29/02/2012
Menyoal skema tarif pajak UMKM
Pemerintah perlu mengkaji dengan matang atau menundanya
IRWAN WISANGCENI Pengajar di FE Universitas Mercu Buana Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengusulkan skema pajak untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar 2% dari omzet, dengan perincan 1% untuk pajak penghasilan (PPh) dan 1% dari omzet untuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany menyatakan UMKM yang dimaksud adalah usahayang omzet tahunannya mencapai Rp300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar dalam setahun. Kebijakan ini akan diluncurkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mungkin dalam bentuk PP (peraturan pemerintah) dan tujuan pajak untuk UMKM ini jelas mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor UMKM.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, jumlah UMKM sebanyak 53,82 juta unit dengan total omzet Rp3.466 triliun atau 57,12% dari total produk domestik bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, sekitar 21,81 juta unit sudah menjadi wajib pajak. Jika dianalisis dari data di atas, jelas sekali UMKM memiliki potensi pajak yang besar.
Alasan lain yang mengemuka mengapa pemerintah ingin memajaki sektor UMKM adalah prinsip keadilan untuk semua. Teori fiskal menjelaskan soalprinsip keadilan perpajakan, hal ini lebih ditunjukkan pada keadaan pemerataan dalam arti, sama rata dan sama rasa distribusi beban penerimaan negara (pajak) yang harus didukung (bayar) oleh segenap warga masyarakat.
Keadilan (ekuitas) dalam sistem pajak meliputi dua aspek, yaitu horizontal dan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut kesamaan perlakuan perpajakan antarorang yang berada dalam kemampuan pajak yang sama, sedangkan keadaan vertikal menunjuk kepada perbedaan pemajakan antarorang yang berbeda kemampuan membayarnya (ability to pay).
Atas dasar teori di atas, pemerintah ingin menggali potensi pajak dari sektor UMKM. Pihak DJP membandingkan antara buruh pabrik dengan upah Rp3 juta per bulan sudah dipotong bulanan untuk membayar PPh, sementara pemilik toko yang omzetnya mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta rupiah per bulan tidak membayar pajak.
Sebenarnya sah-sah saja pemerintah inginmenggali pajak dari sektor UMKM. Karena Indonesia sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang dan objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya.
Yurisdiksi pemajakan [tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle, 1979). Persoalannya bagaimana dengan mekanisme perhitungan dan tarif dari pajak UMKM ini, apakah akan mendatangkan masalah teknis di lapangan dan dampak ekonomi yang mungkin akan menyebabkan sektor UMKM menjadi terpuruk tak mampu bersaing.
Di negara China, sektor UMKM sangat didukung oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu ini. Sehingga di negara itu, para ahli ekonomi memperkirakan bahwa sektor UMKM mampu menyumbang 60% dari hasil industri dan mampu mempekerjakan 75% dari angkatan kerja yang ada di China.
Pertumbuhan UMKM di China 20% per tahun, jauh lebih tinggi dari angka rata-rata 9,5% yang merupakan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional China dalam dua dekade terakh Harqa Jual Kemahalan
Kebijakan perhitungan tarif pajak untuk UMKM ini menuai kritik dan juga penolakan baik dari pengamat perpajakan, akademisi maupun dari pengusaha UMKM. Kritik ini bukan datang dari ruang kosong melainkan memiliki alasan yang kuat.
Secara teknis pengusaha UMKM keberatan jika tarif pajak dihitung dengan menggunakan tarif 2% dari omzet per tahun, misalnya seorang pengusaha perparkiran gedung di sekitar Jabotabek meminta agar tarif pajak dihitung dari laba bukan dari omzet.
Begitu juga dengan pengusaha restoran dan pusat jajanan di Medan yang menilai tarif pajak yang dihitung dari omzet akan memberatkan, intinya pajak naik, harga jual akan dinaikkan, pembeli berkurang dan mereka akan gulung tikar, tidak ada pembeli karena harga jual kemahalan.
