" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Lika-liku Melanjutkan Bisnis Orang Tua

Lika-liku Melanjutkan Bisnis Orang Tua

Tantangan meneruskan usaha orang tua tak kalah peliknya dengan membangun usaha sendiri.
Lulus kuliah tahun 2004. Estie Budiutami mendapat tanggung jawab baru. Ia dipercaya melanjutkan usaha milik orang tuanya. Usaha itu berupa ekspor barang-barang dekorasi rumah ke berbagai negara. Walaupun tak sejalan dengan latar belakang pendidikan, lulusan arsitektur ITB ini tak ragu melangkah. Pasalnya sejak kecil iabiasa ikut ibu bertemu para kolega. Itu bekalnya yang sangat berharga. Ia juga sering diajak ikut pameran di berbagai negara. Maka, Laksmi, sang ibu, melepas Es-tie untuk berkomunikasi dengan para pembeli dari berbagai negara.

Usaha yang diserahkan pada Estie berupa kerajinan tangan dari bahan rotan dan beragam boks terbuat dari bahan alam. Pandan, eceng gondok, alang-alang, dan bambu. Kembangkan produk Begitu tampil di depan, Estie langsung mengembangkan produk. Salah satu andalannya aneka lampu terbuat dari bahan rotan dan tumbuhan agel. Sejenis rumput yang banyak tumbuh di sekitar pantai di Madura dan Jawa Timur. Dari hasil alam ini Estie mendesain menjadi lampu-lampu dengan bentuk menarik dan unik. Ketika dipasarkan ke Eropa, animo pasar cukup tinggi.

Karena itu, ia bisa menyatakan bangga dengan Indonesia. "Hasil alamnya luar biasa, dengan keahlian tangan yang luar biasa," katanya, "Makanya, jangan kaget kalau di luar negeri, kerajinan tangan karya orang Indonesia mendapat acungan jempol paling top di dunia." Anak kedua dari tiga bersaudara menunjukkan pengalamannya mengikuti pameran di berbagai negara di Eropa dan Asia. Karya-karya kerajinan tangan Indonesia selalu menjadi sasaran para pembeli. Demikian juga dengan produk yang ia tampilkan selalu diburu. "Pokoknya, pulang ke Tanah Air sudah pasti harus siap-siap kerja keras memenuhi pesanan para buyers," tuturnya.

Esti menggarap produknya di dua tempat. Pabrik rotan berada di Jepara, sedangkan aneka boks dibuat di Tasikmalaya. Sekali kerjaan bisa rampung 60 pegawai. Sebaliknya, kalau pesanan lagi redup paling hanya 10 sampai 20 pegawai saja. Saat pesanan melimpah, warga yang ada di sekitar pabrik harus dilibatkan. "Kebetulan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik kompeten membuat barang-barang saya buat," katanya. Memahami selera

Estie secara rutin setiap tahun berpameran di Eropa dan Asia. Awalnya, bila pameran kelas kecil, Estie siap tampil sendirian. Sedangkan pameran besar seperti di Jerman, Italia, biasanya berdua dengan kakaknya. Tahun 2004 merupakan masa kecolongan. Ketika itu, Estie bersama kakaknya bersiap mengikuti pameran besar di Jerman. Menjelang hari H, kakaknya terkena typhus. Keberangkatan tak mungkin dibatalkan, apalagi semua barang sudah siap.

"Di sinilah saya kecolongan, mau tidak mau harus berangkat sendiri. Temyata menjadi pengalaman berharga, saya berani sendiri mengikuti pameran. Sejak itu, pameran kemana pun saya berani sendirian," ungkapnya. Mengikuti pameran ke berbagai negara memang seru. Tak hanya ajang jual-beli, melainkan juga mengetahui selera pasar dunia di tahun berikutnya. Sebab, para pembeli tak sungkan berbagi pikiran, mengungkapkan selera tren musim mendatang.

"Kalau produk mau laris di pasaran dunia," kata Estie kepada Republika, "harus paham selera mereka." Apalagi, tren musim dingin dengan musim panas selera yang diinginkan pembeli jauh berbeda. Selera setiap negara pun berbeda-beda. Jerman dan Belanda, misalnya, menyukai produk-produk yang berat/keras, seperti rotan-rotan. Sedangkan Italia menyukai barang pernak-pernik yang fashionable dengan warna mencolok. Selera Jepang dan beberapa negara Asia beda lagi.

"Setelah mengetahui maunya pasar, saya siap mendesain dan memenuhi keinginan mereka. Pokoknya, apa pun yangdiinginkan pembeli, pasti siapkan. Kalau perlu saya rela jalan-jalan ke berbagai daerah mencari barang yang di pesanan pembeli di luar negeri," tambah perempuan yang menyuka travelling ini.

Karena kini kerap berangkat sendiri berpameran di negeri orang, Estie siap melakoni sendiri semua kegiatan. Mulai mengangkat barang, membentangkan karpet, menyusun barang hingga lighting dikerjakan sendiri. Untungnya, Estie terbiasa dengan dunia interior sehingga menata ruangan tak terlalu berat.

Kembali dari nol Krisis global Eropa tahun 2008 sangat berpengaruh dengan usaha yang dijalankan Estie. Padahal selama ini 80 persen ekspor produknya dikirim ke Eropa. Kelesuan itu terasa saat ia mengikuti pameran di Jerman dan Italia dua tahun lalu. Omzet per bulan Rp 10 miliar tak lagi terpenuhi. Dari pengalaman itu perempuan berusia 29 tahun ini mendapat hikmah berharga.

"Saya bisa ngerasain usaha dari nol lagi. Semua ini hadapi saja, karena prinsip saya cintailah masalah supaya kita bisa belajar dari masalah. Makanya, saya tidak pernah merasa stres, walaupun order surut," ungkap Estie yang menjadikan ibu sebagai mentor dalam menjalankan usahanya. Ia pun menyeriusi belahan bumi lain. Ia memenuhi suplai dekorasi beberapa hotel bintang lima di Dubai aneka lampu untuk Australia, dan aneka boks unik untuk toko interior di Korea Selatan.

Tak hanya belajar merentang pasar. Krisis Eropa juga memaksa Estie lebih banyak berkreasi. Sebab, ia kini mulai melirik pangsa domestik. Langkah pertama yang dilakukannya, membuka showroom di Jakarta, Toko Kotakatik. Konsepnya, menyajikan perabotan home decoration dengan harga lebih terjangkau.Untuk sementara, barang yang tersedia di showroom sisa-sisa ekspor. Bila di Eropa harga lampu meja berkisar 10 dolar hingga 12 dolar AS, ia menjualnya di Jakarta dengan harga miring. Ada diskon juga," papar Estie.

Ia berpromosi melalui facebook dan blog. Ke depan Estie berharap, pangsa domestiknya bisa berkembang lebih luas Tentunya, pesanan mancanegara pun semakin melimpah. J nm

Entri Populer