama mereka yang aktivitas produksinya terkait dengan pernak-pernik khas Batam. Kendati sudah sukses, Wisnu masih tetap ingin membesarkan usahanya tersebut. Salah satu keinginannya adalah membuka gerai di luar Kota Batam, termasuk Jakarta.

Selain untuk bisnis, gerai tersebut diharapkan bisa ikut mempromosikan Batam. "Cita-cita sih ingin membuka gerai di Jakarta, rencananya di tahun ini," ucapnya.

Ia juga mengaku, sudah banyak pihak yang memintanya menawarkan kerja sama waralaba. Namun, ia belum mau memenuhi permintaan tersebut. "Kalau business opportunity mungkin masih bisa ya," katanya ayah dari dua orang anak ini. 

Info : http://bit.ly/13JDtpv

Sumber : (Eka Saputra/Kontan)


Berawal dari Iseng, Ryo Kini Juragan Distro Beromzet Miliaran

Usia muda bukan berarti tak bisa mencapai kesuksesan. Kusdarmawan Aryo Baskoro membuktikan, di usianya yang masih muda, 28 tahun, dia mampu meraup omzet miliaran rupiah setahun dari usaha distro yang dirintisnya di Solo.

Kata distro alias distribution outlet tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Toko pakaian jenis ini masih eksis hingga sekarang lantaran masih menjadi kiblat fashion anak muda di hampir semua kota besar. Bahkan, tidak sedikit anak muda yang sukses menjadi juragan distro ini, salah satunya adalah Kusdarmawan Aryo Baskoro.

Mengusung nama perusahaan Rawn Divisions, semua merek yang diproduksi oleh pria yang akrab dipanggil Ryo ini dilabeli dengan nama Rown. Nama ini merupakan kependekan dari Ryo Owner atau bisa juga diartikan tapak alias jejak kaki. "Harapan saya, produk bisnis yang saya bangun ini bisa menapak di mana-mana," ujar pemuda kelahiran Surakarta, 9 November 1984, yang boleh dibilang sukses menjadi juragan distro di kotanya itu. 

Ryo menjual berbagai produk fashion seperti halnya distro lain. Misalnya, t-shirt, kemeja, celana jins, sepatu, dan berbagai aksesori, seperti topi dan stiker. Ia juga membawa Rown tidak hanya menyasar anak muda, tetapi juga segmen anak-anak hingga orang tua. "Tapi, kami lebih dominan membidik pasar anak muda," ungkapnya kepada Kontan. 

Usaha distro yang dibangun pemuda usia 28 tahun ini kini memiliki omzet usaha hingga miliaran rupiah. Dalam sebulan, Ryo mampu memproduksi 3.000 hingga 4.000 kemeja, 2.000 pasang sepatu, 3.000 potong celana jins, dan yang terbanyak adalah sekitar 25.000 potong kaus. Setiap satu desain hanya diproduksi 30 potong.

Saat ini, Ryo memang hanya memiliki dua gerai, yaitu di Karanganyar dan Surakarta. Tetapi, dia bermitra dengan banyak distro di beberapa kota untuk memasok produknya. "Produk saya sudah menyebar dari Aceh hingga Papua," kata Ryo, yang berencana membuka cabang di Pontianak lantaran ada investor yang berminat bekerja sama.

Dua tahun terakhir, merek Rown bahkan sudah masuk pasar Malaysia dan Singapura. Tak lama lagi, produknya akan juga bakal dikirim ke Kanada. "Kalau soal omzet yang pasti terjual lumayan hingga ribuan pieces dengan rentang harga mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 800.000," ujar bungsu dari dua bersaudara ini.

Buah dari keisengan
Semangat bisnis Ryo sebetulnya sudah muncul sejak berada di kelas III sekolah dasar. "Saya jualan gorengan dan kacang di sekolah, semuanya mama yang bikin. Upahnya lumayan buat ditabung," kenangnya sambil terkekeh. Jualan gorengan ia lakoni hingga duduk di bangku SMP. Ketika SMA, dia sudah dapat membuat desain dan sablon di kain sarung pantai.

Ryo mulai merintis usaha distro saat kuliah. Awal usaha ini sebenarnya bukan berangkat dari kesengajaan. Ketika masuk kuliah pada tahun 2003, dia membangun usaha patungan bersama temannya dengan memasarkan produk fashion bermerek Ankles. Targetnya adalah anggota komunitasskateboard. 

