07/22/2011
Banjir Produk Asing dan Nasib UMKM
Banjir produk impor yang beredar luas di pasar domestik menjadi ancaman sekaligus peluang bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) nasional. Buntutnya sejumlah pengusaha UMKM lokal kini beralih status menjadi penjual produk dari luar, terutama China dan India. Kecenderungan tersebut akan semakin marak ke depan bila tidak ada kebijakan signifikan dari pemerintah yang bisa mengentaskan UMKM, berkaitan dengan peningkatan daya saing dari berbagai sisi mulai dari standar produk, pemasaran, hingga urusan inovasi.
Tak diragukan lagi, selama ini dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, posisi UMKM lokal tak bisa disepelekan begitu saja. Setuju atau tidak setuju, tidak berlebihan kalau sektor usaha ini diberi predikat sebagai katup penyelamat ekonomi di saat krisis lalu.
Sayang, peran strategis UMKM lokal itu kini mulai berubah. Yaitu dari kebang-gan memproduksi barang produk lokal-nasional, menjadi penjual pasif produk asing. Dampak yang kini mengancam di depan mata adalah berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, stagnasi perkembangan mutu produk lokal serta mandegnya transfer teknologi. Yang justru meningkat adalah pangsa pasar dan harga-harga produk itu sendiri.
Seperti falsafah produk China di berbagai belahan dunia, kekuatan terdahsyat adalah kompetensi produk asing itu dalam "mengikat" pasar. Kehebatan produk asing itu kini tak hanya terkait harga yang murah, tetapi juga peningkatan mutu produk. Produk China, misalnya, yang selama ini dikenal sebagai "produk kelas tiga" karena dicitrakan sebagai produk mudah rusak dan tak awet, kini stigma itu perlahan tetap pasti mulai berbenah. Fakta paling kentara adalah lahirnya ratusan merk handphone dan chasing-nya sampai kepada produk berteknologi tinggi seperti permesinan dan industri lainnya
Di saat bersamaan, karena alasan "agar dapur tetap mengepul", dari hasil survei Departemen Perdagangan RI (2011), 60% UMKM kita berpindah peran, fungsi dan tanggungjawab. Yakni tidak lagi setia dengan produk lokal-nasional, tetapi justru berkompetisi menjadi pengimpor atau konsumen produk asing. Dari 2,5 juta pelaku usaha UMKM. misalnya, 1,9 juta UMKM telah berpindah "haluan".
Tak sepenuhnya keliru memang perubahan "haluan" UMKM kita dalam menghadapi aneka gempuran produk asing. Seperti disebutkan pakar bisnis internasional dari Jepang, Tadashi Mayoda dalam "Compel ing Local Product Beyond the Globe" (2009) di era kapitalisme dan pasar bebas, bussines is bussines. Apapun, jika berujung pada keuntungan adalah sah! Atas dasar falsafah bisnis inilah, sebagian besar IM KM tak lagi peduli dengan potensi lokal dan produk buatan warganya sendiri. Bagi mereka yang penting "dapur mengepul".
Memang, sesuai perjanjian WTO, produk suatu daerah/negara berhak diperjualbelikan di daerah/negara lain di seluruh dunia. Produk lokal-nasional pun kemudian bermctamorfusis menjadi "produk global" asal memenuhi standarisasi dan sertifikasi lembaga terkait di tiap negara.
Bagi negara yang cerdas dan visioner terhadap "arah kiblat" bisnis global, lahimya pasar bebas adalah anugerah ter-indah dalam bisnis-investasi. China, sebagai negara berkembang, tercatat sebagai negara yang paling "cepat dan responsif" menghadapi persaingan mutu produk sesuai WTO. Padahal, gelegar produk China itu, tak lain adalah keberhasilan memberdayakan UMKM mereka hingga tak hanya menjadi "tuan" di negaranya, tetapi juga telah merajai di level global. WTO sendiri mencatat, hingga Januari 2011, produk lokal China 100% sudah berstandar global dan sulit mem gah untuk membanjiri pasar global.
Peran lembaga riset Tragisnya, nasib buruk justru dialami banyak negara miskin berkembang yang
tak pernah "naik kelas" dalam pemberdayaan UMKM-nya, termasuk Indonesia. Membanjirnya produk asing itu, justru signifikan mempercepat proses kebang-rutan bisnis lokal terbukti dari penutupan sentra-sentra industri kecil yang selama ini banyak menyalurkan tenaga kena dengan keterampilan seadanya, sehingga pemutusan hubungan kerja pun tak terhindarkan. Padahal di balik putaran roda pertumbuhan ekonomi nasional yang terus menunjukkan tren peningkatan, posisi LTV1KM seharusnya dapat memainkan peran yang lebih nyata, bukan sebaliknya, menjadi penjual produk impor.
