Jumlah pengusaha di Indonesia termasuk masih sedikit. Karena itu,Youth Entrepreneur Academy (YEA) Bandung mendorong anak anak muda belajar berwirausahasecara singkat dan praktis.
RUANG mungil di upper ground Dago Plaza, Bandung, itu terlihat simpel. Besarnya hanya seperempat lapangan futsal. Di ujung ruang terdapat whiteboard portabel dengan layar proyektor yang digulung. Di pojok belakang, tumpukan buku-buku bertema entre-preneurship ditumpuk rapi dalam rak. Mulai buku maestro motivator Stephen Covey 8" Habit hingga buku karya Robert T. Kiyosaki Rich Dad Poor Dad.
Sebuah mading kecil styrofoam di dinding kaca sisi utara ditempeli beragam foto-foto kegiatan. Ada gambar anak-anak muda ber-jualan roti hingga kegiatan-kegiatan di YEA. Sebuah kertas berwarna bertulisan Kakak Terautis digantungkan. "Itu dibuat ketika masa orientasi siswa baru," ujar Siti Khadijah, salah seorang fasilitator di YEA.
Di YEA, masa pendidikan berlangsung enam bulan. Siswa senior bertugas menggelar masa orientasi untuk siswa baru. Di akhir masa orientasi, para junior boleh melabeli para kakak dengan gelar-gelar sesuai dengan selera. Mulai terautis, termanis, hingga kakak terganteng. "Hanya untuk perkenalan antarmereka. Biar seru. Kebanyakan mereka kan anak-anak muda," ujar Siti.
YEA adalah akademi wirausaha yang khusus mendidik anak-anak muda. Para peserta didik harus benar-benar muda. Baik muda usia maupun muda dari sisi "tanggungan". Selain itu. usia mereka harus di bawah 25 tahun dan belum menikah. Begitu pula soal pekerjaan. Para peserta harus sedang tidak bekerja. Yang sudah menjadi pegawai tetap tidak boleh jadi peserta Tapi, kalau sebatas freelancer dan tidak terikat kontrak kerja, masih diizinkan mengikuti pendidikan.
Siti menuturkan, pernah ada yang memaksa ingin jadi peserta. Namun, karena sudah bersuami, dia ditolak. "Meskipun dia bilang suaminya kerja di luar kota, kami tidak bisa menerimanya," ujarnya. Masa pendidikan di YEA cukup singkat. Hanya enam bulan. Namun, dalam waktu setengah tahun itu, para siswa benar-benar dididik secara intensif menjadi pengusaha militan. Mereka hanya libur ketika Minggu.
Teori hanya 10-30 persen, sisanya praktik berwirausaha. Mereka harus berkeliling Kota Bandung untuk berjualan. Karena itu, kata Siti, YEA hanya mencari orang-orang yang benar-benar seratus persen ingin menjadi pengusaha. "Kadang, ingin saja tidak cukup. Itu harus jadi ambisi dan mimpi mereka," kata wanita berjilbab tersebut.
Karena itu, beberapa siswa ada yang rela meninggalkan pekerjaan dan bisnisnya agar bisa ikut sekolah wirausahawan ini. Ada juga yang cuti kuliah agar bisa fokus di YEA. "Saya kuliah tiga tahun nggak dapat apa-apa. Mending ikut sekolah di sini dulu," ujar Agung Prasetyo, salah seorang peserta dari Gresik, Jawa Timur, yang rehat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang.
Pada setiap angkatan, YEA hanyamenerima 20 siswa. Mereka lantas dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok itu merupakan tim yang akan menjadi partner dalam bisnis. Bulan pertama mereka belajar simple selling dan selling competition. Mereka kulakan barang untuk kemudian dijual lagi. Tugas mereka hanya mencari selisih antara belanja modal dan berjualan. Dalam selling competition, semua kelompok dibekali dagangan jajan arum manis. Tugas mereka membuat jajanan sederhana itu menjadi menarik pembeli.