Sayang, usaha itu bubar. Ryo tak lantas putus asa. Iseng-iseng dia mendesain sebuah t-shirt. Tak disangka, banyak yang meminati desainnya itu. Permintaan pun terus berdatangan. Pada tahun 2006, merek Rown lahir dengan modal awal Rp 30 juta. 

Awal berdiri, Ryo hanya memiliki tiga karyawan. Ia juga menyewa gerai seluas 3 meter x 10 meter. Lambat laun, dari yang semula memproduksi puluhan kaus, permintaan bertambah menjadi ratusan bahkan hingga kini mencapai ribuan potong.

Pada 2008, Ryo mulai mengembangkan usahanya. Ia mendapat pinjaman dari bank. "Saya meminjam Rp 100 juta untuk pengembangan usaha. Sekarang, aset saya sudah miliaran," ungkapnya tanpa mau menyebut detail berapa besar.

Ryo juga terus menambah karyawan, dari semula tiga desainer, kini ia memiliki lima desainer dan total karyawan mencapai 40 orang. Gerai yang semula seukuran "kamar" sudah meluas menjadi 360 meter persegi. "Saya sudah membuat jenjang karier bagi para karyawan. Namun, yang langsung melayani pembeli saya bayar secara harian," cerita lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret ini.

Dalam memasarkan produknya, Ryo memakai berbagai cara jitu, di antaranya menjadi sponsor di beberapa acara anak muda seperti pentas band. Untuk hal itu, dia juga pernah menjadi sponsor band Efek Rumah Kaca, MTV Ampuh, MTV 100%, dan berbagai film televisi (FTV). "Saya pantang jualan produk rejected," katanya.

Ryo tak lantas puas dengan hasil kerjanya. Ia menggunakan uang hasil keuntungan untuk memperluas bisnis. "Saya berencana membuat produk jam tangan dengan merek Rown dan membuat sistem semi-waralaba buat usaha ini," ujarnya.

Ryo bilang, saat pesanan mulai banyak, dia masih menghadapi kendala, khususnya dalam infrastruktur pengiriman. "Jika ada permintaan dari luar negeri, pengiriman sering terhambat," ujarnya. Ia berharap proses pengiriman bisa lebih cepat. 

Info : http://bit.ly/13JDtpv

Sumber : (Cheppy A Muchlis/Kontan)

Peluang Bisnis Ayam Goreng Rasa Oriental

Tawaran waralaba di bisnis makanan olahan ayam tak ada habisnya. Paling baru adalah tawaran dari PT Tatacipta Megapelangi yang mengusung brand Hungry Boy Indonesia.Tawaran yang mulai dirilis Agustus 2011 ini menawarkan ayam goreng krispi tanpa tulang sebagai menu utama. Yenni Tantono, Franchise Manager Hungry Boy mengatakan, tren makanan ini sedang menjamur, terutama di kota besar. "Pemainnya juga tak terlalu banyak dibandingkan fried chicken," katanya. 

Yenni mengklaim, keunggulan gerainya terletak pada menu ayam tanpa tulang yang disajikan dengan bumbu oriental khas Taiwan, yang telah telah disesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia.Awalnya, menu ayam goreng krispi tanpa tulang ini memang populer di Taiwan. Dalam penyajiannya, menu ayam yang telah dilumuri bumbu dikemas dalam kantong dan bisa langsung dinikmati sambil jalan. "Praktis dan tak repot," jelasnya. 

Dalam kerjasama waralaba ini, Hungry Boy menawarkan dua paket investasi, yakni paket konter dan paket booth. Untuk paket konter nilai investasinya sekitar Rp 18,8 juta untuk konter di luar mal, dan Rp 28,8 juta untuk konter di dalam mal. 

Sedangkan untuk paket booth dihargai Rp 48,8 juta, baik di dalam atau di luar mal. "Kami sangat merekomendasikan agar setiap mitra memilih mal sebagai lokasi berjualan," ujar Yenni.Dengan harga jual Rp 12.000-Rp 15.000 per porsi, mitra bisa meraih omzet Rp 18 juta-Rp 23 juta per bulan paket konter, dan Rp 40 juta untuk paket booth. "Mitra bisa balik modal enam bulan," klaim dia.Saat ini Hungry Boy telah memiliki 15 cabang yang semuanya milik mitra. Gerai tersebut berada di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, Mataram, dan Manado. 

