" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Penguatan Ekonomi Umat Menuntut Perubahan Paradigma

Penguatan Ekonomi Umat Menuntut Perubahan Paradigma

Ketertinggalan ekonomi umat
MAT Islam merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Oleh karenanya, buruknya potret perekonomian sebagian besar masyarakat pada dasarnya mencerminkan buruknya kondisi ekonomi umat Islam. Ada tiga indikator kondisi ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka-kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk masih sangat tinggi.

Jika menggunakan standar Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, yakni batas pengeluaran Rp200.262 per kapita per bulan, maka jumlah orang miskin sebanyak 32.53 juta atau 14.15 persen (Maret. 2009). Batasan kemiskinan tersebut tentu masih di bawah kriteria kemiskinan dalam Islam dimana seseorang dianggap tidak miskin jika ia telah memiliki makanan, pakaian dan tempat tinggal, sementara pendidikan, kesehatan, airdan listrik menjadi tanggungjawab negara untuk menjaminnya.

Sementara batas pengeluaran BPS bagi orang miskin tersebut tidak menekankan apakah pakaian, makanan dan tempat tinggal yang dimiliki layak dan juga pengeluaran tersebut termasuk untuk pendidikan, kesehatan, air. listrik, yang saat ini hampir semua harus dibeli.

Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Saat ini angka pengangguran yang dipublikasikan oleh pemerintah memang hanya 8,97 juta jiwa (7.87 persen) tahun 2009. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja 1 (satu) Jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir.

Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5 persen) ter-nyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kegiatan ekonomi umat jika dilihat dari struktur usaha di Indonesia, sebagian besarnya berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2008jumlah usaha mikro, kecil dan menengah mencapai 51.3 unit atau 99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan jumlah tenaga kerja sebanyak 90 juta atau 97 persen dari total tenaga kerja nasional.

Meskipun dari sisi jumlah sangat besar tetapi dari sisi kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 54 persen (2008). Artinya, meskipun jumlahnya banyak tetapi produktivitas dan tentu saja daya saingnya relatif lemah.

Pertanyaan pentingnya, mengapa ekonomi umat hingga kini masih sangat terbelakang? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan mengantar pada strategi dan kebijakan yang tepat. Permasalahan akibat kesalahan kebijakan Memang bila dilakukan survei kepada pengusaha mikro dan kecil, maka masalah yang menurut mereka paling utama adalah modal. Fakta data pemerintah pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70 persen). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya.

Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50 persen terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman ju-i ga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp 12,9 juta per unit usaha.

Akan tetapi, selain masalah modal usaha, tertinggalnya ekonomi umat atau UMKM juga disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya, disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat bawah yang terbatas. Masalah lain adalah persaingan usaha yang dihadapi UMKM yang sangat ketal, sehingga akhirnya pasar bagi produk UMKM semakin berkurang karena tergusur oleh produk impor.

Sangat banyak faktor yang mengakibatkan kekalahan UMKM dalam persaingan. Mulai dari tingginya biaya produksi UMKM karena tingginya biaya modal (tingginya suku bunga pinjaman), juga tingginyabiaya energi akibat cenderung terus naiknya harga energi seperti listrik. BBM. dll. Faktor lain adalah karena dibukanya pasar dalam negeri lewat liberalisasi perdagangan yang dilakukan tanpa persiapan. Terakhir, sulitnya UMKM mendapatkan bahan baku akibat absennya prioritas bahan mentah untuk kepentingan dalam negeri.

Dengan fakta-fakta di atas, sojusi bagi perbaikan ekonomi umat tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dukungan modal dengan menawarkan berbagai produk pendanaan bagi UMKM. Juga tidak cukup hanya membuatkan model-model usaha bisnis yang tepat bagi ekonomi umat yang berskala mikro dan kecil. Karena ada banyak faktor non modal, seperti keterbatasan pasar. SDM. energi, teknologi, industri pendukung, dll yang menghambat ekonomi umat untuk dapat berkembang dan kompetitif.

