>>>>>Technopreneur" Langka di Indonesia
JAKARTA. KOMPAS - Hanya 0,24 persen dari 53 juta wirausaha di Indonesia tergolong technopreneur alias menjalankan usaha berbasis inovasi teknologi. Ini menjadi salah satu sebab industri dan lembaga riset di Indonesia tidak berkembang. Perlu ada entrepreneur inovatif untuk menjembatani industri dan lembaga riset sehingga terjalin kerja sama saling menguntungkan.
Hal ini dilontarkan Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Tatang A Taufik dalam jumpa pers tentang "Pengembangan Technopreneur di Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Nasional", Kamis (16/6) di Jakarta
Ketiadaan peran technopreneur, kata Bambang S Pujantiyo, Kepala Balai Inkubator Teknologi (BIT) BPPT, terlihat dari rendahnya produktivitas nasional dan daya saing usaha kecil dan menengah. Skornya hanya 3,5 dari nilai maksimal 10.
Mengatasi kendala itu, kata Taufik, BPPT mengadakan kunjungan ke daerah-daerah untuk menjajaki kerja sama dengan pemerintah daerah setempat dalam melaksanakan program technopreneur. BIT BPPT juga mengkaji potensi yang mungkin digunakan untuk menciptakan kegiatan usaha baru dan meningkatkan bidang usaha, industri yang telah berjalan.
Sejak roadshow tahun lalu, BPPT menjaring tujuh kabupaten/kota untuk pelaksanaan program, yaitu Kota Cimahi untuk industri kreatif animasi dan film; Tegal dan Banyumas dalam pengembangan silent engine-. Pe-
V fkalongan untuk multiusaha terutama batik dan Surakarta di bidang pewarna alami dan peralatan pengolah rumput laut
Program di Sumatera Selatan terkait produk berbahan dasar karet. Adapun kerja sama dengan Surabaya masih dibahas dengan pemda dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Dalam program itu, akan dicari solusi untuk meningkatkan nilai tambah produk. Untuk industri batik di Pekalongan, dicari pewarna alami dan proses yang lebih efisien, serta pemetaan rantai usaha Pelaksanaan program dimulai tahun ini dan berlangsung selama tiga tahun. BPPT memberikan pendampingan teknis dan pendanaan dari APBD.
Menurut Bambang, BIT menyediakan fasilitas inkubasi teknologi. Selain BIT di Puspiptek Serpong, juga dibangun di daerah yang menjadi mitra. BIT merencanakan pembangunan inkubator teknologi di 13 daerah.
"Saat ini kami telah membentuk inkubator di daerah Sumatera Selatan. Ke depan akan dibentuk inkubator di Pekalongan; Semarang; dan Gunung Kidul, Yogyakarta," ujarnya. (YUN)
Sumber: Koran Kompas
JAKARTA. KOMPAS - Hanya 0,24 persen dari 53 juta wirausaha di Indonesia tergolong technopreneur alias menjalankan usaha berbasis inovasi teknologi. Ini menjadi salah satu sebab industri dan lembaga riset di Indonesia tidak berkembang. Perlu ada entrepreneur inovatif untuk menjembatani industri dan lembaga riset sehingga terjalin kerja sama saling menguntungkan.
Hal ini dilontarkan Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Tatang A Taufik dalam jumpa pers tentang "Pengembangan Technopreneur di Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Nasional", Kamis (16/6) di Jakarta
Ketiadaan peran technopreneur, kata Bambang S Pujantiyo, Kepala Balai Inkubator Teknologi (BIT) BPPT, terlihat dari rendahnya produktivitas nasional dan daya saing usaha kecil dan menengah. Skornya hanya 3,5 dari nilai maksimal 10.
Mengatasi kendala itu, kata Taufik, BPPT mengadakan kunjungan ke daerah-daerah untuk menjajaki kerja sama dengan pemerintah daerah setempat dalam melaksanakan program technopreneur. BIT BPPT juga mengkaji potensi yang mungkin digunakan untuk menciptakan kegiatan usaha baru dan meningkatkan bidang usaha, industri yang telah berjalan.
Sejak roadshow tahun lalu, BPPT menjaring tujuh kabupaten/kota untuk pelaksanaan program, yaitu Kota Cimahi untuk industri kreatif animasi dan film; Tegal dan Banyumas dalam pengembangan silent engine-. Pe-
V fkalongan untuk multiusaha terutama batik dan Surakarta di bidang pewarna alami dan peralatan pengolah rumput laut
Program di Sumatera Selatan terkait produk berbahan dasar karet. Adapun kerja sama dengan Surabaya masih dibahas dengan pemda dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Dalam program itu, akan dicari solusi untuk meningkatkan nilai tambah produk. Untuk industri batik di Pekalongan, dicari pewarna alami dan proses yang lebih efisien, serta pemetaan rantai usaha Pelaksanaan program dimulai tahun ini dan berlangsung selama tiga tahun. BPPT memberikan pendampingan teknis dan pendanaan dari APBD.
Menurut Bambang, BIT menyediakan fasilitas inkubasi teknologi. Selain BIT di Puspiptek Serpong, juga dibangun di daerah yang menjadi mitra. BIT merencanakan pembangunan inkubator teknologi di 13 daerah.
"Saat ini kami telah membentuk inkubator di daerah Sumatera Selatan. Ke depan akan dibentuk inkubator di Pekalongan; Semarang; dan Gunung Kidul, Yogyakarta," ujarnya. (YUN)
Sumber: Koran Kompas