Hingga akhir tahun Yenni menargetkan jumlah gerainya bisa mencapai 50 di seluruh Indonesia. "Kami berupaya untuk mencapai target tersebut, dan sejauh ini masih on the track," tuturnya.Utomo Njoto, pengamat waralaba dari Franchise Technology mengatakan, menu ayam goreng krispi dengan bumbu oriental relatif masih baru di Indonesia. Selain itu, menu ini juga belum biasa dijadikan sebagai makanan camilan seperti ditawarkan oleh Hungry Boys. 

"Jadi masih harus dibuktikan keberadaannya di Indonesia," ujarnya.
Ia menyarankan, kepada calon mitra yang tertarik untuk melakukan penelusuran secara mendalam mengenai tawaran kemitraan ini. Kajian itu penting karena segmen pasar untuk jajanan seperti ini belum terbentuk di Indonesia. "Bisa mendatangi langsung outlet yang sudah ada untuk melihat respon pasarnya," jelasnya.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : (Fahriyadi/Kontan)


Kenali Cara Industri Besar Berinovasi

Ada motivator yang sering mengemukakan ide ATM alias Amati, Tiru dan Menambahi untuk menghasilkan produk inovatif. Cara ampuh paling bisa dilakukan adalah  kenalilah cara-cara industri besar dunia dalam berinovasi.

Aneka cara inovasi itu disampaikan Dekan PPM Manajemen Martinus Sulistio Rusli di Jakarta, Selasa (17/7/2012). Sulistio memaparkan inovasi yang dilakukan Apple justru terletak pada kekuatan talenta Chief Executive Steve Job (almarhum). Sementara, Google justru meyakini kekuatan kebebasan kreatif karyawannya. "Ini merupakan scientific freedom of employees," ujar Sulistio.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Kita lihat juga industri besar lain. Toyota memegang kedekatan kerjasama dengan supplier, BMW lebih pada kekuatan desain, P and G menggunakan sumber-sumber teknologi eksternal, dan Samsung justru mengandalkan kecepatan dalam pengembangab produk.
Nah, bagaimana perusahaan Anda untuk mengembangkan inovasi?




Meretas Peluang Usaha Toko Beras

Dari tahun ke tahun, permintaan beras tak pernah turun di pasaran. Itu juga yang mendorong UD Jumars Group menawarkan kemitraan toko beras dengan brand Gudang Beras 9 atau GB9. Dengan investasi Rp 300 juta, mitra bisa meraup omzet Rp 480 juta per bulan.

Sebagai makanan pokok, permintaan beras tak pernah surut di pasaran. Bahkan, konsumsi beras di dalam negeri cenderung terus naik setiap tahunnya. Tak heran kalau beras selalu menjadi komoditas yang menarik untuk diperdagangkan.

Salah satu pemainnya adalah UD Jumars Group yang memulai usaha sejak tahun 1983 di Pati, Jawa Tengah. Selain memproduksi beras, Jumars Group juga mengembangkan usaha di bidang perdagangan beras. "Kami memiliki satu pabrik penggilingan padi dan dua gudang beras di Pati," kata Andre Herlambang, pemilik UD Jumars Group.

Untuk mengembangkan jaringan perdagangan berasnya, belum lama ini, Jumars Group resmi menawarkan kemitraan toko beras dengan brand Gudang Beras 9 atau GB9. Dalam kerja sama ini, Jumars Group menawarkan biaya kemitraan senilai Rp 300 juta.

Investasi sebesar itu sudah termasuk biaya sewa untuk toko beras. Jumlah sewa tokonya sendiri sangat fleksibel, tergantung biaya sewa di tiap daerah. Bila di daerah Semarang, investasi Rp 300 juta itu bisa buat menyewa hingga 10 toko. "Tapi di Jakarta paling dapat lima toko," ujarnya.

Selain sewa toko, mitra juga akan mendapat fasilitas lain berupa stok awal beras sebanyak 4 ton per toko. Selain itu, ada juga fasilitas seperti spanduk, pamflet, dan neon box. "Dalam kerjasama tersebut tidak ada batasan waktu," kata Andre.

