07/21/2011
Omzet UKM Rp 300 Juta Dikenakan PPh Sekitar 3%
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah merampungkan draf Peraturan Pemerintah (PP) mengenai tarif pajak untuk sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).Dalam beleid tersebut, pemerintah akan memberikan beberapa kemudahan kepada sektor UKM untuk membayar pajak, termasuk tarif pajak yang lebih rendah.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan, penghitungan tarif pajak untuk UKM ini akan berbeda dengan penghitungan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang selama ini berlaku, yakni sebesar 25% dari laba perusahaan. Sedangkan dalam beleid ini, tarif PPh UKM ini akan ditentukan berdasarkan omzet per tahun.
Tarifnya akan lebih rendah, bahkan tidak sampai 5%, mungkin di bawah 3% atau 3%,"kata Dirjen Pajak Fuad Rahmany, di Jakarta, Rabu (20/7).Kategori UKM yang akan mendapatkan keringanan pajak, lanjut Fuad, adalah mereka yang memiliki omzet antara Rp 300 juta sampai Rp 4 miliar. Fuad memang masih enggan mengungkapkan kepastian tarifnya, karena beleid ini masih belum final. "Finalnya kami belum tahu, nanti harus ada rapat lagi di pemerintahan," ujar dia.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Pariaman Sinaga meminta agar pungutan pajak atas UKM diberlakukan kepada usaha yang omzetnya sudah di atas Rp 300 juta pertahun. Usulan itu berdasarkan aspirasi dari masyarakat pelaku koperasi dan UMKM. "Kami telah menyampaikan permohonan ini kepada Kementerian Keuangan, seyogianya Kemenkeu segera memberi respons atas permintaan itu," harap dia
Dia menambahkan, permintaan insentif pajak bagi koperasi dan UMKM telah disampaikan melalui Surat Menteri Koperasi dan UKM No 02/M.KUKM/I/2011 tertanggal 17 Januari 2011. Dalam suratnya itu, Menkop menyampaikan bahwa pada hakikatnya kalangan koperasi dan UMKM tidak keberatan atas pengenaan PPh. Namun, bagi usaha mikro dengan omzet Rp 300 juta pertahun diusulkan mendapat fasilitas pembebasan PPh dan PPN.
Usulan itu didasari fakta bahwa usaha mikro belum mendapat fesilitas perpajakan memadai untuk membangun usahanya. Oleh karena itu, pengelola warung Tegal (warteg) diharapkan mendapat pembebasan pajak. "Soalnya penerapan pajak warteg akan menambah beban konsumen yang sebagian besar merupakan rakyat kecil," tutur Pariaman.
Ketua Hipmi Erwin Aksa pernah mengusulkan agar batasan omzet pengusaha UKM dinaikkan dari semula Rp 600 juta menjadi Rp 2,5 miliar. Pasalnya, dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No 571/ KMK.03/2003 tanggal 29 Desember 2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil yang Dikenakan PPN, pasal 1 dinyatakan bahwa pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta.
Menanggapi tarif PPh UKM ini, pengamat pajak Ronny Bako tidak mempermasalahkan besaran tarif tersebut Yang justru jadi persoalan adalah status badan hukum dari usaha UKM tersebut, apakah berupa perseroan terbatas (PT), persekutuan, atau koperasi, sehingga jangan disamaratakan.
Selain itu, definisi UKM juga berbeda-beda antara empat institusi,yakni Bank Indonesia, Kementerian Koperasi, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, sehingga definisi yang beraneka ragam ini harus disamakan terlebih dahulu. "Kalau dipukul rata tidak adil, karena bisa saja orang kaya bikin usaha UKM berbentuk PT, sehingga tidak kena pajak." jelas dia.
Ronny Bako juga berharap ada ketentuan sampai rentang berapa lama pengusaha UKM harus naik statusnya, sehingga tidak terus-menerus bergelut di usaha skala kecil menengah. "Kalau di Inggris itu ada ketentuannya, sehingga mereka tidak selamanya menikmati tarif pajak yang kecil yang memang sengaja dikhususkan untuk usaha UKM," kata dia.
Fuad mengatakan, saat ini rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia yang memiliki struktur ekonomi yang mirip dengan Indonesia. "Di Asia kita masih lebih rendah dari Malaysia, Thailand, dan Filipina," ujar dia.
Sebagai contoh, pada 2009, tax ratio Indonesia baru mencapai 14,07 %. Sedangkan Malaysia mencapai 15,5 %. Thailand 17,0%. dan Filipina 14,4 %. Fuad mengakui tax ratio Indonesia masih rendah karena sektor UKM yang menyumbang 61% dari total PDB Indonesia, memiliki tingkat kepatuhan membayar pajak yang sangat rendah. Dari total penerimaan pajak, sektor UKM baru menyumbang 5%.
Guna meningkatkan kepatuhan pelaku usaha sektor UKM membayar pajak. Fuad mengatakan, akan memberikan sejumlah kemudahan kepada sektor UKM. "Mereka semua omzetnya besar-besar, seperti di sentra-sentra bisnis, ruko-ruko, toko-toko handphone, itu semua omzetnya besar-besar, ratusan juta dan itu sebenarnya mereka belum bayar pajak," kata Fuad.
Fuad mengakui upaya menggenjot pajak dari sektor UKM ini bukan berarti pajak-pajak dari sektor badan usaha besar tidak dipungut "Masih banyak juga yang belum bayar pajak," ungkap dia.
