" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Raup Untung dari Bisnis Penyediaan Alat Produksi Tahu

Kini, perajin bisa dengan mudah memproduksi tahu tanpa memikirkan infrastruktur produksinya. UD Rian Puspita Jaya, markasnya para perajin sekaligus sebagai penjual di daerah Jakarta Selatan yang ingin memproduksi tahu dengan modal alat produksi nol persen.

Fauzan sebagai pemilik mengatakan, UD Rian Puspita Jaya bukanlah pabrik tahu kebanyakan, yang memiliki perajin sendiri sebagai pegawai dan menuai untung dari produksi tahu yang dijualnya ke pasar. Namun, hanya tempat penyedia peralatan pengolah tahu dan distributor kedelai dari importir lokal. Perajin pun tidak terikat pegawai dengan usaha Fauzan, melainkan hanya sebagai rekanan bisnin.

"Jadi UD ini bukan pabrik tahu, ibaratnya kami hanya menyediakan peralatan dan kedelainya saja, sementara tahunya diolah sendiri oleh perajin atau pedagang tahu. Alasan memilih tahu, karena tahu tidak seperti tempe yang mamakan waktu lama dalam proses fermentasi dan membutuhkan ragi," ujarnya kepada Kompas.com saat ditemui di kantornya tersebut, Duren Tiga, Jakarta Selatan, ( 30/7/2012 ) kemarin.

Para perajin pun tidak dikenakan sewa alat-alat produksi tahu yang disediakan Fauzan. Akan tapi, sistem kerja sama bila ingin menggunakan alat produksi tahu, perajin diwajibkan membeli kedelai dengan harga lebih mahal dari yang ada di pasaran.

Ini sebagai biaya ganti dari sewa alat yang telah digratiskan, seperti mesin penggiling, wadah, bahan bakar dari kayu. peralatan memasak kedelai, dan sebagainya. Selain itu, disediakan para kuli untuk membantu pengangkutan, pengepakan, dan pekerjaan lainnya.

Jadi keuntungan yang didapatkannya, ialah dari kedelai yang dijual ke perajin. Fauzan mengaku, raup keuntungan sekitar Rp 2.000-Rp 2.500 per kilo gram kedelai. "Jadi kalau misalnya harga kedelai di pasaran sekitar Rp 7.500, maka saya jual ke perajin yang ingin memakai alat produksi di sini, tinggal ditambah Rp 2.000 saja menjadi Rp 9.500," ujarnya.

Harga jual kedelai yang dijualnya pun tidak bergantung pada fluktuasi harga di pasaran. Sekalipun kedelai sedang murah maupun mahal di pasaran. Ia tetap mematok harga jual minimal Rp 2.000. Hanya saja, bila harga kedelai sedang mahal, maka perajin akan mengurangi pembelian kedelai darinya.

"Kita hanya ikut informasi harga kedelai yang beredar di pasaran, ya mungkin importir lokal kali yah. Kemarin juga enggak ada yang memesan kedelai. Kalau mereka menjual mahal ya kita keberatan juga," ungkap Fauzan yang usahanya itu merupakan warisan dari orang tuanya.

Sayangnya, Fauzan enggan menyebutkan margin keuntungan dari penjualan kedelai tersebut. Sementara itu, Rifqi Maulana, saudara sekaligus wakilnya.Pemilik UD Rian Puspita Jaya mengatakan, pada hari jumat lalu ( 28/7 ) pasca berakhirnya mogok produksi tahu tempe, total produksi dalam sehari dan siap dijual pada keesokan harinya mencapai tiga ton tahu. Sementara informasi yang beredar juga, dari 1 kilo gram kedelai, perajin mampu memproduksi tahu sekitar 2 - 2,5 kilo gram tahu.

Rifqi manambahkan, UD Rian Puspita Jaya pun tidak tergabung dalam Pusat Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Puskopti). Akan tapi, saat terjadi mogok 26-27 juli yang dimotori Puskopti, itu juga berdampak negatif pada usahanya. Pasalnya, rekanan perajin tahu turut berhenti produksi.