Khusus pasokan beras, Jumars Group menyediakan beras jenis IR 64 dan Bramo. Beras dikemas dalam ukuran 10 kilogram (kg), 20 kg, dan 50 kg dengan berbagai merek, seperti cap Ikan Lohan, Burung Walet, dan Rojo Lele

Adapun harga jual beras berkisar antara Rp 8.000 per kg-Rp 8.200 per kg. Dari harga itu, mitra memperoleh laba 8 persen atau Rp 600 per kg.Andre menargetkan, mitra bisa menjual minimal empat kuintal beras per hari per toko. Dari penjualan itu, mitra bisa meraup omzet Rp 3,2 juta per hari per toko atau Rp 96 juta per bulan per toko. Bila ditotal, omzet bulanan lima toko mencapai Rp 480 juta.

Adapun total laba bersih lima toko tersebut Rp 36 juta per bulan. Dengan laba sebesar itu mitra bisa balik modal dalam waktu delapan sampai sembilan bulan.Dalam kerja sama ini, mitra yang kehabisan stok beras habis diwajibkan untuk belanja pasokan beras ke ke kantor pusat. "Jadi nanti kami yang memasok," ujarnya.

Erwin Halim, pengamat waralaba dari Proverb Consulting menilai, tawaran kemitraan toko beras dari GB9 ini cukup menarik meskipun tak ada keunikan dalam tawaran tersebut.Menurutnya, beras merupakan komoditas yang potensial mendatangkan keuntungan. Menurutnya, pasar beras secara umum masih terbuka lebar. "Distribusi beras profitnya kecil, tapi keuntungan besar karena volume penjualannya yang besar," ujarnya.

Namun, ia menyarankan franchisor supaya mampu menjaga stabilitas pasokan. Selain itu, franchisor perlu membatasi jumlah mitra dan toko di satu wilayah. Hal itu penting guna meredam tingkat persaingan antar sesama mitra GB9.

 Info : http://bit.ly/13JDtpv

Sumber: (Havid Vebri, Fahriyadi/Kontan)

Raup Untung dari Bisnis Penyediaan Alat Produksi Tahu

Kini, perajin bisa dengan mudah memproduksi tahu tanpa memikirkan infrastruktur produksinya. UD Rian Puspita Jaya, markasnya para perajin sekaligus sebagai penjual di daerah Jakarta Selatan yang ingin memproduksi tahu dengan modal alat produksi nol persen.

Fauzan sebagai pemilik mengatakan, UD Rian Puspita Jaya bukanlah pabrik tahu kebanyakan, yang memiliki perajin sendiri sebagai pegawai dan menuai untung dari produksi tahu yang dijualnya ke pasar. Namun, hanya tempat penyedia peralatan pengolah tahu dan distributor kedelai dari importir lokal. Perajin pun tidak terikat pegawai dengan usaha Fauzan, melainkan hanya sebagai rekanan bisnin.

"Jadi UD ini bukan pabrik tahu, ibaratnya kami hanya menyediakan peralatan dan kedelainya saja, sementara tahunya diolah sendiri oleh perajin atau pedagang tahu. Alasan memilih tahu, karena tahu tidak seperti tempe yang mamakan waktu lama dalam proses fermentasi dan membutuhkan ragi," ujarnya kepada Kompas.com saat ditemui di kantornya tersebut, Duren Tiga, Jakarta Selatan, ( 30/7/2012 ) kemarin.

Para perajin pun tidak dikenakan sewa alat-alat produksi tahu yang disediakan Fauzan. Akan tapi, sistem kerja sama bila ingin menggunakan alat produksi tahu, perajin diwajibkan membeli kedelai dengan harga lebih mahal dari yang ada di pasaran.

Ini sebagai biaya ganti dari sewa alat yang telah digratiskan, seperti mesin penggiling, wadah, bahan bakar dari kayu. peralatan memasak kedelai, dan sebagainya. Selain itu, disediakan para kuli untuk membantu pengangkutan, pengepakan, dan pekerjaan lainnya.

Jadi keuntungan yang didapatkannya, ialah dari kedelai yang dijual ke perajin. Fauzan mengaku, raup keuntungan sekitar Rp 2.000-Rp 2.500 per kilo gram kedelai. "Jadi kalau misalnya harga kedelai di pasaran sekitar Rp 7.500, maka saya jual ke perajin yang ingin memakai alat produksi di sini, tinggal ditambah Rp 2.000 saja menjadi Rp 9.500," ujarnya.

Harga jual kedelai yang dijualnya pun tidak bergantung pada fluktuasi harga di pasaran. Sekalipun kedelai sedang murah maupun mahal di pasaran. Ia tetap mematok harga jual minimal Rp 2.000. Hanya saja, bila harga kedelai sedang mahal, maka perajin akan mengurangi pembelian kedelai darinya.