Di kompetisi berdagang itu, mereka berlomba antarkelompok. Dalam waktu dua hari mereka ditarget bisa mendapat omzet sekitar Rp 5 juta. Yang mampu memperoleh omzet terbanyak, kelompok itulah yang menang. Hadiahnya, semua laba dari kelompok lain menjadi hak tim pemenang. Padahal, keuntungan tersebut termasuk biaya packaging plus perlengkapan saat berjualan milik kelompok yang kalah.
Akibatnya, kelompok yang kalah benar-benar bangkrut. "Belajar entrepreneur tidak hanya belajar mencari untung, tapi juga belajar bangkrut agar bisa bangkit lagi," ujar Siti menirukan pemeo yang diajarkan pendiri YEA, Jaya Setiabudi. Selain berlomba omzet, para siswa dilatih menganalisis sebuah usaha. Dalam menganalisis itu, mereka tak boleh sekadar wacana. Para peserta harus mendatangitempat usaha tersebut, melihat produk, dan memotretnya.
Siti mencontohkan sebuah resto dan kafe di Bandung yang sepi pengunjung untuk menjadi objek analisis. Resto tersebut meniru konsep waralaba restoran anak muda yang berdiri di beberapa kota. Mulai logo, warna, hingga masakannya. Para siswa lalu menawarkan berbagai upaya pembenahan, mulai pengemasan, promo, mengubah tata letak restoran, pengelolaan tempat parkir, hingga menyodorkan logo baru. Setting latar depan restoran pun diubah.
"Sekarang logonya diambil restoran itu. Tapi, tidak dibeli karena kita kan latihan, dan sudah ada perjanjiannya," kata dara berkulit kuning ini. Mereka juga pernah menganalisis sebuah minimarket di Bandung. Dalam analisis anak-anak muda itu, tempat usaha tersebut bakal merugi. Temyata tak berapa lama, minimarket itu benar-benar gulung tikar.
Para peserta juga diajari home business. Berbeda dengan simple selling dan selling competition yang hanya berjualan barang jadi, di home business mereka harus memproduksi barangnya. Namun, investasi dibatasi maksimal Rp 500 ribu. Peralatan produksinya harus perkakas dari dalam rumah sendiri. Karena itu, umumnya mereka membuat roti dan es.
Siti menceritakan, seorang peserta dari Jakarta membikin es dawet dalam kemasan. Es tersebut dijual di kantin-kantin perkantoran. Hasilnya, luar biasa. Setiap hari es dawet tersebut meraup untung Rp 500 ribu. Dalam sebulan, dia bisa untung sekitar Rp 10 juta. "Akhirnya keterusan, usaha itu dilanjutkan sampai sekarang," ujar lulusan Universitas Sriwijaya, Palembang ini.Siti menambahkan, pada akhir masa kuliah, para siswa harus bisa mendirikan event organizer (EO) untuk tugas akhir. Kalau sukses, mereka dinyatakan lolos untuk mengikuti ujian akhir, tapi belum lulus. Sebab, untuk lulus, mereka harus memiliki usaha dengan omzet Rp 50 juta atau laba bersih Rp 5 juta per bulan. Selama belum lulus itu, mereka akan didampingi terus oleh Jaya Setiabudi, baik secara langsung maupun via milis.
Para siswa YEA tidak hanya berasal dari Bandung. Mereka juga datang dari berbagai kota atau daerah lain, seperti Jakarta, Kalimantan Timur, Kediri, hingga Papua. Mereka umumnya tahu akademi pengusaha ini dari internet atau diberi tahu teman dan keluarga.
Selain untuk anak muda, YEA memberikan kesempatan untuk para calon pengusaha yang sudah berumur. Namun, kelas-kelasnya dikelompokkan berdasarkan omzet penjualan. Mulai di bawah Rp 50 juta, di bawah Rp 500 juta, hingga di atas Rp 500 juta. "Tapi, memang, kelas anak muda yang paling banyak diminati," tandas Siti.
info pasar lukisan dan industri kreatif.http://artkreatif.net/