Penulis berpendapat sebaiknya DJP memberlakukan pajak untuk sektor UMKM bukan dihitung dari omzet melainkan dari laba (keuntungan). Selain itu, laba tersebut harus dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) karena pengusaha UMKM pun memiliki biaya hidup yang harus dikurangi dari laba usaha yang diperoleh. Biaya hidup UMKM ini diakomodasi dalam PTKP yang besarnya diatur secara lerpe-inci dalam undang-undang pajak penghasilan Pasal 7
UU nomor 36 tahun 2008.
Kendala lain yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan angka laba per tahun adalah menggunakan pembukuan (akuntansi) sedangkan sektor UMKM terbatas dari segi finansial, untuk membayar jasa pembukuan pastilah sangat memberatkan pengusaha sektor ini.
Maka diperlukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Caranya, pemerintah bisa membuatkan semacam daftar persentase penghasilan neto, isinya mengenai persentase keuntungan bersih dari setiap jenis usaha UMKM.
Misalnya untuk industri makanan 15% dikalikan dengan omzet per tahun dan dikurangi PTKP lalu dikalikan dengan tarif pajak sebesar 2%, maka akan didapati angka pajak yang harus dibayar. Cara ini praktis dan UMKM tidak perlu menggunakan jasa pembukuan (akuntansi) untuk menetapkan labanya.
Peraturan menggunakan norma perhitungan (daftar persentase penghasilan neto) seperti ini sudah ada, tapi untuk pengusaha ber omzet di bawah Rpl,8 miliar yang tidak menyelenggarakan pembukuan, payung hukumnya adalah KEP 536/PJ/200 dan PMK 03/2007.
Penulis juga beranggapan perlunya pemerintah mengkaji dengan matang atau menunda dahulu kebijakan ini.
Pendapat penulis bersanding lurus dengan pernyataan Menteri Koperasi dan UKM Syarifudin Hasan bahwa kebijakan pajak terhadap UMKM belum final dan pelaku usaha mikro hendaknya dibebaskan dari pengenaan pajak agar mereka bisa mengembangkan usahanya (menigkatkan kekayaan) sehingga pada titik tertentu dapat dipungut pajak.
Sumber : Harian Bisnis Indonesia
Pemerintah perlu mengkaji dengan matang atau menundanya
IRWAN WISANGCENI Pengajar di FE Universitas Mercu Buana Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengusulkan skema pajak untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar 2% dari omzet, dengan perincan 1% untuk pajak penghasilan (PPh) dan 1% dari omzet untuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany menyatakan UMKM yang dimaksud adalah usahayang omzet tahunannya mencapai Rp300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar dalam setahun. Kebijakan ini akan diluncurkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mungkin dalam bentuk PP (peraturan pemerintah) dan tujuan pajak untuk UMKM ini jelas mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor UMKM.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, jumlah UMKM sebanyak 53,82 juta unit dengan total omzet Rp3.466 triliun atau 57,12% dari total produk domestik bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, sekitar 21,81 juta unit sudah menjadi wajib pajak. Jika dianalisis dari data di atas, jelas sekali UMKM memiliki potensi pajak yang besar.
Alasan lain yang mengemuka mengapa pemerintah ingin memajaki sektor UMKM adalah prinsip keadilan untuk semua. Teori fiskal menjelaskan soalprinsip keadilan perpajakan, hal ini lebih ditunjukkan pada keadaan pemerataan dalam arti, sama rata dan sama rasa distribusi beban penerimaan negara (pajak) yang harus didukung (bayar) oleh segenap warga masyarakat.
Keadilan (ekuitas) dalam sistem pajak meliputi dua aspek, yaitu horizontal dan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut kesamaan perlakuan perpajakan antarorang yang berada dalam kemampuan pajak yang sama, sedangkan keadaan vertikal menunjuk kepada perbedaan pemajakan antarorang yang berbeda kemampuan membayarnya (ability to pay).
Atas dasar teori di atas, pemerintah ingin menggali potensi pajak dari sektor UMKM. Pihak DJP membandingkan antara buruh pabrik dengan upah Rp3 juta per bulan sudah dipotong bulanan untuk membayar PPh, sementara pemilik toko yang omzetnya mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta rupiah per bulan tidak membayar pajak.
