>>>>>Bisnis Mesin Perang
Ada satu bisnis yang tak cuma menghasilkan uang, namun juga membuka peluang bagi pelakunya untuk merasakan bagaimana rasanya mengatur jalannya sejarah umat manusia. Ya, dalam bisnis ini, pelaku bisa mengatur hidup-mati seseorang, nasib sebuah bangsa, berdiri atau runtuhnya sebuah negara, bahkan keberlangsungan sebuah ideologi.
Bisnis itu adalah bisnis senjata atau mesin perang. Makanya, untuk menjalankan bisnis itu tidak bisa dilakukan dengan sembarang cara mengingat tidak banyak orang atau bahkan negara sekalipun yang bisa melakukannya, kecuali Amerika Serikat dan sang Presiden, serta kemungkinan China sebentar lagi, apabila negara tersebut terus mendapat kemajuan dan konsisten dengan kekuatannya seperti sekarang.
Satu lembaga think-tank, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mengungkapkan sekitar tiga perempat dari ekspor senjata global dipasok hanya oleh lima negara antara 2006-2010. Kelima negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, Jerman, dan Prancis. Volume ekspor senjata meningkat 25 persen dibandingkan dengan periode 2001-2005.
Berdasarkan perhitungan SIPRI, pengiriman senjata konvensional secara masif, nilainya diukur menurut biaya, kepentingan strategis dan kriteria lain. Dua negara importir senjata selama lima tahun terakhir adalah India dan China. Keduanya membeli sekitar 80 persen senjata dari Rusia. Importer terbesar ketiga dan keempat masing-masing Korea Selatan dan Pakistan yang lebih menyukai produk Amerika Serikat (AS).
AS menguasai 30 persen ekspor senjata pada periode tersebut, disusul oleh Rusia (23 persen), Jerman (11 persen), Prancis (7 persen), dan Inggris (4 persen). Sedangkan 25 persen sisanya dipasok dari negara-negara lain. Ekspor AS kebanyakan atau 14 persen dikirimkan ke Korea Selatan, sedangkan India menjadi importir senjata terbesar dari Rusia dengan porsi 33 persen.
Yang perlu jadi perhatian, negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura temyata juga menjadi pembeli senjata yang cukup besar dalam lima tahun terakhir. Malaysia membeli masing-masing 5 dan 7 persen ekspor senjara dari Rusia dan Jerman. Sementara itu, Singapura menjadi pembeli paling potensial bagi mesin perang buatan Prancis dengan porsi 23 persen dari total ekspor Negara Mode itu.
Perang bisa dilihat secara komperhensif, bukan cuma aksi saling bunuh atau saling menjatuhkan diantara pihak yang bertikai. Bila diselami lebih dalam, perang bisa jadi menjadi satu potensi ekonomi yang menggiurkan dari kekeruhan sebuah peperangan.
Nama-nama itu bukanlah jenderal perang yang ahli mengatur strategi peperangan, mereka juga bukan pimpinan pemerintahan atau politikus handal, tapi tanpa kita sadari mereka telah mempengaruhi sejarah umat manusia hingga menjadi seperti sekarang ini. Figur itu temyata adalah bankir kelas dunia yang fasih melempar dadu dan mendulang untung dari peperangan Mereka berbisnis dengan cara membeli dan memperbaiki senjata serta peralatan tempur. Selain itu, usahanya adalah mendatangkan peralatan pendukung lain.
Peran para bankir ulung itu adalah memberikan dana talangan dengan bunga premium, tentunya. Sebagai contoh, dalam Perang Dunia I, dana yang mengalir untuk transaksi mesin perang ditaksir mencapai miliaran dollar AS.
Bankir itu sama sekali tak khawatir kehilangan uang karena mereka bisa menentukan siapa yang menang dan kapan perang itu berakhir. Buat mereka, perang tak ubahnya sebagai mesin pemutar uang. Memang ini terdengar seperti teori konspirasi tapi ungkapan Follow the money dalam satu penyelidikan mungkin bisa mengungkapkan peran para bankir kelas dunia itu.
Bisnis senjata memang menguntungkan beberapa kasus perdagangan senjata ilegal mengungkapkan bahwa senjara kerap kali dibarter dengan sumber daya alam. Kasus ini terjadi pada transaksi senjata dari Rusia ke negara Afrika. Ada bankir Indonesia yang berminat?