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah merampungkan draf Peraturan Pemerintah (PP) mengenai tarif pajak untuk sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).Dalam beleid tersebut, pemerintah akan memberikan beberapa kemudahan kepada sektor UKM untuk membayar pajak, termasuk tarif pajak yang lebih rendah.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan, penghitungan tarif pajak untuk UKM ini akan berbeda dengan penghitungan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang selama ini berlaku, yakni sebesar 25% dari laba perusahaan. Sedangkan dalam beleid ini, tarif PPh UKM ini akan ditentukan berdasarkan omzet per tahun.
Tarifnya akan lebih rendah, bahkan tidak sampai 5%, mungkin di bawah 3% atau 3%,"kata Dirjen Pajak Fuad Rahmany, di Jakarta, Rabu (20/7).Kategori UKM yang akan mendapatkan keringanan pajak, lanjut Fuad, adalah mereka yang memiliki omzet antara Rp 300 juta sampai Rp 4 miliar. Fuad memang masih enggan mengungkapkan kepastian tarifnya, karena beleid ini masih belum final. "Finalnya kami belum tahu, nanti harus ada rapat lagi di pemerintahan," ujar dia.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Pariaman Sinaga meminta agar pungutan pajak atas UKM diberlakukan kepada usaha yang omzetnya sudah di atas Rp 300 juta pertahun. Usulan itu berdasarkan aspirasi dari masyarakat pelaku koperasi dan UMKM. "Kami telah menyampaikan permohonan ini kepada Kementerian Keuangan, seyogianya Kemenkeu segera memberi respons atas permintaan itu," harap dia
Dia menambahkan, permintaan insentif pajak bagi koperasi dan UMKM telah disampaikan melalui Surat Menteri Koperasi dan UKM No 02/M.KUKM/I/2011 tertanggal 17 Januari 2011. Dalam suratnya itu, Menkop menyampaikan bahwa pada hakikatnya kalangan koperasi dan UMKM tidak keberatan atas pengenaan PPh. Namun, bagi usaha mikro dengan omzet Rp 300 juta pertahun diusulkan mendapat fasilitas pembebasan PPh dan PPN.
Usulan itu didasari fakta bahwa usaha mikro belum mendapat fesilitas perpajakan memadai untuk membangun usahanya. Oleh karena itu, pengelola warung Tegal (warteg) diharapkan mendapat pembebasan pajak. "Soalnya penerapan pajak warteg akan menambah beban konsumen yang sebagian besar merupakan rakyat kecil," tutur Pariaman.
Ketua Hipmi Erwin Aksa pernah mengusulkan agar batasan omzet pengusaha UKM dinaikkan dari semula Rp 600 juta menjadi Rp 2,5 miliar. Pasalnya, dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No 571/ KMK.03/2003 tanggal 29 Desember 2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil yang Dikenakan PPN, pasal 1 dinyatakan bahwa pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta.
Menanggapi tarif PPh UKM ini, pengamat pajak Ronny Bako tidak mempermasalahkan besaran tarif tersebut Yang justru jadi persoalan adalah status badan hukum dari usaha UKM tersebut, apakah berupa perseroan terbatas (PT), persekutuan, atau koperasi, sehingga jangan disamaratakan.
Selain itu, definisi UKM juga berbeda-beda antara empat institusi,yakni Bank Indonesia, Kementerian Koperasi, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, sehingga definisi yang beraneka ragam ini harus disamakan terlebih dahulu. "Kalau dipukul rata tidak adil, karena bisa saja orang kaya bikin usaha UKM berbentuk PT, sehingga tidak kena pajak." jelas dia.
Ronny Bako juga berharap ada ketentuan sampai rentang berapa lama pengusaha UKM harus naik statusnya, sehingga tidak terus-menerus bergelut di usaha skala kecil menengah. "Kalau di Inggris itu ada ketentuannya, sehingga mereka tidak selamanya menikmati tarif pajak yang kecil yang memang sengaja dikhususkan untuk usaha UKM," kata dia.
Fuad mengatakan, saat ini rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia yang memiliki struktur ekonomi yang mirip dengan Indonesia. "Di Asia kita masih lebih rendah dari Malaysia, Thailand, dan Filipina," ujar dia.
Sebagai contoh, pada 2009, tax ratio Indonesia baru mencapai 14,07 %. Sedangkan Malaysia mencapai 15,5 %. Thailand 17,0%. dan Filipina 14,4 %. Fuad mengakui tax ratio Indonesia masih rendah karena sektor UKM yang menyumbang 61% dari total PDB Indonesia, memiliki tingkat kepatuhan membayar pajak yang sangat rendah. Dari total penerimaan pajak, sektor UKM baru menyumbang 5%.
Guna meningkatkan kepatuhan pelaku usaha sektor UKM membayar pajak. Fuad mengatakan, akan memberikan sejumlah kemudahan kepada sektor UKM. "Mereka semua omzetnya besar-besar, seperti di sentra-sentra bisnis, ruko-ruko, toko-toko handphone, itu semua omzetnya besar-besar, ratusan juta dan itu sebenarnya mereka belum bayar pajak," kata Fuad.
Fuad mengakui upaya menggenjot pajak dari sektor UKM ini bukan berarti pajak-pajak dari sektor badan usaha besar tidak dipungut "Masih banyak juga yang belum bayar pajak," ungkap dia.
Sumber : Investor Daily Indonesia
Oleh Kunradus Aliandu dan Efendi