"Kita hanya ikut informasi harga kedelai yang beredar di pasaran, ya mungkin importir lokal kali yah. Kemarin juga enggak ada yang memesan kedelai. Kalau mereka menjual mahal ya kita keberatan juga," ungkap Fauzan yang usahanya itu merupakan warisan dari orang tuanya.

Sayangnya, Fauzan enggan menyebutkan margin keuntungan dari penjualan kedelai tersebut. Sementara itu, Rifqi Maulana, saudara sekaligus wakilnya.Pemilik UD Rian Puspita Jaya mengatakan, pada hari jumat lalu ( 28/7 ) pasca berakhirnya mogok produksi tahu tempe, total produksi dalam sehari dan siap dijual pada keesokan harinya mencapai tiga ton tahu. Sementara informasi yang beredar juga, dari 1 kilo gram kedelai, perajin mampu memproduksi tahu sekitar 2 - 2,5 kilo gram tahu.

Rifqi manambahkan, UD Rian Puspita Jaya pun tidak tergabung dalam Pusat Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Puskopti). Akan tapi, saat terjadi mogok 26-27 juli yang dimotori Puskopti, itu juga berdampak negatif pada usahanya. Pasalnya, rekanan perajin tahu turut berhenti produksi.

"Maka dari itu, sebelum demo (mogok produksi), kita sudah nyetok 18 ton kedelai. Jadi ketika demo berakhir, Jumat malam mulai produksi dan Sabtu besoknya dijual," ungkap Rifqi.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kompas.com


Mencicipi Kemitraan Mi Ayam Malioboro

Bisnis mi ayam memang sudah bejubel pemainnya. Toh, tak berarti peluang bisnis mi ayam kian sempit. Celah pasar tetap terbuka lebar bagi pemain baru.Maklum saja, mi sudah seperti makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat kita. Jadi, tak heran pedagang mie ayam nyaris tak pernah kehilangan pelanggan. Lagipula, penggemar makanan ini tak mengenal kasta, mulai anak-anak hingga orang dewasa, dari kaum berduit hingga yang penghasilannya pas-pasan.

Wajar, semakin banyak yang menyisir rezeki dari bisnis mi ayam. Ada pula yang mengembangkan bisnisnya itu lewat jalur kemitraan.Ambil contoh, Agus Wiratno, pemilik Mie Ayam Malioboro. Ia memulai usahanya itu sejak 2004 silam. Nah, mulai 2010, Agus menawarkan kemitraan Mie Ayam Malioboro.

Saat ini, Mie Ayam Malioboro telah memiliki 10 mitra, dan dua gerai milik sendiri, yang tersebar di Yogyakarta dan sekitarnya. "Jadi total cabang mencapai 12 gerai," jelas Agus.Sesuai namanya, Mie Ayam Maliboro menawarkan rasa mi ayam khas Yogyakarta yang manis. Ukuran topping ayamnya pun juga mantap. Harganya pun terjangkau antara Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per porsi, tergantung pilihan menunya..

Beberapa menu mi ayam yang dijual adalah mi ayam original, mi ayam bakso, mi ayam bayam dan mi ayam wortel. Agus bilang, akan terus melakukan inovasi produk agar menunya terus bertambah.Bagi yang berminat, Mie Ayam Malioboro menawarkan dua paket kemitraan. Paket pertama dengan investasi Rp 20 juta. Terdiri dari investasi kemitraan Rp 15 juta, dan dana cadangan Rp 5 juta. Dari paket ini, mitra akan mendapatkan alat masak seperti kompor gas, dandang rebus kotak, termasuk peralatan saji seperti mangkok, sendok atau sumpit.

Calon mitra juga akan mendapat bahan baku dan training. Agus menargetkan, mitra bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan. "Balik modal sekitar tiga sampai empat bulan," jelas Agus.

Paket kedua dengan investasi Rp 30 juta, terdiri dari investasi kemitraan  Rp 25 juta dan dana cadangan Rp 5 juta. Di paket ini, mitra akan mendapatkan mesin pembuatan mi ayam sehingga tidak perlu lagi memesan mi dari pusat. Paket ini juga akan menjadi master franchise yang akan mensuplai bahan baku mi ayam kepada mitra yang berada di wilayahnya. Estimasi omzet dalam sebulan sekitar Rp 17 juta - Rp 20 juta.