Akses dan ketersediaan modal

Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil dan menengah telah banyak diberikan dengan disain beragam dan relatif spesifik. Ada empat Jenis kredit program yakni. KKP-E untuk pangan, KUR untuk usaha mikro kecil, KP-EN-RP untuk perkebunan, dan KLBI kepada bank untuk dukung program pemerintah. Namun, akses UMKM terhadap dukungan modal masih menjadi masalah besar.

Berbagai kredit program yang telah di-tvarkan tersebut pun belum berkinerja baik Memang sangat banyak masalah administrasi yang menjadi penghambat. Namun, ada masalah lain dari rendahnya realisasi kredit yang ditawarkan antara lain karena sumber dana berasal dari dana bank (dana APBN hanya sebagai dana penjamin). Hal ini mengakibatkan perbankan akan sangat berhati-hati/mensyaratkan adanya bunga, agunan dan dokumen yang rumit karena dana yang disalurkan adalah dana komersial. Berbeda bila dana tersebut berasal dari dana pemerintah. Tingkat bunga, agunan, persyaratan mungkin akan lebih fleksible

Memang ada kendala lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan permodalan bagi UMKM yakni struktur kepemilikan perbankan nasional yang semakin didominasi modal asing. Bahkan untuk bank pemerintah akan segera diberlakukan kebijakan single presence policy yang melarang bank hanya dimiliki oleh pemerintah. Artinya, bank pemerintahpun didorong untuk segera diswastakan. Akhirnya porsi kepemilikan asing di perbankan nasional meningkat. Bila tahun 1999. ha-nya sebesar 11.6 persen, saat ini sudah hampir separuh industri perbankan nasional (47.02 persen). Kondisi Ini tentu tidak dapat dilepaskan dari diberlakukannya UU No 10 Tahun 1998 dan Peraturan Presiden (Pcrpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang merupakan perubahan Perpres 77/ 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres itu. antara lain, memberikan peluang bagi investor asing untuk menguasai 99 persen saham perbankan nasional.

Padahal di negara-negara lain saja, kepemilikan perbankan asing sangat dibatasi. Kepemilikan asing di Filipina maksimal hanya 51 persen. Thailand 49 persen. India 49 persen. Korsel 30 persen. Malaysia 30 persen. Vietnam 30 persen. AS 30 persen. RRC 25 persen, dan Australia 15 persen.

Pembatasan Ini penting karena kepemilikan sektor keuangan oleh asing akan membatasi intervensi dan peran aktif pemerintah dalam memberikan dukungan pendanaan bagi ekonomi mikro, kecil dan menengah (karena akan kalah bersaing dengan modal besar). Hal tersebut juga akan membatasi peluang untuk mendukung ekonomi UMKM dengan basis non bank atau model pendanaan bukan pinjaman. Inilah sebabnya saat ini dukungan pendanaan bagi ekonomi kecil akhirnya hanya berupa pinjaman dan tetap menggunakan mekanisme pinjaman dengan bunga.

Regulasi yang telah salah kaprah Ini tentu harus dilakukan koreksi substansial karena dalam perspektif ekonomi kelembagaan, regulasi memiliki peran signifikan dalam mengatur dan mengarahkan per- ekonomian suatu negara. Dalam Islam, re gulasl yang memberikan perlindungan dan proteksi kepada perbankan dan lembaga keuangan yang melakukan transaksi berbasis suku bunga tentu keliru dan sangat disayangkan karena selain diharamkan (QS al-Baqarah (2)275; 279) transaksi ribawi juga sangat destruktif dalam kegiatan ekonomi.

Apalagi memberikan peluang kepada pihak asing melakukan hegemoni terhadap perekonomian umat melalui sektor keuangan yang merupakan jantung ekonomi akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan politik ekonomi umat. Allah Swt ber-, firman "Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepda orang-orang kafir untuk menguasal/memusnahkan. orang-orang Mukmin." (QS An Nisaa (4)r i 111 (Bersambung)

Entri Populer