" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Social Entrepreneur

Social Entrepreneur

Pelopor Lahan Ashitaba Seluas 30 Hektare di Mojokerto

Awalnya, Tramiadji sulit meyakinkan penduduk sekitar agar mau menanam ashitaba atau seledri Jepang. Maklum, tanaman ini belum banyak dikenal oleh masyarakat. Selain itu beberapa warga pernah tertipu. Alhasil, penduduk Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur enggan menanam sayuran yang disuka orang Jepang ini.

BERKAT kesabaran dan bukti hasil panen yang memuaskan, kini hampir separuh petani di Desa Ketapanrame menanam ashitaba Tramiadji, salah satu penggagas penanaman ashitaba di desa itu dan juga pemimpin Koperasi Masyarakat Desa Hutan (KMDH) Margomulyo, terus mengembangkan perkebunan Ashitaba dan produk turunannya.Dia mulai menanam ashitaba pada tahun 2002. Waktu itu penduduk bekerja-sama dengan perusahaan milik pengusaha asal Jepang yang berlokasi di Surabaya. Perusahaan inilah yang menjual produk ashitaba ke Jepang.

Semula penananam ashitaba dilakukan di lahan hutan milik Perhutani, ashitaba ditanam di sela-sela pepohonan yang ada di hutan. Tramiadji bilang, di tahun-tahun awal banyak petani ragu karena pernah kena tipu. "Ada pengusaha datang ikut menanam, tapi setelah panen mereka tidak membeli," kata Tramiadji.Setelah kejadian itu dia berkomitmen untuk mengubah nasib para petani. Awalnya hanya lima petani yang bersedia menanam ashitaba. Dengan kondisi tanah yang subur dan suhu yang pas, hasil panen tahun pertama memuaskan. Alhasil, akhirnya banyak petani lain yang tertarik menanamnya

Lahan yang semula hanya seluas 3 hektare (ha), bertambah luas menjadi 5 ha Kini, lahan penanaman ashitaba mencapai sekitar 30 ha di dua lokasi. "Lahan im digarap oleh sekitar 150 orang," kata Tramiadji.Lahan penanaman ashitaba selama ini berada di dalam hutan. Para petani tidak menanam ashitaba di kampung karena permintaan dari Jepang mengharuskan daun tumbuhan ini organik dan ditanam di lahan bebas |msIismI,i selama minimal duii tahun. Satu-satunya lahan yang memenuhi syarat itu terletak di hutan.

Ashitaba terbukti bisa meningkatkan pendapatan penduduk Ketapanrame.Sebelumnya, penduduk yang kebanyakan petani ini menanam palawija di lokasi yang sama. Tapi, hasilnya tak seberapa. Misalnya, sekali panen, penghasilan bersih petani hanya sekitar Rp 450.000 untuk setengah hektare lahan. "Setelah menanam ashitaba ini, penghasilan bersih para petani bisa mencapai Rp 2 juta per setengah hektare sekali panen," kata Tramiadji.

Maklum, tak hanya daun, akar dan getah ashitaba bisadijual Hargajual daun ashitaba Rp 700 per kilogram (kg) di tingkat petani. Sedangkan harga akar ashitaba Rp 500 per kg. Produk termahal justru getah tanaman ini yang harganya antara Rp 150.000 hingga Rp 300.000 per kg.Tramiadji yang memang berasal dari keluarga petaniini sempat mengikutipertukaran pemuda ke Jepang. Tahun 1991, dia dikirim ke Jepang setelah lulus seleksi sebagai pemuda tani teladan tingkat nasional. Di sana, selama setahun, dia belajar soal tanaman pangan dan tanaman bunga. Pengalaman nulah yang menjadi bekal Tramiadji mengembangkan pertanian di Ketapanrame.

Pada 2006 Tramiadji dan para petani ashitaba membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Margo-mulyo. Lembaga ini menangani permasalahan yang ada di dalam kawasan hutan. Untuk mengurus masalah ekonomi dan pengembangannya, dibentuklah KMDH Margomulyo pada tahun lalu."LMDH ini dasar hukumnya kurang kuat sehingga tidak bisa masuk ke sektor lain," kata Tramiadji. Nah, koperasi im Ia 11 yang berhubungan dengan pihak luar, misalnya Kementerian Pertanian, kementerian Koperasi, dan Kementerian Kehutanan.

Kesuksesan budidaya aslutaba di lingkungan hutantersebut mengantarkan LMDH Margomulyo menggondol penghargaan juara pertama untuk LMDH kategori penghijauan nasional dan pemanfaatan lahan hutan pada -tahun 2009. Tahun ini kami mengajukan KMDH Margomulyo ke lomba nasional," imbuh Tramiadji. Saat ini, KMDH Margomulyo sudah menempati peringkat pertama KMDH di Provinsi Jawa Timur.Toh, prestasi yang bagus belum mei\jamin KMDH Margomulyo diperhatikan oleh pemerintah. "Selama ini hanya ada bantuan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dari Perhutani saja," kata Tramiadji. Modal lain bersumber dari danaanggota, yang dinilai masih belum mencukupi.

Selain masalah permodalan, Tramiadji bilang bahwa akses pemasaran produk turunan ashitaba masih minim. "Kami mumi dibantu Perhutani dan perusahaan pengekspor," imbuhnya.Saat ini kapasitas produksi daun ashitaba di Ketapanrame yang berpenduduk sekitar 4.000 jiwa ini mencapai 750 ton per tahun. Namun, permintaan ekspor ke Jepang tahun ini turun menjadi 200 ton. Penurunan permintaan lantaran daya beli masyarakat yang sedang melemah akibat krisis ekonomi. Permintaan tertinggi terjadi dua tahun lalu yang mencapai 750 ton setahun.

Oleh karena itu kini para petani mengembangkan produk turunan berupa keripik dan kue kering berbahan baku ashitaba lewat wadah KMDH Margomulyo. Namun, produk turunan ini juga belum bisa menyerap seluruh hasil panen mereka. Kapasitas produksi industri rumahan ini terbentur pada alat pengolahan daun ashitaba.Pemasaran juga masih dalam tahap pengembangan. Saat ini pemasaran produk keripik dan kue kering ini masih terbatas di Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya. "Kami sedang mengupayakan agar tidak tergantung pada satu pasar ini saja," pungkas Tramiadji.

Entri Populer