"Maka dari itu, sebelum demo (mogok produksi), kita sudah nyetok 18 ton kedelai. Jadi ketika demo berakhir, Jumat malam mulai produksi dan Sabtu besoknya dijual," ungkap Rifqi.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kompas.com


Mencicipi Kemitraan Mi Ayam Malioboro

Bisnis mi ayam memang sudah bejubel pemainnya. Toh, tak berarti peluang bisnis mi ayam kian sempit. Celah pasar tetap terbuka lebar bagi pemain baru.Maklum saja, mi sudah seperti makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat kita. Jadi, tak heran pedagang mie ayam nyaris tak pernah kehilangan pelanggan. Lagipula, penggemar makanan ini tak mengenal kasta, mulai anak-anak hingga orang dewasa, dari kaum berduit hingga yang penghasilannya pas-pasan.

Wajar, semakin banyak yang menyisir rezeki dari bisnis mi ayam. Ada pula yang mengembangkan bisnisnya itu lewat jalur kemitraan.Ambil contoh, Agus Wiratno, pemilik Mie Ayam Malioboro. Ia memulai usahanya itu sejak 2004 silam. Nah, mulai 2010, Agus menawarkan kemitraan Mie Ayam Malioboro.

Saat ini, Mie Ayam Malioboro telah memiliki 10 mitra, dan dua gerai milik sendiri, yang tersebar di Yogyakarta dan sekitarnya. "Jadi total cabang mencapai 12 gerai," jelas Agus.Sesuai namanya, Mie Ayam Maliboro menawarkan rasa mi ayam khas Yogyakarta yang manis. Ukuran topping ayamnya pun juga mantap. Harganya pun terjangkau antara Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per porsi, tergantung pilihan menunya..

Beberapa menu mi ayam yang dijual adalah mi ayam original, mi ayam bakso, mi ayam bayam dan mi ayam wortel. Agus bilang, akan terus melakukan inovasi produk agar menunya terus bertambah.Bagi yang berminat, Mie Ayam Malioboro menawarkan dua paket kemitraan. Paket pertama dengan investasi Rp 20 juta. Terdiri dari investasi kemitraan Rp 15 juta, dan dana cadangan Rp 5 juta. Dari paket ini, mitra akan mendapatkan alat masak seperti kompor gas, dandang rebus kotak, termasuk peralatan saji seperti mangkok, sendok atau sumpit.

Calon mitra juga akan mendapat bahan baku dan training. Agus menargetkan, mitra bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan. "Balik modal sekitar tiga sampai empat bulan," jelas Agus.

Paket kedua dengan investasi Rp 30 juta, terdiri dari investasi kemitraan  Rp 25 juta dan dana cadangan Rp 5 juta. Di paket ini, mitra akan mendapatkan mesin pembuatan mi ayam sehingga tidak perlu lagi memesan mi dari pusat. Paket ini juga akan menjadi master franchise yang akan mensuplai bahan baku mi ayam kepada mitra yang berada di wilayahnya. Estimasi omzet dalam sebulan sekitar Rp 17 juta - Rp 20 juta.

Agar laris, Agus menyarankan calon mitra mencari lokasi strategis seperti mal, daerah perkantoran, pasar dan kampus.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : (Noverius Laol/Kontan)


Bisnis angkringan masih nangkring

Bisnis angkringan yakni bisnis makanan yang dinikmati dengan duduk di lantai terus melakukan invasi ke kota-kota besar. Berasal dari bahasa jawa angkring punya arti duduk santai. 

Belakangan, angkringan justru lebih dikenal sebagai tempat jualan aneka makanan dengan gerobak dorong. Pembeli biasanya menikmati makanan di selembar tikar yang terhampar tak jauh dengan gerobak. 