Agar laris, Agus menyarankan calon mitra mencari lokasi strategis seperti mal, daerah perkantoran, pasar dan kampus.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : (Noverius Laol/Kontan)


Bisnis angkringan masih nangkring

Bisnis angkringan yakni bisnis makanan yang dinikmati dengan duduk di lantai terus melakukan invasi ke kota-kota besar. Berasal dari bahasa jawa angkring punya arti duduk santai. 

Belakangan, angkringan justru lebih dikenal sebagai tempat jualan aneka makanan dengan gerobak dorong. Pembeli biasanya menikmati makanan di selembar tikar yang terhampar tak jauh dengan gerobak. 

Awalnya, angkringan banyak dijumpai di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kini, bisnis angkringan ini telah berkembang di sejumlah kota di Indonesia termasuk Jakarta dan sekitarnya Beragam makanan yang dijual seperti nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik dan lain-lain.

Selain makanan, kita bisa juga menemukan aneka minuman seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua makanan itu dijual dengan harga terjangkau.
Kini, bisnis angkringan terus merambah ke daerah lain, salah satunya berkat tawaran kemitraan dari pebisnis ini. Apakah usaha ini masih menjanjikan? Berikut ulasan perkembangan usaha sejumlah kemitraan bisnis angkringan yang pernah diulas KONTAN.

• Angkringan Ki Asem

Pada Mei 2009 lalu, KONTAN mengulas tawaran kemitraan dari Angkringan Ki Asem asal Bekasi. Ki Asem yang berdiri pada tahun 2007 itu menawarkan kemitraan di 2008. Ki Asem memiliki delapan gerai, tiga diantaranya milik sendiri dan sisanya milik mitra. 

Setelah kurang lebih tiga tahun beroperasi, Ki Asem mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari penambahan jumlah gerai milik sendiri. Menurut Sartono, pemilik Angkringan Ki Asem, saat ini mereka telah memiliki 14 gerai yang tersebar di Bekasi dan Jakarta, sembilan diantaranya milik sendiri dan lima milik mitra. "Kami terus menargetkan pertambahan outlet minimal tiga sampai empat tiap tahun," ujarnya. 

Agar bisa menjaring banyak mitra, Sartono rajin berpromosi lewat iklan di media, terutama via internet. Ki Asem juga terus menjaga kualitas rasa agar pelanggan tetap datang. Sekali setahun, Ki Asem pasti menelurkan menu baru sehingga pelanggan mendapatkan rasa baru dan tidak bosan dengan menu lama. 

Angkringan Ki Asem mengerek biaya investasi. Jika pada 2009 lalu, Ki Asem mematok biaya investasi Rp 15 juta, saat ini menjadi Rp 20 juta. Kenaikan menyesuaikan dengan harga barang-barang yang juga naik tiap tahun. 

Dengan investasi itu, mitra berhak atas gerobak, meja dan kursi dengan kapasitas 20 orang. Mitra juga mendapat pasokan peralatan makan seperti nampan, dan teko yang diboyong Sartono langsung dari Solo.

Dengan investasi tersebut, Mitra diperkirakan bisa meraup omzet sekitar Rp 1 juta - Rp 1,5 juta per hari. Kalau tempatnya strategis bisa lebih tinggi lagi. Ki Asem juga memungut royalty fee sebesar 2% dari omzet mitra per bulan. Mitra diperkirakan akan balik modal dalam waktu 6 bulan - 8 bulan. 

Soal kalau harga makanan, Sartono bilang, kenaikannya rata-rata sekitar 20% dari harga sebelumnya. Gorengan misalnya, semula harganya Rp 500 per potong, kini menjadi Rp 750 per potong.

• Solo Rasa Angkringan

Solo Rasa Angkringan berdiri di Malang, Maret 2010. Lalu sang pendiri, Anton Haekal mulai menawarkan kemitraan usahanya ini pada 2011 lalu. Saat KONTAN mengulas kemitraan angkringan yang diklaim menggabung konsep tradisional dan modern ini pada Maret 2011, Solo Rasa Angkringan baru memiliki dua gerai milik sendiri.