Kegagalan demi kegagalan bersaing dengan produk asing pun nampaknya dianggap kewajaran oleh pemerintah. Terbukti pemerintah hanya berteriak di forum-forum seminar atau ketika media massa geger terkait dengan keterpurukan UMKM. Setelah itu, tak ada konsep yang diteruskan menjadi kebijakan strategis melalui pengembangan aneka masalah yang selama membelit UMKM. Tak hanya soal pendanaan, problem akut UMKM kita adalah kejumudan inovasi produk dan teknologi yang mengiringinya
Jika di China peran lembaga-lembaga riset produk kian menjamur, di Indonesia peran lembaga riset semakin tak bergigi. Perguruan tinggi yang semestinya disibukkan dengan geliat inovasi teknologi guna membantu transfer teknolgi dari produk asing, selama ini macet. Di samping pemerintah sibuk dengan politik pencitraannyta sendiri, bahkan belakangan, lembaga riset nasional dan perguruan tinggi pun justru disibukkan dengan "proyeknya" sendiri-sendiri, melupakan tugas negara sebagai "think tank of technology. Inilah biang kerok kemandekan transfer teknologi aneka produk lokal-nasional sehingga potensial menuju "kebangkrutan" (deceyed pmd in 11
Berulang kali kita mendengar, bahwa produk UMKM lokal tidak bisa tembus di pasar Uni Eropa dan negara maju lainnya, karena tidak memenuhi standar konsumen di sana Toh tak ada upaya sistemik untuk membangun semua itu! Sangat menyedihkan dan memalukan. Belum lagi, dari sisi kebyakan, pelaku UMKM lokal seringkali dibingungkan dengan kebijakan yang tumpang tindih, bahkan menjadi tradisi semrawut baik di level pemerintah daerah sampai pusat.
Lalu bagaimana mau menciptakan daya siang pengusalia UMKM lokal agar tetap setia kepada produk lokal-nasional. apabila mereka tak diberi keleluasaan bergerak dengan tidak membebani berbagai pajak dan aneka retribusi daerah yang bisa mengliambat pertumbuhannya? Kesemrawutan tata kelola UMKM lokal inilah yang harus segera dihentikan dan contohlah negara lain yang berhasil memberdayakan potensi lokal dengan membangun keunggulan UMKM.
Banjir produk impor yang beredar luas di pasar domestik menjadi ancaman sekaligus peluang bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) nasional. Buntutnya sejumlah pengusaha UMKM lokal kini beralih status menjadi penjual produk dari luar, terutama China dan India. Kecenderungan tersebut akan semakin marak ke depan bila tidak ada kebijakan signifikan dari pemerintah yang bisa mengentaskan UMKM, berkaitan dengan peningkatan daya saing dari berbagai sisi mulai dari standar produk, pemasaran, hingga urusan inovasi.
Tak diragukan lagi, selama ini dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, posisi UMKM lokal tak bisa disepelekan begitu saja. Setuju atau tidak setuju, tidak berlebihan kalau sektor usaha ini diberi predikat sebagai katup penyelamat ekonomi di saat krisis lalu.
Sayang, peran strategis UMKM lokal itu kini mulai berubah. Yaitu dari kebang-gan memproduksi barang produk lokal-nasional, menjadi penjual pasif produk asing. Dampak yang kini mengancam di depan mata adalah berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja, stagnasi perkembangan mutu produk lokal serta mandegnya transfer teknologi. Yang justru meningkat adalah pangsa pasar dan harga-harga produk itu sendiri.
Seperti falsafah produk China di berbagai belahan dunia, kekuatan terdahsyat adalah kompetensi produk asing itu dalam "mengikat" pasar. Kehebatan produk asing itu kini tak hanya terkait harga yang murah, tetapi juga peningkatan mutu produk. Produk China, misalnya, yang selama ini dikenal sebagai "produk kelas tiga" karena dicitrakan sebagai produk mudah rusak dan tak awet, kini stigma itu perlahan tetap pasti mulai berbenah. Fakta paling kentara adalah lahirnya ratusan merk handphone dan chasing-nya sampai kepada produk berteknologi tinggi seperti permesinan dan industri lainnya
Di saat bersamaan, karena alasan "agar dapur tetap mengepul", dari hasil survei Departemen Perdagangan RI (2011), 60% UMKM kita berpindah peran, fungsi dan tanggungjawab. Yakni tidak lagi setia dengan produk lokal-nasional, tetapi justru berkompetisi menjadi pengimpor atau konsumen produk asing. Dari 2,5 juta pelaku usaha UMKM. misalnya, 1,9 juta UMKM telah berpindah "haluan".
