>>>>>Bisnis Merchandise Mulai Menggeliat
Replika kostum striker Tangerang Wolves,terjual 120 potong dalam waktu kurang dari sebulan.
Merchandise merupakan salah sumber pendapatan bagi klub sepak bola. Bisnis merchandise bahkan dimaksimalkan klub-klub besar Eropa seperti Manchester United dan Real Madrid. Nama-nama pemain top seperti Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, dah David Beckham, dimanfaatkan oleh klubnya untuk mendulang keuntungan.
Hal ini juga mulai terlihat di Liga Primer Indonesia (LPI). Tangerang Wolves berusaha meniru sukses klub Eropa dari sisi merchandise dengan memanfaatkan nama besar Kurniawan Dwi Julianto, striker anyar mereka. Dengan usia 34 tahun, selain masih punya kualitas di lapangan, Kurniawan juga punya banyak penggemar di tanah air. Bahkan, dalam waktu kurang dari sebulan, Wolves berhasil menjual 120 potong replika kostum pemain bernomor 88 itu. "Pembeli ada yang orang Jepang dan artis juga banyak," ujar CEO Tangerang Wolves, Akmal Marhali.
Bagi Akmal, Kurniawan adalah sosok yang dapat mengangkat popularitas klubnya. Ia menganggap Kurniawan merupakan salah satu striker terbaik di Indonesia hingga saat ini. Menurut dia, nama Kurniawan dikenal di Asia dan bahkan Eropa. Ia pun berusaha memaksimalkan potensiyang sebelumnya mungkin tidak dimanfaatkan oleh klub yang dibela Kurniawan. "Di Indonesia, Kurniawan sudah seperti Beckham di Inggris," ujar Akmal.
Selain Kurniawan, Wolves juga menjual replika kostum seluruh pemainnya. Setelah Kurniawan, replika yang paling laris, menurut Akmal, adalah kostum milik Jordi De Kat, pemain asal Belanda keturunan Indonesia. Demi menjangkau pasar menengah ke bawah, Wolves menjual dengan kisaran harga beragam. Untuk yang termahal dijual Rp 200 ribu dan yang termurah Rp 35 ribu.
Klub lain yang sudah gencar memaksimalkan bisnis merchandise adalah Bali Devata. Bekerjasama dengan UNO mereka menjual replika kostum, baik yang berwarna putih atau merah. Sedangkan atribut lain seperti syal dibuat oleh para suporter.
Meski sebagai tim baru, tapi respon dari masyarakat cukup bagus. Saat pertandingan kandang, sudah banyak suporter yang mengenakan replika kostum kebesaran Bali Devata. "Kami sediakan 100 buah, tidak sampai seminggu sudah habis terjual," ujar CEO Bali Devata, Roso Daras.
Berbeda dengan Tangerang Wolves dan Bali Devata, klub LPI lainnya seperti Cendrawasih Papua belum mengurusi merchandise. Alasannya, Cedrawasih masih mengurus masalah yang lebih penting seperti menggalang suporter. Meski demikian, CEO Cendrawasih, Pramadia Moses, mengaku sedang mengusahakan replika kostum tim nasional Latvia milik kiper mereka, Dennis Romanov, untuk dijual di Indonesia. Seperti diketahui, Romanov merupakan kiper ketiga di timnas Latvia. "Semoga sajadia bisa menjadi ikon LPI," ujar Moses.
Sama seperti Cendrawasih, Persema Malang juga belum turun tangan menyoal merchandise. Mereka sebenarnya ingin segera menjalankan sektor ini tapi masih menunggu dari Reebok sebagai mitra kerja mereka. CEO Persema, Didied Affandy, mengatakan klubnya kemungkinan bisa mulai menjalankan sektor ini pada bulan Agustus. "Rencananya kami akan buka di Malang dan Jakarta," ujar Didied.
LPI pusat sendiri sampai saat ini masih belum menjual merchandise. Bukan lantaran mereka tidak peduli dengan bisnis ini, tapi karena mereka sedang menggodok rencana secara matang. LPI rencananya bakal menjual merchandise secara online. Jadi, peminat nantinya bisa mengakses di internet produkyangmereka inginkan. Rencananya ada beberapa item yang bakal dijual LPI, seperti jersey, t-shirt, polo shirt, tas, mug, stiker, dan gantungan kunci. Untuk menjalankan rencana ini, LPI rencananya bakal menggandeng pengusaha lokal. "Dengan begitu LPI juga turut memutar roda ekonomi di masyarakat," ujar Abi Hasantoso, juru bicara LPI.
Selain klub dan LPI pusat, bisnis merchandise juga dijalankan kelompok, suporter yang mulai terbentuk. Kelompok seperti The Man, suporter Manado United, bahkan memanfaatkannya dengan mendayagunakananggotanyayang memang belum bekerja. Dengan kegiatan positif ini, kelompok suporter bisa mandiri dan anggotanya juga turut menikmati hasilnya. "Di sini, suporter juga bisa mendapatkan keuntungan," ujar Abi menambahkan.
