" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Wisnu Sukses dengan Kue Bingka Beromzet Ratusan Juta

Setiap daerah pasti memiliki makanan atau kue khas daerah dengan keunikannya masing-masing. Tak terkecuali Batam, Kepulauan Riau. Daerah ini juga memiliki kue khas bernama kue bingka bakar.  Sayangnya, kue khas daerah ini terus meredup lantaran kalah pamor dengan produk makanan impor dari negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Prihatin melihat kondisi tersebut, Rosnendya Wisnu Wardhana berupaya mengembalikan kejayaan kue bingka bakar.

“Selama ini yang lebih terkenal di Batam itu produk negeri tetangga, seperti cokelat dari Singapura atau Malaysia, Sementara makanan khas Batam tenggelam,” kata lekaki yang acap disapa Wisnu ini.

Pada 2009 ia pun mulai mengembangkan kue bingka bakar. Di bawah bendera usaha Kue Bingka Bakar Nay@adam, ia memproduksi kue bingka bakar sebanyak 11.000 loyang setiap hari. Dengan harga jual Rp 20.000 per loyang, omzetnya dalam sebulan mencapai ratusan juta rupiah. “Alhamdulillah cukup untuk menghidupi keluarga dan sekitar 60 karyawan,” katanya.

Berkat kerja kerasnya, kue bingka kini sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang membeli kue bingka. "Sekarang kue bingka sudah lumayan dikenal hingga ke luar Batam," katanya.

Popularitas kue ini bahkan sudah sampai di Singapura. Selain dibawa turis Singapura yang melancong ke Batam, ia juga pernah memperkenalkan langsung kue ini dengan mengikuti pameran kuliner di Negeri Singa tersebut.

Produk kue bingka buatannya bisa diterima pasar karena sudah dimodifikasi sesuai dengan selera masyarakat modern. Aslinya, kue berbahan baku santan yang dibuat berbentuk bunga matahari segi delapan ini hanya memiliki satu varian rasa. Yakni, rasa pandan yang dibuat manis dan paling lama tahan satu hari.

Tapi, di tangannya, kue bingka kini hadir dengan 12 varian rasa, seperti keju, stroberi, buah naga, kiwi, wijen, durian, mochacino, hingga blueberry. Dengan pilihan rasa yang kian variatif, kue bingka kini semakin diterima pasar. Padahal sebelumnya, kue ini hampir punah. Kalaupun ada, paling hanya dijual di pasar-pasar tradisional. "Saya bereksperimen mengembangkan varian rasa kue ini dengan dibantu keluarga," ujarnya.

Selain kue bingka, ia juga memproduksi makanan khas daerah Batam lainnya. Di antaranya kek, sejenis kue blackforest tapi berbahan dasar pisang. Ia berharap, semua kue buatannya tetap bisa menjadi rujukan oleh-oleh khas Batam bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

Berkat usahanya ini, ia pun diganjar sejumlah prestasi. Beberapa di antaranya adalah pemenang terbaik 1 Wirausaha Muda Mandiri Bidang Usaha Boga Mandiri 2010, UMKM Kreatif versi Kadin Provinsi Kepulauan Riau 2010, The Best Entrepreneur of The Years 2011 oleh Indonesia Community Center. Prestasi lain yang didapatnya adalah The Indonesian Small & Medium Business & Entrepreneur Award (ISMBEA) 2012.

Sukses yang diraih Rosnendya Wisnu Wardhana tidak didapat dalam waktu sekejap. Perlu waktu dan kerja keras agar bisa sukses seperti sekarang. Beberapa kali, ia mengalami jatuh bangun dalam menjalankan usaha.  Sebelum merintis usaha Kue Bingka Bakar Nay@dam, Wisnu pernah mencoba menjalankan usaha cuci motor dan mobil, cuci helm, hingga membuka gerai angkringan. "Karena pengelolaannya tidak fokus, Alhamdulillah semua usaha ini akhirnya tutup," ujarnya.

Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Belajar dari pengalaman, ia mencoba bangkit kembali dan fokus di satu jenis usaha.

Hal itulah yang dilakukannya saat merintis usaha pembuatan kue khas Batam, seperti kue bingka dan kue bilis. Ia merintis usaha ini di awal tahun 2009 dengan modal awal Rp 5 juta. Modal yang tak seberapa itu dipakainya buat membeli bahan baku, mixer, dan Loyang cetakan kue.  Sisanya dipakai buat menyewa sebuah konter berukuran 2x3 meter di kawasan Pasar Mega Legenda, Batam. Ia sengaja memilih konter terkecil karena modalnya sudah habis buat yang lain. "Karena konter kecil biaya sewanya hanya sekitar Rp 390.000 per bulan," ujarnya.