Awalnya, angkringan banyak dijumpai di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kini, bisnis angkringan ini telah berkembang di sejumlah kota di Indonesia termasuk Jakarta dan sekitarnya Beragam makanan yang dijual seperti nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik dan lain-lain.

Selain makanan, kita bisa juga menemukan aneka minuman seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua makanan itu dijual dengan harga terjangkau.
Kini, bisnis angkringan terus merambah ke daerah lain, salah satunya berkat tawaran kemitraan dari pebisnis ini. Apakah usaha ini masih menjanjikan? Berikut ulasan perkembangan usaha sejumlah kemitraan bisnis angkringan yang pernah diulas KONTAN.

• Angkringan Ki Asem

Pada Mei 2009 lalu, KONTAN mengulas tawaran kemitraan dari Angkringan Ki Asem asal Bekasi. Ki Asem yang berdiri pada tahun 2007 itu menawarkan kemitraan di 2008. Ki Asem memiliki delapan gerai, tiga diantaranya milik sendiri dan sisanya milik mitra. 

Setelah kurang lebih tiga tahun beroperasi, Ki Asem mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari penambahan jumlah gerai milik sendiri. Menurut Sartono, pemilik Angkringan Ki Asem, saat ini mereka telah memiliki 14 gerai yang tersebar di Bekasi dan Jakarta, sembilan diantaranya milik sendiri dan lima milik mitra. "Kami terus menargetkan pertambahan outlet minimal tiga sampai empat tiap tahun," ujarnya. 

Agar bisa menjaring banyak mitra, Sartono rajin berpromosi lewat iklan di media, terutama via internet. Ki Asem juga terus menjaga kualitas rasa agar pelanggan tetap datang. Sekali setahun, Ki Asem pasti menelurkan menu baru sehingga pelanggan mendapatkan rasa baru dan tidak bosan dengan menu lama. 

Angkringan Ki Asem mengerek biaya investasi. Jika pada 2009 lalu, Ki Asem mematok biaya investasi Rp 15 juta, saat ini menjadi Rp 20 juta. Kenaikan menyesuaikan dengan harga barang-barang yang juga naik tiap tahun. 

Dengan investasi itu, mitra berhak atas gerobak, meja dan kursi dengan kapasitas 20 orang. Mitra juga mendapat pasokan peralatan makan seperti nampan, dan teko yang diboyong Sartono langsung dari Solo.

Dengan investasi tersebut, Mitra diperkirakan bisa meraup omzet sekitar Rp 1 juta - Rp 1,5 juta per hari. Kalau tempatnya strategis bisa lebih tinggi lagi. Ki Asem juga memungut royalty fee sebesar 2% dari omzet mitra per bulan. Mitra diperkirakan akan balik modal dalam waktu 6 bulan - 8 bulan. 

Soal kalau harga makanan, Sartono bilang, kenaikannya rata-rata sekitar 20% dari harga sebelumnya. Gorengan misalnya, semula harganya Rp 500 per potong, kini menjadi Rp 750 per potong.

• Solo Rasa Angkringan

Solo Rasa Angkringan berdiri di Malang, Maret 2010. Lalu sang pendiri, Anton Haekal mulai menawarkan kemitraan usahanya ini pada 2011 lalu. Saat KONTAN mengulas kemitraan angkringan yang diklaim menggabung konsep tradisional dan modern ini pada Maret 2011, Solo Rasa Angkringan baru memiliki dua gerai milik sendiri.

Kala itu, biaya investasi menjadi mitra Solo Rasa Angkringan bervariasi tergantung lokasi. Biaya investasi di Jawa Timur Rp 9 juta, Jawa Tengah Rp 19 juta, Jawa Barat Rp 25 juta, dan luar Jawa Rp 35 juta. Dengan omzet Rp 9 juta-Rp 15 juta per bulan, mitra diprediksi bisa balik modal sekitar enam bulan hingga setahun. 

