" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Tak Semua PTS Berhak Ikuti Program Wirausaha

Dari 474 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di lingkungan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV Jabar dan Banten, hanya sekitar 195 yang dapat mengikuti Program Wirausaha Mahasiswa (PMW) 2010.

Menurut Koordinator Kopertis Wilayah IV, Abdul Hakim Halim, tahun ini tidak semua PTS berhak mengikuti PMW. Hal ini terkait dengan persyaratan baru yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional RI yang menyebutkan, PMW hanya dapat diikuti oleh mahasiswa dari PTS yang memiliki minimal 50% program studi terakreditasi."Dalam pelaksanaan teknisnya, PTS terpilih akan dibagi ke dalam delapan wilayah. Masing-masing wilayah ada satu PTS koordinator dengan empat PTS mitra. Delapan PTS koordinator dan 32 mitra tersebut akan menyaring proposal mahasiswa sebelum masuk ke tim penilai," kata Hakim, Selasa (30/3).

Hakim menambahkan, Kopertis Wilayah IV juga tidak membatasi kuota proposal wirausaha mahasiswa yang masuk dari PTS seperti tahun sebelumnya. "Sistem ini memang memungkinkan terjadi-nya peraih beasiswa PMW yang tidak seimbang di setiap PTS," ujarnya.Kendati demikian, tambah Hakim, dengan sistem tersebut, mahasiswa lebih terpacu untuk bersaing tidak hanya dengan mahasiswa dalam satu PTS, tetapi dengan PTS lain. "Kita hanya melihat kompetensi mahasiswanya, bukan mempertimbangkan mereka dari PTS mana," ujarnya.

Hakim menjelaskan, setiap mahasiswa bisa mengajukan proposal perseorangan atau berkelompok dengan anggota maksimal lima orang. "Untuk perseorangan masing-masing - mendapat maksimal Rp 8 juta. Untuk kelompok maksimal Rp 40 juta dengan anggota lima orang. Anggota kelompok tidak harus lima, bisa dua atau tiga orang," katanya menjelaskan.

Iklim Usaha Harus Jadi Prioritas

Penciptaan iklim usaha kondusif harus menjadi prioritas utama dunia usaha dan pemerintah, untuk meningkatkan daya saing produk dalam perdagangan global. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman yang sama mengenai berbagai regulasi yang mengatur sektor riil.

"Pembenahan regulasi di sektor riil merupakan salah satu hal terpenting untuk memasuki persaingan global. Karena sehebat apa pun upaya efisiensi dilakukan pengusaha, jika iklim usahanya tidak kondusif tetap akan sulit meningkatkan daya saing," ujar Ketua Lembaga Advokasi Kadin Jabar Yudi Priadi kepada wartawan, kemarin.Menurut Yudi dalam upaya tersebut pihaknya saat ini melalaikan rangkaian pertemuan dengan asosiasi-asosiasi pengusaha, untuk mendiskusikan dan mencari alternatif solusi aturan-aturan yang menghambat dunia usaha. Selain itu, lewat jalur kadinda-kadinda di Jabar, juga dihimpun berbagai regulasi yang "bermasalah".

"Sejak berlakunya otonomi daerah, memang ada kecenderungan perizinan dan retribusi dijadikan sebagai salah satu alat menambah PAD (pendapatan asli daerah). Ini mendorong terjadinya berbagai ekonomi biaya tinggi," katanya.Diakuinya, upaya tersebut bukanlah hal yang mudah, apalagi lembaga advokasi merupakan lembaga yang baru pertama kali dibentuk di Kadin Jabar. Sehingga banyak hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Selain itu, pihaknya juga harus mempersiapkan mekanisme pembentukan lembaga advokasi di kadinda (Kadin kota/kab.), sehingga nantinya di tiap kota/kab. memiliki lembaga advokasi.

Sementara Rinaal Siswadi Kusumah, anggota Lembaga Advokasi Kadin Jabar, menilai penggarapan pasar lokal perlu dioptimalkan. Jabar misalnya, dengan penduduk di atas 40 juta jiwa, sebenarnya merupakan pasar potensial untuk produk apa pun."Tentunya ini tidak bisa dilakukan oleh dunia usaha. Perlu keinginan dan campur tangan pemerintah, yaitu dalam bentuk regulasi yang bisa mengikis ekonomi biaya tinggi dan mendorong pertumbuhan daya saing produk dalam negeri," katanya.Sementara anggota lembaga advokasi lainnya, Yesmil Anwar mengatakan pihaknya juga berkeinginan untuk mengawal etika berbisnis di dunia usaha Jabar. Sehingga berbagai persaingan yang terjadi, tidak harus membuat pengusaha Kadin Jabar kehilangan martabat

Usaha mikro tak wajib SIUP

JAKARTAPemerintah akan membebaskan usaha mikro dari kewajiban memiliki surat izin usaha perdagangan (SIUP), yang penegasan aturannya akan dituangkan dalam Undang-Undang Perdagangan yang kini telah selesai penyusunan rancangannya.

Dalam bab perizinan di RUU Perdagangan yang diterima Bisnis, disebutkan adanya pengecualian kewajiban memiliki SIUP terhadap pelaku usaha mikro, melainkan hanya diwajibkan untuk pelaku usaha kecil, menengah, dan besar.

Ini merupakan bentuk dari keberpihakan pemerintah untuk memperkuat pelaku usaha mikro," kata Halomoan Tamba, Asisten Deputi Perdagangan Dalam Negeri, Deputi Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM, pekan lalu.

Pemerintah pusat, jelas dia.selama ini melihat usaha mikro kurang berkembang. Padahal jenis skala usaha tersebut dominan atau jumlahnya sekitar 90% dari total bisnis yang beroperasi di dalam negeri. Halomoan mengatakan usaha mikro selama ini relatif sulit atau terganjal masuk wilayah perdagangan yang disediakan pemerintah atau jasa yang ada dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN), karena tidak memenuhi persyaratan administrasi seperti tidak memiliki

SIUP, nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan jaminan bank seperti diatur dalam keppres. Karena pengaturannya ditetapkan berdasarkan keputusan presiden, maka untuk mengubah kebijakan yang berpihak pada usaha mikro, pemerintah menetapkannya dalam UU.

Dia mengatakan ada sejumlah kendala utama minimnya usaha mikro yang memiliki SIUP. Pertama, kurang pengetahuan bahwa berurusan dengan usaha yang diatur dalam APBN harus dilengkapi berbagai persyaratan administrasi. Kedua, usaha mikro lebih cenderung pada hal yang lebih praktis atau tidak banyak urusan dengan dokumen. Ketiga, usaha mikro yang berjumlah 50.6 juta unit tersebut sebagian besar tidak punya SIUP, karena memerlukan penghasilan untuk hidup mereka sehari-hari.

Dalam kesempatan terpisah Deputi Menko Perekonomian Edy Putra Irawadi mengatakan usaha mikro seperti pedagang kaki lima memang selayaknya tidak dibebani soal perizinan. "Itu ISIUP) sama saja kita memaksa mereka [usaha mikrol melanggarnya, karena mereka tidak mampu [mendapatkannya j," kata Edy.

Dalam RUU Perdagangan dijelaskan yang dimaksud usaha mikro adalah usaha produktif milik perseorangan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha berdasarkan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Kriteria usaha mikro merupakan pelaku usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk kepemilikan tanah, bangunan dan tempat usaha

Entri Populer