Awalnya, ia hanya menjual aneka jajanan pasar, seperti kerupuk ikan, keripik talas, hingga keladi pedas. Berbagai camilan itu cukup sering dijual di pasar-pasar Batam saat itu. Setelah hampir dua bulan berjalan, ia kemudian memutuskan untuk membuat kue bingka bakar. Di awal-awal berjualan, kuenya belum begitu laris. Dalam sehari paling hanya 15 loyang kue bingka yang laku terjual. "Saya ingat saat itu harganya Rp 8.000 per loyang," ujarnya.

Namun, saat itu, ia sudah bertekad ingin menjadikan kue bingka bakar sebagai oleh-oleh khas Batam. Ia pun gencar memasarkan produknya ke sejumlah acara, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, atau provinsi. Seperti acara penyuluhan keluarga berencana maupun perhelatan mushabaqoh tilawatil quran (MTQ) tingkat provinsi.  Lambat laun, upayanya itu mulai membuahkan hasil. Pada Agustus 2009, Pemerintah Kota Batam mengajaknya untuk ikut serta dalam acara Asia Food Festival di Singapura. Setelah mengikuti acara itu, kue buatannya semakin dikenal masyarakat, baik warga Batam maupun wisatawan yang datang.

Ia mengaku, saat itu masih minder bila ada wisatawan yang mendatangi gerainya. "Karena masih kecil sekali, seperti konter pulsa begitu kok," katanya.

Baru di tahun 2010, ia memindahkan lokasi usahanya ke sebuah ruko yang lebih luas. Selain luas, lokasi baru ini juga lebih rapi dan bersih. Setelah pindah ke ruko inilah usahanya semakin berkembang.  Namun, butuh perjuangan bagi Wisnu untuk memindahkan usahanya ke ruko tersebut. Soalnya, ruko itu dibeli dengan cara mencari pinjaman ke bank. Untuk keperluan itu, ia terpaksa menjaminkan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) milik istrinya ke bank tersebut. 

Maklum, mengandalkan omzetnya dari berjualan di pasar belum cukup. "Saat itu omzet bulanan saya rata-rata masih sekitar Rp 5 juta per bulan," ujarnya.
Tapi, semua upayanya itu tidak sisa-sia. Dengan menempati ruko, makin banyak pelanggan yang percaya dengan kualitas produknya. Selain warga Batam sendiri, banyak wisatawan asing dan lokal yang membeli penganan khas Batam hasil karyanya ini. "Kalau dulu takut ada wisatawan yang datang karena gerai -nya kecil , sekarang malah sangat berharap makin banyak wisatawan yang datang," ujarnya. 

Saat ini, kue bingka buatannya sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Jumlah gerainya juga terus bertambah. Sampai saat ini, sudah ada enam gerai Kue Bingka Bakar Nay@adam miliknya di Kota Batam. 

Untuk membesarkan usahanya, ia juga menggandeng pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Batam. Para pelaku UKM tersebut diberi kesempatan untuk menitip jual makanan, minuman, serta aneka produk kerajinan lainnya di gerai -gerai miliknya. Alhasil, gerai Nay@dam pun kini makin semarak. Selain makanan, juga ada aneka suvenir seperti kaos dan gantungan kunci khas Batam. "Saya berharap, ada sesuatu yang bisa dijadikan kenang-kenangan setelah seseorang berkunjung ke Batam," ujarnya. 

Melalui usahanya itu, Wisnu memang berharap bisa turut membantu mengembangkan pelaku usaha lain. Terutama mereka yang aktivitas produksinya terkait dengan pernak-pernik khas Batam. Kendati sudah sukses, Wisnu masih tetap ingin membesarkan usahanya tersebut. Salah satu keinginannya adalah membuka gerai di luar Kota Batam, termasuk Jakarta. 

Selain untuk bisnis, gerai tersebut diharapkan bisa ikut mempromosikan Batam. "Cita-cita sih ingin membuka gerai di Jakarta, rencananya di tahun ini," ucapnya.
Ia juga mengaku, sudah banyak pihak yang memintanya menawarkan kerja sama waralaba. Namun, ia belum mau memenuhi permintaan tersebut. "Kalau business opportunity mungkin masih bisa ya," katanya ayah dari dua orang anak ini.  


