" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Mengawal Efektivitas PNPM Mandiri

Mengawal Efektivitas PNPM Mandiri

Latif Adam. Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) PPNPM (Program Nasiona] Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, merupakan salah satu program andalan pemerintah untuk menekan angka kemiskinan ke kisaran 8% hingga 10% pada akhir tahun 2014. Program ini diimplementasikan berdasarkan lima prinsip dasar sebagai berikut

Pertama, program ini menempatkan kecamatan sebagai lokus program untuk mensinergikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program. Kedua, memposisikan masyarakat sebagai penentu kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal. Ketiga, mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipatif. Keempat, menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat

yang sesuai dengan karakteristik sosial, ! budaya, dan geografis. Kelima, mendorong masyarakat dalam proses pembelajaran, kemandirian, dan keberlanjutan. Dalam konteks yang terbatas, temuan awal P2E-LIPI di beberapa daerah memang menunjukkan, PNPM Mandiri berhasil mendorong beberapa keluarga miskin naik kelas. Hanya, masih sulit untuk menyimpulkan, program itu akan benar-benar efektif menekan angka kemiskinan. Terdapat beberapa permasalahan yang berpotensi mengganggu efektivitas PNPM sebagai programj pengentasan kemiskinan.Peran pemda

Dalam PNPM Mandiri, dana bergulir tanpa melalui pemerintah daerah (pemda), tapi langsung ke UPK alias Unit Pengelola Keuangan di tingkat kecamatan. Secara konseptual, pola penyaluran seperti itu memungkinkan masyarakat miskin mengelola dana PNPM secara mandiri untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, yang bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka

Sayangnya, pola penyaluran dana seperti di atas memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya Pertama, masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi proyek apa yang paling dibutuhkan untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka. Selain itu, mereka memiliki skill atau keterampilan yang terbatas untuk membangun proyek-proyek infrastruktur secara mandiri. Tidak mengherankan bila banyak proyek infrastruktur yang dibangun dengan dana PNPM bukan merupakan kebutuhan utama dan kualitasmua pun rendah.

Dalam kaitan ini, tenaga pendamping seharusnya berperan lebih aktif memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk mengatasi masalah. Tapi, permasalahannya, banyak tenaga pendamping yang direkrut bukan dari daerah setem-pat. Hal ini memunculkan social constraint dalam menata hubungan antara masyarakat dan tenaga pendamping.

Kedua, terdapat indikasi bahwa pemda memiliki peran yang marginal dalam pelaksanaan PNPM. Pemda tidak memiliki hak untuk mengelola dana ataupun sekadar mengkoordinasikan proyek-proyek infrastruktur. Problemnya, proyek-prou-ek PNPM yang diusulkan (melalui Musyawarah Antar Desa/MAD) dan dibangun masyarakat sering tidak sesuai dengan skala prioritas pembangunan yang disusun pemda.

Tentu saja, keadaan ini bisamenimbulkan sikap apatis dan keengganan pemda untuk mendukung PNPM. Mengingat pemda merupakan ujung tombak pembangunan, sikap mereka yang apatis dan kurang memberi dukungan terhadap PNPM akan berdampak kontraproduktif terhadap efektivitas program ini dalam menekan angka kemiskinan.

Ketiga, beberapa pemda memandang PNPM Mandiri semakin membatasi kemampuan keuangan mereka. Hal ini me-rupakan konsekuensi dari ketentuan dana pendampingan yang harus disediakan pemda sebesar 20% dari total dana PNPM yang tersalur ke daerahnya. Ketentuan ini menekan kemampuan keuangan pemda untuk membiayai proyek dan program di luar PNPM.

Dalam pelaksanaan program ini, terdapat ketentuan, bahwa sekitar 25% dari total dana PNPM harus tersalur dan bergulir langsung ke masyarakat. Di lapangan, hal ini diaplikasikan dengan pembentukan unit usaha simpan pinjam dengan target utama kelompok perempuan. Memang, beberapa unit usaha simpan pinjam memiliki perkembangan yang cukup menggembirakan. Tidak jarang sisa hasil usaha (keuntungan) dari usaha simpan pinjam disalurkan melalui skema bantuan langsung ke masyarakat miskin.

Fobia pinjaman macet

Terlepas dari cerita sukses unit usaha simpan pinjam tersebut, ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan pemerintah.

Pertama, tenaga pendamping menjadi motor penting dalam mendukung kinerja unit usaha simpan pmjam. Ada kekhawatiran ketika PNPM berakhir dan tenaga pendamping tidak lagi berperan, kinerja unit usaha simpan pinjam akan mengalami penurunan. Kekhawatiran ini dilandasi kenyataan bahwa masyarakat belum mempunyai kemandirian dan kompetensi yang cukup untuk mengelola unit usaha simpan pinjam.

Kekhawatiran terjadinya penurunan kinerja unit usaha simpan pinjam pasca-tenaga pendamping tidak lagi berperan semakin terlihat nyata Pasalnya, sampai saat ini belum ada exit strategy dari PNPM. Sebagai suatu program, suatu saat PNPM pasti akan berakhir. Karena itu, perlu dipikirkan exit strategy bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kinerja unit usaha simpan pinjam.

Misalnya, setelah PNPM berakhir, apakah unit usaha simpan pinjam bisa berganti menjadi Koperasi, BPR, atau Buun-des (Badan Usaha Unit Desa) dan siapa pengelolanya Isu-isu krusial itu sudah harus dipikirkan sejak sekarang.

Kedua, pengelola unit usaha simpan pinjam sangat fobia terhadap risiko simpanan macet Untuk mengelola risiko ini, pengelola memiliki peraturan bahwa kelompok peminjam merupakan komposisi dari masyarakat miskin dan tidak miskin. Soalnya, tidak jarang komposisi ini terdiri dari 50% masyarakat miskin dan 50% masyarakat miskin juga

Aturan ini terbukti membuat rasio simpanan macet terhadap total simpanan berada pada posisi yang sangat rendah. Kendati begitu, secara jelas hal ini merupakan penyelewengan dari esensi PNPM yang ingin memberdayakan masyarakat miskin. Artinya, dana PNPM sebagian tersalur ke masyarakat yang bukan merupakan kelompok sasaran.

Entri Populer