11/01/2011
Capek Jadi Pegawai, Pindah Jadi Eksportir
Pengalaman menjadi marketing perusahaan eksportir kopi membuat Sadarsah paham betul bagaimana cara jualan kopi dan jenis kopi apa yang laku di pasar. Nah, ketika seluruh dunia lagi paceklik kopi pada 2006, Sadarsah pun pindah kerja dengan menjadi eksportir kopi. Usaha ini berjalan mulus dengan omzet miliaran saban bulan.
Kopi asal Indonesia sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Sebut saja kopi arabica maupun kopi robusta yang banyak diburu pecinta kopi. Kemudian ada kopi luwak yang disebut-sebut sebagai kopi terenak dan termahal di dunia.
Lantas ada juga kopi gayo di Aceh. Kopi ini di luar negeri juga terkenalnya seperti halnya kopi luwak. Kopi gayo ini adalah jenis kopi arabika yang dikembangkan secara organik oleh pekebun kopi di dataran tinggi Gayo di Sumatera Utara Karena itu, kopi ini menjadi salah satu kopi favorit di dunia.
Sebagai kopi favorit tentu permintaan kopi ini juga tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Nah, peluang ini menjadi eksportir kopi gayu inilah yang dimainkan dengan baik oleh Sadarsah.
Pria kelahiran Medan 19 November 1974 ini melalui CV Arvis Sanada perusahaan yang ia dirikan pada 2006, mengekspor kopi gayo ke Amerika Serikat, Inggris, Kuwait, Taiwan, Korea, Australia, Jepang, dan Laos. Saban bulan ia mengirim 15 kontainer kopi gayo ke berbagai negara itu dengan omzet minimal Rp 8 miliar.
Sadarsah mulai mengenal bisnis kopi ketika lulus kuliah pada 2001. Ketika itu dia masih menjadi tenaga pemasar di lima perusahaan eksportir kopi di Medan, Sumatera Utara Setelah hampir lima tahun bekerjaalumnus Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini mulai memilih jalan untuk berwiraswasta. "Dengan memiliki usaha sendiri saya bisa lebih bebas berinovasi dan mengembangkanide-ide," pungkasnya
Pada 2006, dengan modal pinjaman dari seorang teman, Sadarsah mendirikan Arvis Sanada di Medan. Dia perlu membuat badan usaha karena melihat peluang besar dalam bisnis ekspor kopi. Apalagi ketika itu dunia lagi paceklik kopi.
Saat itu, nyaris seluruh perusahaan kopi di dunia kolaps lantaran pasokan kopi berkurang 50%. Situasi sulit inilah yang dibaca Sadarsah sebaliknya Bagi dia kekurangan pasokan itu harus dia isi. Apalagi dia tahu ada produksi kopi yang melimpah ruah di Tanah Gayo. Selain itu, dia sudah paham betul seluk beluk ekspor kopi.
Ekspor perdana yang cuma satu kontainer itu ternyata menjadi pembuka pintu gerbang bagi Sadarsah untuk memasuki perdagangan kopi dunia. "Di masa itu, langsung banyak permintaan kopi. Rata-rata, penikmat kopi dari luar negeri menginginkan kopi organik," kata anak dari pasangan Mude dan Ratih ini.
Sadar dengan peluang besar itu, Sadarsah pun berupaya untuk mendapatkan sertifikat kopi organik dari lembaga sertifikasi Control Union di Belanda. Sertifikat ini diperolehnya pada akhir tahun 2006.
Dengan modal tambahan berupa seriifikaI ilu, ekspor kopi Sadarsah pun makinlancar. Hingga kini, Sadarsah mengekspor dua jenis kopi, yakni kopi gayo dan kopi konvensional. Untuk kopi Gayo, ia jual dengan merek Sumatera Arabica Gayo dan merek Sumatera Arabica Potensi kopi gayo dan kopi lainnya masih sangat besar.
Mandating untuk kopi konvensional. Dengan mengusung slogan "Quality, Trust, and Excellence," pertumbuhan bisnis Sadarsah melesat bak meteor. Kalau pada 2006, omzet dia hanya Rp 600 juta per bulan dengan kemampuan ekspor kopi hanya satu kontainer. Tahun berikutnya omzet sudah melonjak drastis hingga Rp 1,5 miliar per bulan.
Pada 2008, omzetnya naiklagi menjadi Rp 3 miliar per bulan, dan pada tahun lalu, Sadarsah sudah berhasil ekspor 14 kontainer per bulan mencapai omzet sebesar Rp 7,6 miliar. Jika pada 2006 lalu Sadarsah hanya mampu mempekerjakan 15 karyawan, saat ini jumlah karyawan Anis Sanada sudah sebanyak 100 orang. "Sejak 2006 hingga 2011 ini harga kopi antara Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilo," terang Sadarsah.
Sadarsah yakin usahanya akan terus berkembang karena potensi kopi gayo dan kopi lainnya masih sangat besar. Menurut Sadarsah hasil perkebunan kopi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, masih cukup untuk menjawab kebutuhan kopi dunia. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (dpl) tersebut memiliki perkebunan kopi seluas 94.800 hektare.
Sumber: Harian Kontan
Ragil Nugroho