Sebenarnya sah-sah saja pemerintah inginmenggali pajak dari sektor UMKM. Karena Indonesia sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang dan objek yang berada di dalam wilayah kekuasaannya.
Yurisdiksi pemajakan [tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle, 1979). Persoalannya bagaimana dengan mekanisme perhitungan dan tarif dari pajak UMKM ini, apakah akan mendatangkan masalah teknis di lapangan dan dampak ekonomi yang mungkin akan menyebabkan sektor UMKM menjadi terpuruk tak mampu bersaing.
Di negara China, sektor UMKM sangat didukung oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu ini. Sehingga di negara itu, para ahli ekonomi memperkirakan bahwa sektor UMKM mampu menyumbang 60% dari hasil industri dan mampu mempekerjakan 75% dari angkatan kerja yang ada di China.
Pertumbuhan UMKM di China 20% per tahun, jauh lebih tinggi dari angka rata-rata 9,5% yang merupakan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional China dalam dua dekade terakh Harqa Jual Kemahalan
Kebijakan perhitungan tarif pajak untuk UMKM ini menuai kritik dan juga penolakan baik dari pengamat perpajakan, akademisi maupun dari pengusaha UMKM. Kritik ini bukan datang dari ruang kosong melainkan memiliki alasan yang kuat.
Secara teknis pengusaha UMKM keberatan jika tarif pajak dihitung dengan menggunakan tarif 2% dari omzet per tahun, misalnya seorang pengusaha perparkiran gedung di sekitar Jabotabek meminta agar tarif pajak dihitung dari laba bukan dari omzet.
Begitu juga dengan pengusaha restoran dan pusat jajanan di Medan yang menilai tarif pajak yang dihitung dari omzet akan memberatkan, intinya pajak naik, harga jual akan dinaikkan, pembeli berkurang dan mereka akan gulung tikar, tidak ada pembeli karena harga jual kemahalan.
Penulis berpendapat sebaiknya DJP memberlakukan pajak untuk sektor UMKM bukan dihitung dari omzet melainkan dari laba (keuntungan). Selain itu, laba tersebut harus dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) karena pengusaha UMKM pun memiliki biaya hidup yang harus dikurangi dari laba usaha yang diperoleh. Biaya hidup UMKM ini diakomodasi dalam PTKP yang besarnya diatur secara lerpe-inci dalam undang-undang pajak penghasilan Pasal 7
UU nomor 36 tahun 2008.
Kendala lain yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan angka laba per tahun adalah menggunakan pembukuan (akuntansi) sedangkan sektor UMKM terbatas dari segi finansial, untuk membayar jasa pembukuan pastilah sangat memberatkan pengusaha sektor ini.
Maka diperlukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Caranya, pemerintah bisa membuatkan semacam daftar persentase penghasilan neto, isinya mengenai persentase keuntungan bersih dari setiap jenis usaha UMKM.
Misalnya untuk industri makanan 15% dikalikan dengan omzet per tahun dan dikurangi PTKP lalu dikalikan dengan tarif pajak sebesar 2%, maka akan didapati angka pajak yang harus dibayar. Cara ini praktis dan UMKM tidak perlu menggunakan jasa pembukuan (akuntansi) untuk menetapkan labanya.
Peraturan menggunakan norma perhitungan (daftar persentase penghasilan neto) seperti ini sudah ada, tapi untuk pengusaha ber omzet di bawah Rpl,8 miliar yang tidak menyelenggarakan pembukuan, payung hukumnya adalah KEP 536/PJ/200 dan PMK 03/2007.
Penulis juga beranggapan perlunya pemerintah mengkaji dengan matang atau menunda dahulu kebijakan ini.
Pendapat penulis bersanding lurus dengan pernyataan Menteri Koperasi dan UKM Syarifudin Hasan bahwa kebijakan pajak terhadap UMKM belum final dan pelaku usaha mikro hendaknya dibebaskan dari pengenaan pajak agar mereka bisa mengembangkan usahanya (menigkatkan kekayaan) sehingga pada titik tertentu dapat dipungut pajak.
Sumber : Harian Bisnis Indonesia