Sumber : Koran Jakarta
Ada satu bisnis yang tak cuma menghasilkan uang, namun juga membuka peluang bagi pelakunya untuk merasakan bagaimana rasanya mengatur jalannya sejarah umat manusia. Ya, dalam bisnis ini, pelaku bisa mengatur hidup-mati seseorang, nasib sebuah bangsa, berdiri atau runtuhnya sebuah negara, bahkan keberlangsungan sebuah ideologi.
Bisnis itu adalah bisnis senjata atau mesin perang. Makanya, untuk menjalankan bisnis itu tidak bisa dilakukan dengan sembarang cara mengingat tidak banyak orang atau bahkan negara sekalipun yang bisa melakukannya, kecuali Amerika Serikat dan sang Presiden, serta kemungkinan China sebentar lagi, apabila negara tersebut terus mendapat kemajuan dan konsisten dengan kekuatannya seperti sekarang.
Satu lembaga think-tank, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mengungkapkan sekitar tiga perempat dari ekspor senjata global dipasok hanya oleh lima negara antara 2006-2010. Kelima negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, Jerman, dan Prancis. Volume ekspor senjata meningkat 25 persen dibandingkan dengan periode 2001-2005.
Berdasarkan perhitungan SIPRI, pengiriman senjata konvensional secara masif, nilainya diukur menurut biaya, kepentingan strategis dan kriteria lain. Dua negara importir senjata selama lima tahun terakhir adalah India dan China. Keduanya membeli sekitar 80 persen senjata dari Rusia. Importer terbesar ketiga dan keempat masing-masing Korea Selatan dan Pakistan yang lebih menyukai produk Amerika Serikat (AS).
AS menguasai 30 persen ekspor senjata pada periode tersebut, disusul oleh Rusia (23 persen), Jerman (11 persen), Prancis (7 persen), dan Inggris (4 persen). Sedangkan 25 persen sisanya dipasok dari negara-negara lain. Ekspor AS kebanyakan atau 14 persen dikirimkan ke Korea Selatan, sedangkan India menjadi importir senjata terbesar dari Rusia dengan porsi 33 persen.
Yang perlu jadi perhatian, negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura temyata juga menjadi pembeli senjata yang cukup besar dalam lima tahun terakhir. Malaysia membeli masing-masing 5 dan 7 persen ekspor senjara dari Rusia dan Jerman. Sementara itu, Singapura menjadi pembeli paling potensial bagi mesin perang buatan Prancis dengan porsi 23 persen dari total ekspor Negara Mode itu.
Perang bisa dilihat secara komperhensif, bukan cuma aksi saling bunuh atau saling menjatuhkan diantara pihak yang bertikai. Bila diselami lebih dalam, perang bisa jadi menjadi satu potensi ekonomi yang menggiurkan dari kekeruhan sebuah peperangan.
Nama-nama itu bukanlah jenderal perang yang ahli mengatur strategi peperangan, mereka juga bukan pimpinan pemerintahan atau politikus handal, tapi tanpa kita sadari mereka telah mempengaruhi sejarah umat manusia hingga menjadi seperti sekarang ini. Figur itu temyata adalah bankir kelas dunia yang fasih melempar dadu dan mendulang untung dari peperangan Mereka berbisnis dengan cara membeli dan memperbaiki senjata serta peralatan tempur. Selain itu, usahanya adalah mendatangkan peralatan pendukung lain.
Peran para bankir ulung itu adalah memberikan dana talangan dengan bunga premium, tentunya. Sebagai contoh, dalam Perang Dunia I, dana yang mengalir untuk transaksi mesin perang ditaksir mencapai miliaran dollar AS.
Bankir itu sama sekali tak khawatir kehilangan uang karena mereka bisa menentukan siapa yang menang dan kapan perang itu berakhir. Buat mereka, perang tak ubahnya sebagai mesin pemutar uang. Memang ini terdengar seperti teori konspirasi tapi ungkapan Follow the money dalam satu penyelidikan mungkin bisa mengungkapkan peran para bankir kelas dunia itu.
Bisnis senjata memang menguntungkan beberapa kasus perdagangan senjata ilegal mengungkapkan bahwa senjara kerap kali dibarter dengan sumber daya alam. Kasus ini terjadi pada transaksi senjata dari Rusia ke negara Afrika. Ada bankir Indonesia yang berminat?
Sumber : Koran Jakarta