Kala itu, biaya investasi menjadi mitra Solo Rasa Angkringan bervariasi tergantung lokasi. Biaya investasi di Jawa Timur Rp 9 juta, Jawa Tengah Rp 19 juta, Jawa Barat Rp 25 juta, dan luar Jawa Rp 35 juta. Dengan omzet Rp 9 juta-Rp 15 juta per bulan, mitra diprediksi bisa balik modal sekitar enam bulan hingga setahun. 

Medio 2012 ini, Solo Rasa Angkringan telah mengalami beberapa perubahan. Kata Anton, sampai saat ini ia telah menggaet dua mitra, yakni di Malang dan Bandung. "Khusus mitra di Bandung kami menggabungkan konsep kafe dan angkringan sekaligus," katanya.
Sedangkan untuk paket investasi, belum ada perubahan. Bahkan, Anton membuat terobosan dengan memberlakukan investasi fleksibel alias menyesuaikan bujet mitra. Model ini efektif untuk mengangkat pamor angkringan miliknya. 

Ia bilang, kini keempat gerai angkringan, baik miliknya pribadi dan milik mitra, dapat meraup omzet Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per hari. "Perhitungannya jika dikonsep lebih modern dan lengkap, balik modalnya sekitar setahun dengan laba 30 %," tuturnya. 

Demi memikat banyak mitra, kini Anton menghilangkan Royalty fee sebesar Rp 150.000 per bulan atau Rp 9 juta untuk lima tahun. Selain itu, ia pun memberikan kesempatan bagi mitra untuk menjadi investor dengan sistem pengelolaan penuh dijalankan oleh pusat. "Kami berlakukan bagi hasil untuk gerai under management yakni 60% pusat, 40% mitra," jelasnya. 

Inovasi menu pun dihadirkan Anton dengan menambah beberapa menu lain seperti nasi gudeg dan ceker setan atau ceker rasa pedas. Ia bilang harga makanan di angkringan ini bervariasi dari mulai Rp 1.000-Rp 4.000 per porsi.

• Angkringan Fatmawati 

Angkringan yang sudah berdiri sejak Juni 2006 di Jalan Fatmawati ini masih tetap eksis hingga sekarang. Namun, mengalami kemandekan dalam menjaring mitra. Saat diulas KONTAN, Mei 2011 lalu, Angkringan Fatmawati telah memiliki tiga mitra di Pasar Minggu, Ciputat dan Cililitan. 

Menurut Handayani, pemilik sekaligus pendiri Angkringan Fatmawati, ia sempat memiliki mitra keempat, yakni di Depok. Tapi kini, mitra Angkringan Fatmawati tinggal dua mitra. Sementara gerainya sendiri ada tiga, yakni di kawasan Cililitan, Depok dan Fatmawati.
Menurut Handayani, mitranya berkurang karena mereka menjadikan usaha ini sekadar sampingan saja. "Mitra saya orang kantoran, jadi saat anak buahnya sering tidak masuk, usaha keteteran," ujarnya. 

Sebetulnya, kata Handayani, cukup banyak yang berminat menjadi mitra Angkringan Fatmawai, tetapi mereka kesulitan mencari lokasi yang pas. Maklum, Handayani memberi syarat luas tempat usaha sekitar 8 meter x 6 meter untuk membuka usaha angkringan. "Jadi harus cukup untuk lesehan juga, selain tempat gerobaknya karena konsep saya memang lesehan," jelasnya. 

Meski begitu, ia yakin, cabangnya masih akan berkembang. Maka itu, Handayani terus mencari mitra serta mengembangkan menu-menu baru angkringan.Untuk menjadi mitra Angkringan Fatmawati, harga paket investasinya saat ini sudah naik. Sebelumnya, Handayani mematok investasi Rp 13 juta. Harga ini sudah termasuk gerobak dan seluruh peralatan awal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini. 

Kini, paket investasi tersebut naik menjadi Rp 15 juta karena naiknya harga-harga peralatan. Namun, bagi mitra yang ingin membuka usaha dengan menyiapkan gerobak serta peralatan sendiri, biaya investasi yang ditawarkan masih tetap Rp 5 juta.
Dengan ongkos itu, mitra mendapatkan lisensi nama dari Angkringan Fatmawati untuk jangka waktu lima tahun dan konsultasi. Angkringan ini juga tetap tidak memungut biaya royalti.Handayani menargetkan mitranya bertambah tiga hingga akhir tahun ini. "Bisnis ini masih bagus karena pasarnya jelas," ujar Handayani.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kontan.co.id

Entri Populer