Sumber : Koran Tempo
Replika kostum striker Tangerang Wolves,terjual 120 potong dalam waktu kurang dari sebulan.
Merchandise merupakan salah sumber pendapatan bagi klub sepak bola. Bisnis merchandise bahkan dimaksimalkan klub-klub besar Eropa seperti Manchester United dan Real Madrid. Nama-nama pemain top seperti Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, dah David Beckham, dimanfaatkan oleh klubnya untuk mendulang keuntungan.
Hal ini juga mulai terlihat di Liga Primer Indonesia (LPI). Tangerang Wolves berusaha meniru sukses klub Eropa dari sisi merchandise dengan memanfaatkan nama besar Kurniawan Dwi Julianto, striker anyar mereka. Dengan usia 34 tahun, selain masih punya kualitas di lapangan, Kurniawan juga punya banyak penggemar di tanah air. Bahkan, dalam waktu kurang dari sebulan, Wolves berhasil menjual 120 potong replika kostum pemain bernomor 88 itu. "Pembeli ada yang orang Jepang dan artis juga banyak," ujar CEO Tangerang Wolves, Akmal Marhali.
Bagi Akmal, Kurniawan adalah sosok yang dapat mengangkat popularitas klubnya. Ia menganggap Kurniawan merupakan salah satu striker terbaik di Indonesia hingga saat ini. Menurut dia, nama Kurniawan dikenal di Asia dan bahkan Eropa. Ia pun berusaha memaksimalkan potensiyang sebelumnya mungkin tidak dimanfaatkan oleh klub yang dibela Kurniawan. "Di Indonesia, Kurniawan sudah seperti Beckham di Inggris," ujar Akmal.
Selain Kurniawan, Wolves juga menjual replika kostum seluruh pemainnya. Setelah Kurniawan, replika yang paling laris, menurut Akmal, adalah kostum milik Jordi De Kat, pemain asal Belanda keturunan Indonesia. Demi menjangkau pasar menengah ke bawah, Wolves menjual dengan kisaran harga beragam. Untuk yang termahal dijual Rp 200 ribu dan yang termurah Rp 35 ribu.
Klub lain yang sudah gencar memaksimalkan bisnis merchandise adalah Bali Devata. Bekerjasama dengan UNO mereka menjual replika kostum, baik yang berwarna putih atau merah. Sedangkan atribut lain seperti syal dibuat oleh para suporter.
Meski sebagai tim baru, tapi respon dari masyarakat cukup bagus. Saat pertandingan kandang, sudah banyak suporter yang mengenakan replika kostum kebesaran Bali Devata. "Kami sediakan 100 buah, tidak sampai seminggu sudah habis terjual," ujar CEO Bali Devata, Roso Daras.
Berbeda dengan Tangerang Wolves dan Bali Devata, klub LPI lainnya seperti Cendrawasih Papua belum mengurusi merchandise. Alasannya, Cedrawasih masih mengurus masalah yang lebih penting seperti menggalang suporter. Meski demikian, CEO Cendrawasih, Pramadia Moses, mengaku sedang mengusahakan replika kostum tim nasional Latvia milik kiper mereka, Dennis Romanov, untuk dijual di Indonesia. Seperti diketahui, Romanov merupakan kiper ketiga di timnas Latvia. "Semoga sajadia bisa menjadi ikon LPI," ujar Moses.
Sama seperti Cendrawasih, Persema Malang juga belum turun tangan menyoal merchandise. Mereka sebenarnya ingin segera menjalankan sektor ini tapi masih menunggu dari Reebok sebagai mitra kerja mereka. CEO Persema, Didied Affandy, mengatakan klubnya kemungkinan bisa mulai menjalankan sektor ini pada bulan Agustus. "Rencananya kami akan buka di Malang dan Jakarta," ujar Didied.
LPI pusat sendiri sampai saat ini masih belum menjual merchandise. Bukan lantaran mereka tidak peduli dengan bisnis ini, tapi karena mereka sedang menggodok rencana secara matang. LPI rencananya bakal menjual merchandise secara online. Jadi, peminat nantinya bisa mengakses di internet produkyangmereka inginkan. Rencananya ada beberapa item yang bakal dijual LPI, seperti jersey, t-shirt, polo shirt, tas, mug, stiker, dan gantungan kunci. Untuk menjalankan rencana ini, LPI rencananya bakal menggandeng pengusaha lokal. "Dengan begitu LPI juga turut memutar roda ekonomi di masyarakat," ujar Abi Hasantoso, juru bicara LPI.
Selain klub dan LPI pusat, bisnis merchandise juga dijalankan kelompok, suporter yang mulai terbentuk. Kelompok seperti The Man, suporter Manado United, bahkan memanfaatkannya dengan mendayagunakananggotanyayang memang belum bekerja. Dengan kegiatan positif ini, kelompok suporter bisa mandiri dan anggotanya juga turut menikmati hasilnya. "Di sini, suporter juga bisa mendapatkan keuntungan," ujar Abi menambahkan.
Sumber : Koran Tempo
Kurniawan Dwi Julianto.