01/10/2011
Sukses Setelah Gagal Berulang Kali
Berkali-kali gagal ekspansi tidak membuat Irmawan Sadikin menyerah menekuni bisnis teknologi informatika (TI). Dari kegagalan itu ia memetik banyak pelajaran tentan bisnis TI. Kini ia memilih fokus menyediakan bisnis perangkat lunak untuk industri perbankan, lembaga pembiayaan, dan telekomunikasi.
KATA orang bijak, kegagalan itu jalan menuju sukses. Itu pula yang dialami Irmawan Sadikin. Chief Executive Officer Intelix Global Crossing ini sudah punya pengalaman menghadapi kegagalan dalam bisnis teknologi informatika (TI).
Irmawan yang produksi perangkat lunak itu beberapa kali harus memakan pahitnya kegagalan. Namun berkat pahitnya kegagalan itu pula Irmawan bisa merasakan manisnya kesuksesan. "Saat gagal pasti ada pelajaran," kata Irmawan.Salah satu kegagalan yang menjadi pecut terbesar bagi Irmawan adalah gagalnya meraih kesempatan meneruskan proyek pengadaan telepon seluler rumah dari salah satu perusahaan telekomunikasi pelat merah.
Pada mulanya, kerjasama sempat terjalin dengan apik. Namun di tengah jalan proyek dihentikan. "Padahal saya sudah selesai tahap ujicoba perangkat dan akan memasuki tahap komersial," ungkap Irmawan.
Saat penghentian kontrak proyek itu, jelas Intelix sudah keluar ongkos untuk ujicoba perangkat di Surabaya Tapi, keberuntungan belum berpihak pada Irmawan.
Namun bagi Irmawan, kegagalan itu bukan berarti dunia telah runtuh. Ia masih dengan penuh semangat menyingsingkan lengan baju untuk mencari proyek baru. "Walau gagal, tapi saya memperoleh teknolog, telepon seluler rumah," tutur
Irmawan.
Tidak butuh waktu lama, Irmawan kembali mendapatkan peluang emas dalam proyek pengadaan ring back tone dari produsen telepon seluler Nokia-Siemens. Saat itu ring back tone lagi booming," ujar pria yang pernah meraih pendidikan di Amerika Serikat itu. Untuk mendapatkan proyek dari produsen telepon seluler itu, Irmawan tidak menyodorkan teknologi ring back tone, tetapi ia menawarkan teknologi video ring back lone.Tawaran teknologi itu sempat ia demonstrasikan di Indonesia dan Singapura. Sayang, hasil demonstrasi tidak sesuai dengan harapan. Teknologi video ring back tone tidak mendapat responSalah satupenggunaperangkat lunakIntelix itu adalah Bank GE Capital.dari pemakai telepon seluler.
Irmawan bilang, kelemahan aplikasi video ring back tone itu adalah biayanya yang mahal. Untuk menggunakan aplikasi itu, konsumen harus merogoh kocek lebih dalam. "Saat itu kami optimis proyek itu mendunia," kata Irmawan yang menerima kegagalan itu dengan lapang dada
Belum cukup sampai disitu, Irmawan juga pernah gagal menjalin kerjasama dengan salah satu perusahaan TI asal malaysia Saat ituia disodori untuk membuat perusahaan patungan di Singapura.
Namun proses kerjasama itu berakhir kandas. Irmawan tidak meneruskan rencana tersebut, sebab perusahaan asal Malaysia itu ingin mengkomersialkan perangkat lunak Intelix yang sudah dipatenkan. "Hak cipta itu mahal," kata dia.
Meski sederetan kegagalan termasuk gagal mengibarkan bendera Intelix di Singapura, tidak menguburkan semangat ayah tiga anak itu. "Meski gagal, tapi saya bangga dengan karya saya," ujarnya
Belajar dari kegagalan itulah Irmawan akhirnya fokus mengembangkan produk perangkat lunaknya. Ia bersama tim Intelix kembali menciptakan perangkat lunak baru yang digunakan industri perbankan, industri telekomunikasi, dan lembaga pembiayaan yang selama ini menjadi mitra mereka. "Saya fokus melayani klien yang sudah ada," jelas Irmawan.
Hingga sekarang Irmawan tetap memprioritaskan peningkatan layanan kepada pelanggannya itu. Berkat kualitas layanan itulah Intelix menjadi lebih dikenal sehingga jumlah pelanggannya pun terus bertambah. Bahkan bank asal Amerika Serikat, GE Capital juga telah menggunakan perangkat lunak made in Intelix.
Karena berhasil mengandeng perbankan asing itulah nama Intelix semakin mencuat. Hingga akhirnya banyak perbankan nasional menggunakan perangkat lunak milik Irmawan. "Karena bank asing saja percaya dengan kami," pungkas Irmawan
Sebagai perusahaan TI lokal. Irmawan menilai perusahaan TI lokal sulit berkembang karena tidak fokus melayani pelanggan. "Setelah bikin perangkat lunak mereka tidak merawat dan mengembangkannya," tukas Irmawan.
Sumber : Harian Kontan
Dea Chadiza Syafina