Tak sepenuhnya keliru memang perubahan "haluan" UMKM kita dalam menghadapi aneka gempuran produk asing. Seperti disebutkan pakar bisnis internasional dari Jepang, Tadashi Mayoda dalam "Compel ing Local Product Beyond the Globe" (2009) di era kapitalisme dan pasar bebas, bussines is bussines. Apapun, jika berujung pada keuntungan adalah sah! Atas dasar falsafah bisnis inilah, sebagian besar IM KM tak lagi peduli dengan potensi lokal dan produk buatan warganya sendiri. Bagi mereka yang penting "dapur mengepul".
Memang, sesuai perjanjian WTO, produk suatu daerah/negara berhak diperjualbelikan di daerah/negara lain di seluruh dunia. Produk lokal-nasional pun kemudian bermctamorfusis menjadi "produk global" asal memenuhi standarisasi dan sertifikasi lembaga terkait di tiap negara.
Bagi negara yang cerdas dan visioner terhadap "arah kiblat" bisnis global, lahimya pasar bebas adalah anugerah ter-indah dalam bisnis-investasi. China, sebagai negara berkembang, tercatat sebagai negara yang paling "cepat dan responsif" menghadapi persaingan mutu produk sesuai WTO. Padahal, gelegar produk China itu, tak lain adalah keberhasilan memberdayakan UMKM mereka hingga tak hanya menjadi "tuan" di negaranya, tetapi juga telah merajai di level global. WTO sendiri mencatat, hingga Januari 2011, produk lokal China 100% sudah berstandar global dan sulit mem gah untuk membanjiri pasar global.
Peran lembaga riset Tragisnya, nasib buruk justru dialami banyak negara miskin berkembang yang
tak pernah "naik kelas" dalam pemberdayaan UMKM-nya, termasuk Indonesia. Membanjirnya produk asing itu, justru signifikan mempercepat proses kebang-rutan bisnis lokal terbukti dari penutupan sentra-sentra industri kecil yang selama ini banyak menyalurkan tenaga kena dengan keterampilan seadanya, sehingga pemutusan hubungan kerja pun tak terhindarkan. Padahal di balik putaran roda pertumbuhan ekonomi nasional yang terus menunjukkan tren peningkatan, posisi LTV1KM seharusnya dapat memainkan peran yang lebih nyata, bukan sebaliknya, menjadi penjual produk impor.
Kegagalan demi kegagalan bersaing dengan produk asing pun nampaknya dianggap kewajaran oleh pemerintah. Terbukti pemerintah hanya berteriak di forum-forum seminar atau ketika media massa geger terkait dengan keterpurukan UMKM. Setelah itu, tak ada konsep yang diteruskan menjadi kebijakan strategis melalui pengembangan aneka masalah yang selama membelit UMKM. Tak hanya soal pendanaan, problem akut UMKM kita adalah kejumudan inovasi produk dan teknologi yang mengiringinya
Jika di China peran lembaga-lembaga riset produk kian menjamur, di Indonesia peran lembaga riset semakin tak bergigi. Perguruan tinggi yang semestinya disibukkan dengan geliat inovasi teknologi guna membantu transfer teknolgi dari produk asing, selama ini macet. Di samping pemerintah sibuk dengan politik pencitraannyta sendiri, bahkan belakangan, lembaga riset nasional dan perguruan tinggi pun justru disibukkan dengan "proyeknya" sendiri-sendiri, melupakan tugas negara sebagai "think tank of technology. Inilah biang kerok kemandekan transfer teknologi aneka produk lokal-nasional sehingga potensial menuju "kebangkrutan" (deceyed pmd in 11
Berulang kali kita mendengar, bahwa produk UMKM lokal tidak bisa tembus di pasar Uni Eropa dan negara maju lainnya, karena tidak memenuhi standar konsumen di sana Toh tak ada upaya sistemik untuk membangun semua itu! Sangat menyedihkan dan memalukan. Belum lagi, dari sisi kebyakan, pelaku UMKM lokal seringkali dibingungkan dengan kebijakan yang tumpang tindih, bahkan menjadi tradisi semrawut baik di level pemerintah daerah sampai pusat.
Lalu bagaimana mau menciptakan daya siang pengusalia UMKM lokal agar tetap setia kepada produk lokal-nasional. apabila mereka tak diberi keleluasaan bergerak dengan tidak membebani berbagai pajak dan aneka retribusi daerah yang bisa mengliambat pertumbuhannya? Kesemrawutan tata kelola UMKM lokal inilah yang harus segera dihentikan dan contohlah negara lain yang berhasil memberdayakan potensi lokal dengan membangun keunggulan UMKM.
Sumber : Harian Kontan
Tasroh, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang