>>> Inspiratif
Setiap kembali ke kota ini, selalu saja ada yang baru. Termasuk urusan kongko. Salah satu yang baru itu adalah Rumah Ubi. Seperti namanya, rumah bergaya lama itu menyajikan sesuatu yang unik. Hampir semua makanan di sini mendapat sentuhan ubi jalar.
Untuk pemanasan, cobalah risol, lemper, roti bakar, atau waffle yang terbuat dari ubi. Campuran ubi dan terigunya yang pas membuat penganan yang nikmat disantap sore hari itu terasa lezat Jangan lupa mencoba minuman jus ubi kuning atau ubi ungu. Hemm, rasanya juga tak kalah nikmat. Warna kuning dan ungu juga menandakan kandungan antioksidan ubi tersebut sangat tinggi dibanding ubi putih.
Makanan berat di tempat ini juga tak luput dari sentuhan ubi. Mau mencoba mi ayam dari ubi? Di sini lah tempatnya. Bandung yang terkenal dengan kue bmwnies-nya, di tempat ini juga tak kalah menyajikan brownies yang lezat Tentu saja dengan kandungan dari ubi. Rasanya, ternyata tak beda dengan brownies bakar biasanya.
Total ada 44 jenis produk makanan dari ubi yang disajikan di sini," ungkap Chris Hardijaya, pemilik Rumah Ubi kepada Investor Daily di Bandung, baru-baru ini.Rumah Ubi terdiri atas dua bangunan. Bangunan pertama berfungsi sebagai kafe dengan desain yang cozy. Sofa-sofa merah dan kursi kayu bergaya lama digelar berpadu dengan ruangan berjendela lebardan hiasan dinding yang menambah hangat ruangan.
"Kafe ini nyaman, apalagi makanannya juga unik karena terbuat dari ubi," kata Maya, warga bandung yang kerap bersantai di sini bersama teman-temannya. EH sebelah depan kafe ini digunakan sebagai Taman Bacaan dengan ratusan buku-buku, termasuk komik-komik zaman dulu. Sedangkan bangunan kedua, berfungsi sebagai tempat mengolah berbagai penganan ubi sekaligus sebagai toko beragam kue dari ubi. Ada brownies ubi bakar, keripik ubi, bagelen ubi, roti manis ubi, mollen ubi, kue lapis ubi, dan lain-lain.
Dukung Produk Nasional
Di luar keunikan Rumah Ubi, menarik disimak adalah latar belakang didirikannya kafe ini. Chris Hardijaya, pemilik Rumah Ubi menceritakan, didirikannya rumah ini tak terlepas dari niatnya memajukan produk lokal dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor. Hal itu kata Chris, dipicu oleh meningkatnya harga minyak dunia pada 2008, sehingga harga gandum dan produk gandum juga meningkat luar biasa.
Sebagai ketua Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia (APBI), Chris dan para anggotanya memperjuangkanpenangguhan PPN selama satu tahun untuk gandum. "Dari situ saya berpikir bagaimana mengalihkan ketergantungan bahan impor dengan bahan lokal," ungkap Chris.
Awalnya, ia berpikir singkong bisa menggantikan tepung gandum. Tapi ternyata, singkong sudah diserap oleh industri untuk tepung tapioca dan etanol, sehingga tidak bisa bersaing untuk dijadikan bahan makanan. Secara industri, tepung tapioca pun akhirnya lebih mahal dibanding terigu bila digunakan untuk bakery karena harus menambahkan tiga jenis enzim agar rasa rotinya tetap enak.
"Akhirnya saya cari altematif lain dan beralih ke ubi yang belum diserap industri dan lebih mudah bila diaplikasikan ke produk yang biasanya pakai terigu, rasanya juga tetap enak," jelas dia.
Dari kandungan gizi, makanan yang menggunakan bahan ubi juga meningkat kandungan gizinya. Itu karena ubi mengandung antioksidan tinggi dan betakaroten (khusus ubi kuning dan ubi ungu), kalium, zinc (Zn), vitamin A, dan vitamin B16. "Ini artinya, dari sisi gizi, makanan yang dibuat dari ubi memiliki nilai tambah terhadap produk nasional, sehingga tak perlu melakukan fortifikasi vitamin lagi," jelas Chris.
Tahun 2010, Chris akhirnya mantap membuka Rumah Ubi. Rencana awal, kafe tersebut dibuat di Jakarta. Tapi pertemuannya dengan Perry Tristianto, pemilik Rumah Sosis, Rumah Tahu, Rumah Baso, dan bera-gam FO itu, akhirnya mengubah keputusan itu. "Perry bilang, lebih baik buka di Bandung dan dijadikan kafe dan toko oleh-oleh Bandung dengan kekhasan makanan terbuat dari ubi. Saya pikir, iya juga," tuturdia.
Menurut Chris, Rumah Ubi hanyalah di hilir. Di hulu, ada petani dan peternak yang diuntungkan bila semakin banyak ubi yang terserap di industri makanan."Saat ini, daya serap ubi di Rumah Ubi baru sekitar 3 ton ubi segar per bulan. Target saya, nanti bila jumlah jenis produk sudah mencapai 180 jenis, daya serap ubi bisa mencapai 300 ton per bulan," harap Chris.
Kongko di rumah ubi merasakan sensasi yang berbeda. Rumah ini menawarkan tempat yang cozy untuk bersantai sembari menikmati keunikan berbagai penganan dari ubi.
Setiap kembali ke kota ini, selalu saja ada yang baru. Termasuk urusan kongko. Salah satu yang baru itu adalah Rumah Ubi. Seperti namanya, rumah bergaya lama itu menyajikan sesuatu yang unik. Hampir semua makanan di sini mendapat sentuhan ubi jalar.
Untuk pemanasan, cobalah risol, lemper, roti bakar, atau waffle yang terbuat dari ubi. Campuran ubi dan terigunya yang pas membuat penganan yang nikmat disantap sore hari itu terasa lezat Jangan lupa mencoba minuman jus ubi kuning atau ubi ungu. Hemm, rasanya juga tak kalah nikmat. Warna kuning dan ungu juga menandakan kandungan antioksidan ubi tersebut sangat tinggi dibanding ubi putih.
Makanan berat di tempat ini juga tak luput dari sentuhan ubi. Mau mencoba mi ayam dari ubi? Di sini lah tempatnya. Bandung yang terkenal dengan kue bmwnies-nya, di tempat ini juga tak kalah menyajikan brownies yang lezat Tentu saja dengan kandungan dari ubi. Rasanya, ternyata tak beda dengan brownies bakar biasanya.
Total ada 44 jenis produk makanan dari ubi yang disajikan di sini," ungkap Chris Hardijaya, pemilik Rumah Ubi kepada Investor Daily di Bandung, baru-baru ini.Rumah Ubi terdiri atas dua bangunan. Bangunan pertama berfungsi sebagai kafe dengan desain yang cozy. Sofa-sofa merah dan kursi kayu bergaya lama digelar berpadu dengan ruangan berjendela lebardan hiasan dinding yang menambah hangat ruangan.
"Kafe ini nyaman, apalagi makanannya juga unik karena terbuat dari ubi," kata Maya, warga bandung yang kerap bersantai di sini bersama teman-temannya. EH sebelah depan kafe ini digunakan sebagai Taman Bacaan dengan ratusan buku-buku, termasuk komik-komik zaman dulu. Sedangkan bangunan kedua, berfungsi sebagai tempat mengolah berbagai penganan ubi sekaligus sebagai toko beragam kue dari ubi. Ada brownies ubi bakar, keripik ubi, bagelen ubi, roti manis ubi, mollen ubi, kue lapis ubi, dan lain-lain.
Dukung Produk Nasional
Di luar keunikan Rumah Ubi, menarik disimak adalah latar belakang didirikannya kafe ini. Chris Hardijaya, pemilik Rumah Ubi menceritakan, didirikannya rumah ini tak terlepas dari niatnya memajukan produk lokal dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor. Hal itu kata Chris, dipicu oleh meningkatnya harga minyak dunia pada 2008, sehingga harga gandum dan produk gandum juga meningkat luar biasa.
Sebagai ketua Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia (APBI), Chris dan para anggotanya memperjuangkanpenangguhan PPN selama satu tahun untuk gandum. "Dari situ saya berpikir bagaimana mengalihkan ketergantungan bahan impor dengan bahan lokal," ungkap Chris.
Awalnya, ia berpikir singkong bisa menggantikan tepung gandum. Tapi ternyata, singkong sudah diserap oleh industri untuk tepung tapioca dan etanol, sehingga tidak bisa bersaing untuk dijadikan bahan makanan. Secara industri, tepung tapioca pun akhirnya lebih mahal dibanding terigu bila digunakan untuk bakery karena harus menambahkan tiga jenis enzim agar rasa rotinya tetap enak.
"Akhirnya saya cari altematif lain dan beralih ke ubi yang belum diserap industri dan lebih mudah bila diaplikasikan ke produk yang biasanya pakai terigu, rasanya juga tetap enak," jelas dia.
Dari kandungan gizi, makanan yang menggunakan bahan ubi juga meningkat kandungan gizinya. Itu karena ubi mengandung antioksidan tinggi dan betakaroten (khusus ubi kuning dan ubi ungu), kalium, zinc (Zn), vitamin A, dan vitamin B16. "Ini artinya, dari sisi gizi, makanan yang dibuat dari ubi memiliki nilai tambah terhadap produk nasional, sehingga tak perlu melakukan fortifikasi vitamin lagi," jelas Chris.
Tahun 2010, Chris akhirnya mantap membuka Rumah Ubi. Rencana awal, kafe tersebut dibuat di Jakarta. Tapi pertemuannya dengan Perry Tristianto, pemilik Rumah Sosis, Rumah Tahu, Rumah Baso, dan bera-gam FO itu, akhirnya mengubah keputusan itu. "Perry bilang, lebih baik buka di Bandung dan dijadikan kafe dan toko oleh-oleh Bandung dengan kekhasan makanan terbuat dari ubi. Saya pikir, iya juga," tuturdia.
Menurut Chris, Rumah Ubi hanyalah di hilir. Di hulu, ada petani dan peternak yang diuntungkan bila semakin banyak ubi yang terserap di industri makanan."Saat ini, daya serap ubi di Rumah Ubi baru sekitar 3 ton ubi segar per bulan. Target saya, nanti bila jumlah jenis produk sudah mencapai 180 jenis, daya serap ubi bisa mencapai 300 ton per bulan," harap Chris.
Kongko di rumah ubi merasakan sensasi yang berbeda. Rumah ini menawarkan tempat yang cozy untuk bersantai sembari menikmati keunikan berbagai penganan dari ubi.
Investor Daily Indonesia
Oleh Mardiana Makmun
Oleh Mardiana Makmun