" Status YM ""
ukm indonesia sukses: DIPERLUKAN PERHATIAN LEBIH KEPADA SEKTOR UMKM

DIPERLUKAN PERHATIAN LEBIH KEPADA SEKTOR UMKM

Komisi XI DPR secara voting telah memilih Halim A la msy ah menjadi deputi gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Siti Ch Fadjrijah yang memasuki masa pensiun. Usai terpilih Halim berjanji akan menjalankan enam strategi yang dipaparkan saat fit and proper test, khususnya soal pembiayaan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Langkah itu perlu diambil menurutnya demi kepentingan masyarakat. Apalagi sektor UMKM masih kesulitan mendapatkan pembiayaan. Untuk itu perlu ada pendekatan baru untuk mendorong perluasan akses pembiayaan, terutama bagi kegiatan UMKM dan kelompok masyarakat miskin yang belum tersentuh bank.

Apa yang menarik dari program direktur terpilih ini adalah adanya pendekatan lain yang lebih condong pada pengumpulan dan pencatatan perilaku keuangan dari pelaku ekonomi, baik formal maupun informal, serta kelompok masyarakat yang belum tersentuh bank.

Menurut Halim, pendekatan ini dilakukan melalui program yang mengarah kepada pemberian identitas keuangan secara unik ( Financial identity number). Melalui program ini berbagai catatan perilaku keuangan akan dikompilasi secara sistematis kemudian dikumpulkan menjadi suatu informasi yang berguna bagi lembaga keuangan, termasuk bank, dalam memberikan penilaian terhadap seseorang yang diberi akses pembiayaan kredit.

Lembaga otoritas bahkan dapat membuat suatu aturan bahwa informasi itu bisa menggantikan agunan jika informasi itu telah dianalisis dan diolah menjadi suatu "credit scoring "atau penilaian kredit.

Pendekatan baru ini tentu saja menarik bagi dunia UMKM ketimbang pendekatan konvensional yang selama ini lebih didasarkan pada penyediaan dana, bantuan teknis, pendampingan di tingkat produksi dan pemasaran hingga program jaminan atas risiko kegagalan kredit. Dalam perjalanannya program konvensional ini juga tidak selamanya berhasil, namun banyak pula yang gagal.

Melalui pendekatan konvensional, selama ini terlihat begitu banyak UMKM yang mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan dunia perbankan. Persoalannya karena persyaratannya yang hingga kini masih menjadi kendala karena banyak UMKM tidak mampu memenuhi persyaratan yang diberlakukan oleh bank. Belum lagi jika harus membayar biaya provisi, biaya administrasi dll. Kalaupun diberi kesempatan untuk melengkapinya, pada akhirnya banyak yang membatalkan niatnya karena merasa tidak bisa memenuhi persyaratan yang diminta.

Apa yang dipaparkan Direktur BI terpilih ini menarik karena bisa menunjang niat pemerintah untuk mengembangkan kegiatan Usaha Kebi Menengah dan Mikro (UMKM) yang hingga saat ini hasilnya dinilai masih belum dirasakan oleh para pengusaha yang tergolong kecil dan menengah. Apalagi oleh mereka yang tergolong pengusaha mikro.

Para pengusahaan UMKM banyak yang mengeluh karena saat ini dana-dana yang kabarnya disediakan untuk UMKM belum seluruhnya sampai kepada pengusaha kecil. Sangat sulit bagi pengusaha kecil untuk bisa mendapatkan pinjaman dari bank. Padahal peluang usaha saat ini berkembang pesat sejalan dengan pembukaan kota-kota baru dengan berbagai fasilitas yang lengkap yang membuka banyak peluang usaha. Namun lagi-lagi persoalan modal menyebabkan berbagai peluang yang ada luput untuk bisa diraih para pengusaha UMKM.

Kesulitan untuk mendapatkan pinjaman selama ini menjadi persoalan yang sangat disayangkan, karena untuk bisa berkembang menjadi besar, para pengusaha UMKMmembutuhkan adanya pasar di tempat yang memang strategis seperti yang diberikan kepada para pengusaha besar. Demikian pula akses terhadap perbankan serta keamanan dan ketentraman berusaha. Hingga saat ini fasilitas-fasilitas tsb, yang dibutuhkan UMKM untuk bisa berkembang umumnya belum diperoleh.

Oleh karena itu, jika pendekatan program baru yang ditawarkan Halim benar-benar bisa berjalan, tentu akan membuka peluang yang lebih besar bagi para pengusaha UMKM untuk bisa lebih mengembangkan usahanya bahkan bukan mustahil pada akhirnya bisa menjadi pengusaha besar.

Para pengusaha UMKM kerap mengingatkan bahwa usaha kecil tidak berarti lemah, karena kecil berhubungan dengan skala usaha. Tidak ada hubungannya sama sekali antara kecil dan lemah. Bahwa sebagian besar usaha kecil itu berada pada kondisi yang lemah, memang suatu kenyataan. Tetapi jangan lupa, sebagian besar usaha besar juga lemah. Buktinya, berapa banyak perusahaan besar menyebabkan Indonesia harus menanggung beban utang yang tidak kepalang tanggung besarnya.

Usaha kecil tidak selalu lemah dan usaha besar tidak selalu kuat. Kuat dan lemah berhubungan dengan kinerja usaha yang bersangkutan. Usaha besar dan usaha kecil memiliki tempatnya sendiri-sendiri dalam tata perekonomian suatu negara. Masing-masing memiliki peran yang konstruktif jika berada dalam keadaan sehat.

Berdasarkan fakta ini, bukan mustahil bahwa pendekatan baru yang ditawarkan Halim, terutama dengan adanya kemungkinan informasi yang dianalisis dan diolah menjadi suatu "credit scoring" bisa menggantikan agunan, membuka peluang lebih besar bagi UMKM untuk bisa mendapatkan pinjaman perbankan dan pada akhirnya bisa berkembang menjadi usaha besar.

Perhatian terhadap sektor UMKM untuk bisa menjadi pengusaha besar ini harus dilakukan karena kendati diakui sebagai salah satu pilar perekonomian negara dan peranannya dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan juga tidak kecil, tetapi jika tetap kecil dan jumlahnya semakin banyak maka diyakini dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga tidak terlalu baik karena kualitas pertumbuhannya tidak menyakinkan.

Perhatian lebih kepada sektor UMKM menjadi penting karena peranannya dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan cukup besar. Menjadi penting karena beberapa waktu lalu, Human Development Report (HDR) yang diluncurkan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga menyatakan, Indonesia tidak banyak berubah dari posisinya setelah selama satu dekade berada pada tier medium human development peringkat 110, atau terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan pertengahan Oktober tahun 2006, Indonesia juga ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Bangladesh, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Philipina.

Entri Populer