Medio 2012 ini, Solo Rasa Angkringan telah mengalami beberapa perubahan. Kata Anton, sampai saat ini ia telah menggaet dua mitra, yakni di Malang dan Bandung. "Khusus mitra di Bandung kami menggabungkan konsep kafe dan angkringan sekaligus," katanya.
Sedangkan untuk paket investasi, belum ada perubahan. Bahkan, Anton membuat terobosan dengan memberlakukan investasi fleksibel alias menyesuaikan bujet mitra. Model ini efektif untuk mengangkat pamor angkringan miliknya. 

Ia bilang, kini keempat gerai angkringan, baik miliknya pribadi dan milik mitra, dapat meraup omzet Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per hari. "Perhitungannya jika dikonsep lebih modern dan lengkap, balik modalnya sekitar setahun dengan laba 30 %," tuturnya. 

Demi memikat banyak mitra, kini Anton menghilangkan Royalty fee sebesar Rp 150.000 per bulan atau Rp 9 juta untuk lima tahun. Selain itu, ia pun memberikan kesempatan bagi mitra untuk menjadi investor dengan sistem pengelolaan penuh dijalankan oleh pusat. "Kami berlakukan bagi hasil untuk gerai under management yakni 60% pusat, 40% mitra," jelasnya. 

Inovasi menu pun dihadirkan Anton dengan menambah beberapa menu lain seperti nasi gudeg dan ceker setan atau ceker rasa pedas. Ia bilang harga makanan di angkringan ini bervariasi dari mulai Rp 1.000-Rp 4.000 per porsi.

• Angkringan Fatmawati 

Angkringan yang sudah berdiri sejak Juni 2006 di Jalan Fatmawati ini masih tetap eksis hingga sekarang. Namun, mengalami kemandekan dalam menjaring mitra. Saat diulas KONTAN, Mei 2011 lalu, Angkringan Fatmawati telah memiliki tiga mitra di Pasar Minggu, Ciputat dan Cililitan. 

Menurut Handayani, pemilik sekaligus pendiri Angkringan Fatmawati, ia sempat memiliki mitra keempat, yakni di Depok. Tapi kini, mitra Angkringan Fatmawati tinggal dua mitra. Sementara gerainya sendiri ada tiga, yakni di kawasan Cililitan, Depok dan Fatmawati.
Menurut Handayani, mitranya berkurang karena mereka menjadikan usaha ini sekadar sampingan saja. "Mitra saya orang kantoran, jadi saat anak buahnya sering tidak masuk, usaha keteteran," ujarnya. 

Sebetulnya, kata Handayani, cukup banyak yang berminat menjadi mitra Angkringan Fatmawai, tetapi mereka kesulitan mencari lokasi yang pas. Maklum, Handayani memberi syarat luas tempat usaha sekitar 8 meter x 6 meter untuk membuka usaha angkringan. "Jadi harus cukup untuk lesehan juga, selain tempat gerobaknya karena konsep saya memang lesehan," jelasnya. 

Meski begitu, ia yakin, cabangnya masih akan berkembang. Maka itu, Handayani terus mencari mitra serta mengembangkan menu-menu baru angkringan.Untuk menjadi mitra Angkringan Fatmawati, harga paket investasinya saat ini sudah naik. Sebelumnya, Handayani mematok investasi Rp 13 juta. Harga ini sudah termasuk gerobak dan seluruh peralatan awal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini. 

Kini, paket investasi tersebut naik menjadi Rp 15 juta karena naiknya harga-harga peralatan. Namun, bagi mitra yang ingin membuka usaha dengan menyiapkan gerobak serta peralatan sendiri, biaya investasi yang ditawarkan masih tetap Rp 5 juta.
Dengan ongkos itu, mitra mendapatkan lisensi nama dari Angkringan Fatmawati untuk jangka waktu lima tahun dan konsultasi. Angkringan ini juga tetap tidak memungut biaya royalti.Handayani menargetkan mitranya bertambah tiga hingga akhir tahun ini. "Bisnis ini masih bagus karena pasarnya jelas," ujar Handayani.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kontan.co.id

Entri Populer