27/01/2012
Mengukur Manfaat Pajak UMKM
Salah satu langkah Ditjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak Tahun 2012 ini adalah pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan Usaha Kecil Menengah (UKM). Langkah ini kemudian dikaitkan dengan rencana pengenaan pajak terhadap usaha mikro.
Banyak kalangan menanggapi kebijakan tersebut. Bahkan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) bersikeras agar usaha mikro dengan omzet tahunan di bawah Rp 300 juta per tahun tidak kena pajak.
Adapula yang membuat perumpamaan usaha mikro ini dengan pedagang bakso di pinggir jalan, sehingga tidak layak dikenai pajak. Alhasil, bisa saja persepsi publik terhadap pajak menjadi kurang baik karena kurang berpihak kepada rakyat kecil.
Karena itu, perlu dijelaskan secara detail kepada publik apa yang dimaksud dengan pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan sektor UKM tersebut. Agar tidak keliru, sebaiknya terminologi usaha mikro dan usaha non-mikro (kecil dan menengah) dipahami terlebih dahulu. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, batasan usahamikro adalah omzet tahunan di bawah Rp 300 juta atau memiliki kekayaan bersih, termasuk tanah dan tempat tinggal di bawah Rp 50 jutaSelain batasan usaha itu, masuk kategori bukan usaha mikro.
Walaupun skala mikro, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru paling besar. Sumbangannya mencapai-Rp 1.761,64 triliun atau setara 36,3% dari total PDB tahun 2009. Sebaliknya, usaha kecil dan menengah hanya menyumbang Rp 1.237,45 triliun atau 25,6% dari total PDB tahun 2009.
Dengan jumlah UMKM saat ini berkisar 55 juta entitas (Kementerian Koperasi dan UKM, 2009) dan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan terdaftar sektor UMKM sekitar 8 Juta wajib pajak, maka diperkirakan ada sekitar 47 juta pelaku usaha UMKM yang akan menjadi wajib pajak.
Karakteristik UMKM
Jika melihat lebih dari 61% PDB Indonesia berasal dari UMKM, diproyeksikan masih banyak potensi pajak dari sektor ini. Namun, tidak berarti Ditjen Pajak agresif mengenakan pajak pada semua pelaku usaha tersebut. Ditjen Pajak akan menggenakan pajak pada sektor UMKM secara selektif dan bertahap. Sektor mikro seyogyanya tidak disentuh dulu karenapertimbangan sosiologis pelaku usahanya.
Karakteristik usaha mikro atau dikenal dengan sektor informal adalah kepemilikan individu perorangan atau keluarga, tidak terdaftar secara resmi dan belum diakui sebagai badan usaha atau berbadan hukum.
Karakteristik lain adalah memanfaatkan teknologi sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan keterampilan rendah dan umumnya belum membayar pajakformal, tetapi pajak informal relatif tinggi.
Mereka yang masuk kategori ini adalah para pedagang yang berjualan di tempat tempat keramaian, atau maksimal pemilik kios kecil di pasar tradisional.Permasalahan mendasar usaha mikro ini adalah permodalan. Mereka banyak yang belum terkena akses perbankan, sehingga sulit sekali mengembangkan usahanya. Sedangkan mereka yang telah mendapatkan akses, justru menggunakannya untuk kepentingankonsumtif, seperti membeli sepeda motor. Hanya 39% yang mengajukan kredit untuk modal kerja
Berbeda dengan pelaku usaha lain, usaha mikro cenderung menerapkan perhitungan keuntungan harian. Mereka ini secara cermat menghitung semua penghasilan dan keuntungan setiap harinya, termasuk cicilan atau pungutan yang harus dibayarkan.
Jadi, tidak heran apabila setiap hari banyak sekali para kreditur berkeliling. Perbankan juga menempuh cara ini, memungut cicilan kredit dengan basis harian. Fasilitas perpajakan, berupa penggenaan tarif pajak yang lebih kecil dari tarif normal dan kemudahan administrasi pembayaran, sebaiknya diperuntukkan untuk sektor usaha kecil dan menengah. Usaha mikro justru harus terlebih dahulu didorong memiliki kemudahan memperoleh fasilitas perbankan, misalnya dengan pemberian fasilitas kredit permodalan.
Selain itu, mereka juga harus dibimbing untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan manajemen usaha modem.Ketika fasilitas ini sudah didapatkan, maka sektor mikro akan naik kelas dan masuk dalam lapisan sektor usaha kecil atau menengah. Akibatnya, secara otomatis, mereka akan dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan yang telah disediakan.
Salah satu langkah Ditjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak Tahun 2012 ini adalah pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan Usaha Kecil Menengah (UKM). Langkah ini kemudian dikaitkan dengan rencana pengenaan pajak terhadap usaha mikro.
Banyak kalangan menanggapi kebijakan tersebut. Bahkan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) bersikeras agar usaha mikro dengan omzet tahunan di bawah Rp 300 juta per tahun tidak kena pajak.
Adapula yang membuat perumpamaan usaha mikro ini dengan pedagang bakso di pinggir jalan, sehingga tidak layak dikenai pajak. Alhasil, bisa saja persepsi publik terhadap pajak menjadi kurang baik karena kurang berpihak kepada rakyat kecil.
Karena itu, perlu dijelaskan secara detail kepada publik apa yang dimaksud dengan pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan sektor UKM tersebut. Agar tidak keliru, sebaiknya terminologi usaha mikro dan usaha non-mikro (kecil dan menengah) dipahami terlebih dahulu. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, batasan usahamikro adalah omzet tahunan di bawah Rp 300 juta atau memiliki kekayaan bersih, termasuk tanah dan tempat tinggal di bawah Rp 50 jutaSelain batasan usaha itu, masuk kategori bukan usaha mikro.
Walaupun skala mikro, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru paling besar. Sumbangannya mencapai-Rp 1.761,64 triliun atau setara 36,3% dari total PDB tahun 2009. Sebaliknya, usaha kecil dan menengah hanya menyumbang Rp 1.237,45 triliun atau 25,6% dari total PDB tahun 2009.
Dengan jumlah UMKM saat ini berkisar 55 juta entitas (Kementerian Koperasi dan UKM, 2009) dan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan terdaftar sektor UMKM sekitar 8 Juta wajib pajak, maka diperkirakan ada sekitar 47 juta pelaku usaha UMKM yang akan menjadi wajib pajak.
Karakteristik UMKM
Jika melihat lebih dari 61% PDB Indonesia berasal dari UMKM, diproyeksikan masih banyak potensi pajak dari sektor ini. Namun, tidak berarti Ditjen Pajak agresif mengenakan pajak pada semua pelaku usaha tersebut. Ditjen Pajak akan menggenakan pajak pada sektor UMKM secara selektif dan bertahap. Sektor mikro seyogyanya tidak disentuh dulu karenapertimbangan sosiologis pelaku usahanya.
Karakteristik usaha mikro atau dikenal dengan sektor informal adalah kepemilikan individu perorangan atau keluarga, tidak terdaftar secara resmi dan belum diakui sebagai badan usaha atau berbadan hukum.
Karakteristik lain adalah memanfaatkan teknologi sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan keterampilan rendah dan umumnya belum membayar pajakformal, tetapi pajak informal relatif tinggi.
Mereka yang masuk kategori ini adalah para pedagang yang berjualan di tempat tempat keramaian, atau maksimal pemilik kios kecil di pasar tradisional.Permasalahan mendasar usaha mikro ini adalah permodalan. Mereka banyak yang belum terkena akses perbankan, sehingga sulit sekali mengembangkan usahanya. Sedangkan mereka yang telah mendapatkan akses, justru menggunakannya untuk kepentingankonsumtif, seperti membeli sepeda motor. Hanya 39% yang mengajukan kredit untuk modal kerja
Berbeda dengan pelaku usaha lain, usaha mikro cenderung menerapkan perhitungan keuntungan harian. Mereka ini secara cermat menghitung semua penghasilan dan keuntungan setiap harinya, termasuk cicilan atau pungutan yang harus dibayarkan.
Jadi, tidak heran apabila setiap hari banyak sekali para kreditur berkeliling. Perbankan juga menempuh cara ini, memungut cicilan kredit dengan basis harian. Fasilitas perpajakan, berupa penggenaan tarif pajak yang lebih kecil dari tarif normal dan kemudahan administrasi pembayaran, sebaiknya diperuntukkan untuk sektor usaha kecil dan menengah. Usaha mikro justru harus terlebih dahulu didorong memiliki kemudahan memperoleh fasilitas perbankan, misalnya dengan pemberian fasilitas kredit permodalan.
Selain itu, mereka juga harus dibimbing untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan manajemen usaha modem.Ketika fasilitas ini sudah didapatkan, maka sektor mikro akan naik kelas dan masuk dalam lapisan sektor usaha kecil atau menengah. Akibatnya, secara otomatis, mereka akan dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan yang telah disediakan.
Sumber : Harian Kontan
Chandra Budi,Karyawan Direktorat Jendral Pajak,Alumnus Pasca Sarjana IPB
Chandra Budi,Karyawan Direktorat Jendral Pajak,Alumnus Pasca Sarjana IPB