Cerita sukses Puji alias Suwaji sebagai juragan sampah di Bantar Gebang
yang telah merubah hidupnya dari miskin papa menjadi sosok yang kaya
raya pada bagian pertama serial jurnalistik ini, mungkin bisa menggugah
semangat pemulung-pemulung lain untuk lebih bekerja keras. Apa yang
dialami para pemulung miskin yang banyak bertebaran di Jabodetabek, juga
pernah dialami sang miliarder ini. Bagaimana susah dan menderitanya
Puji saat itu. Tak jarang, melewati malam-malam dengan menahan perut
lapar.
Sebelas tahun yang lalu, Puji “hanya” seorang pemulung di
daerah Cakung Jakarta Timur. Setiap hari menyelusuri jalan mencari
benda-benda bekas yang bisa dijual ke lapak-lapak limbah. Dengan pakaian
compang-camping, Puji kerap dicurigai orang, apalagi jika dia
beroperasi menjelang Subuh. Disangka mengambil barang orang sehingga
berurusan dengan pihak berwajib menjadi pengalaman hidupnya yang tak
terlupakan.
Saat itu, hasil memulung hanya bisa untuk buat makan.
Itu pun katanya, kurang. Bertahun-tahun Puji hanya mampu menyediakan
uang Rp2.500 untuk makannya per-minggu. “Sakit dan menderita sekali,
hampir-hampir saya putus asa,” kenangnya.
Sepuluh tahun menjalani
kehidupan suram, Puji mencoba untuk bangkit. Saat itu, katanya,
sebenarnya dia sudah tak mampu hidup di Jakarta. Tapi mau pulang
kampung, malu, tidak bisa membawa apa-apa. Puji pun mencari alternatif
lain, pindah ke pinggiran kota, tepatnya di kampung Ciketing Bantar
Gebang Bekasi. Waktu itu dia sama sekali tidak tahu kalau di dekat rumah
yang baru dikontraknya ada tempat pembuangan sampah dari Jakarta.
“Mungkin udah jodoh saya sebagai pemulung, he..he..”
Ibarat pucuk
dicita ulam pun tiba, Puji langsung meneruskan karirnya sebagai
pemulung. Di lokasi yang baru ini, dia mendapatkan limbah yang jauh
lebih banyak ketimbang masih beroperasi di Jakarta. Puji pun semakin
rajin mengais rejeki di atas tumpukan sampah yang menggunung. Tengah
malam, Subuh hingga siang dan Maghrib, Puji bekerja tanpa kenal lelah
mengumpulkan barang-barang bekas di antara sampah-sampah yang membusuk
dengan aroma yang sangat bau dan menyengat.
Bersama isteri
tercinta yang baru dinikahinya, Sulastri, mereka sama-sama berjuang
untuk mendapatkan sampah di tengah persaingan yang seringkali tidak
sehat diantara sesama pemulung yang mulai berdatangan dan membuat lapak
tidak jauh dari lokasi pembuangan sampah. Hasil dari penjualan
barang-barang limbah itu dia kumpulkan sedikit demi sedikit, dan
akhirnya bisa buat modal untuk membeli barang-barang sejenis dari
rekan-rekannya sesama pemulung.
Sekarang, setelah 11 tahun
menekuni limbah asal Bantar Gebang, kehidupan Puji berubah drastis. Dia
termasuk orang yang terkaya dan sukses di kampung Ciketing Bantar Gebang
Bekasi, sekitar wilayah tempat pembuangan sambah Bantar Gebang.
Mampu
menggaji sopir per hari Rp 50.000 dan 18 karyawan yang rata-rata
mendapat gaji antara Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per-hari, sedikitnya
Puji mengeluarkan uang 500 ribu setiap hari operasional rutin, dan Rp100
juta per-minggu untuk beli barang.
Pria yang hobi main catur dan
biliar ini mengaku, merasa bermimpi dengan apa yang diperolehnya saat
ini. Di kampung, dia membeli tanah dan mendirikan rumah bak istana untuk
ibunya. Puji kini sedang mempersiapkan masa depan dua anaknya: Sri Puji
Lestari yang sekolah di SMA Teratai Putih dan si bontot Oktavia. Kata
Puji, anak sulungnya itu bercita-cita ingin menjadi dokter. Makanya dia
sudah mempersiapkan sang putri untuk bisa masuk ke fakultas kedokteran.
“Berapa pun biayanya akan saya sanggupi,” tegasnya.
“Saya nggak
mau anak-anak saya jadi orang bodoh seperti bapaknya. Terus terang,
sampai saat ini pun mereka tidak tahu latar belakang saya yang pernah
sepuluh tahun menjadi pemulung yang makan Rp2.500 per minggu. Mungkin
mereka akan tahu setelah membacanya di koran ini,” ujar Puji.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html