Sumber:(Eka Saputra/Kontan)




Pierre Sukses Berbisnis Pendidikan di Usia Muda

Passion merupakan motor terbesar Pierre Senjaya dalam membesarkan bisnisnya di dunia pendidikan. Didikan orang tua yang selalu memprioritaskan pendidikan membuat Pierre menikmati aktivitasnya di bisnis sekolah dan konsultan pendidikan.

Bisnis pendidikan merupakan salah lini usaha yang potensial dikembangkan di Tanah Air. Tengok saja kisah Pierre Senjaya yang sukses berbisnis pendidikan lewat jaringan sekolah Stella Maris.

Stella Maris merupakan sekolah pendidikan formal yang mengelola taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA). Saat ini, Stella Maris memiliki dua sekolah milik sendiri dan dua sekolah milik terwaralaba. Tahun 2011, omzet bisnis sekolah ini mencapai sekitar Rp 100 miliar.

Pierre yang kini menjabat sebagai Direktur Stella Maris International Education memang bukan pendiri Stella Maris. Dia adalah penerus dari usaha yang didirikan oleh sang ibu, Strella. Meski hanya penerus, bukan berarti Pierre tidak terlibat saat Stella Maris berdiri. Bahkan di tangannya, Stella Maris terus berkembang dan memiliki beberapa cabang. Ia pula yang membuka kerja sama waralaba.

Selain mengembangkan sekolah formal, Pierre juga membuka bisnis pendidikan di bidang pembentukan karakter, pendidikan karier, dan bisnis konsultan pendidikan di bawah bendera Asia One Consulting dan Success Academy Indonesia. “Sekolah yang datang untuk berkonsultasi sudah cukup banyak. Dari 2010 hingga sekarang, sudah ada 20 sekolah,” ujar pria kelahiran Jakarta, 1 September 1979 ini.

Pierre bercerita, cikal bakal Stella Maris adalah keprihatinan terhadap anak-anak panti asuhan Padang Gembala milik ibunya yang tidak memiliki sekolah standar. Akhirnya, sang ibu membuka sekolah Stella Maris pada tahun 1995 di kawasan Serpong. Ia memulai dengan dua ruko. “Kami membuka untuk umum, selain untuk anak panti sendiri,” ujar suami Susan Angela ini. Kelas yang dibuka adalah untuk TK dan SD.

Saat sekolah Stella Maris dibuka, Pierre masih duduk di sekolah menengah atas (SMA). Meski sebagai pelajar, dia sempat berkeliling menyebarkan brosur dan memasang spanduk Stella Maris di pasar hingga ke pusat perbelanjaan. “Selama enam bulan kami berpromosi secara tradisional. Syukur, respons cukup bagus. Kami mendapat 200 murid,” kenangnya. Setelah itu, sekolah terus berkembang, dari dua ruko menjadi empat ruko, bahkan sampai delapan ruko pada tahun 1999. Jenjang pendidikannya juga bertambah, ada SMP dan SMA.

Saat kuliah di Universitas Bina Nusantara jurusan akuntansi, Pierre diserahi tanggung jawab mengelola keuangan dan administrasi Stella Maris. “Saya padatkan kuliah menjadi empat hari seminggu supaya bisa mengurus Stella Maris,” ujar anak kedua dari dua bersaudara ini. Ia juga diserahi tugas membenahi sistem teknologi informasi untuk memudahkan laporan keuangan dan administrasi.

Setelah lulus kuliah pada tahun 2001, sembari menjalankan pengelolaan Stella Maris, Pierre menjadi programmer di Bank Lippo. “Saya ingin mencari pengalaman lain,” dalihnya. Ia juga melanjutkan kuliah S-2 di Universitas Pelita Harapan dengan mengambil jurusan Teknologi Pendidikan. Di Bank Lippo, Pierre hanya bertahan setahun, dan kemudian pindah ke PT Rimba Dana sebagai system analyst selama setahun. Setelah itu, ia terlibat total di pengelolaan Stella Maris.

Kurang modal

Stella Maris maju semakin pesat. Tahun 2004, sekolah itu menerapkan sertifikasi ISO 9001: 2000. Setelah studi banding sekolah di Singapura dan Australia, Pierre lantas mengadopsi kurikulum International Baccalaureate (IB) dan kurikulum Cambridge yang menitikberatkan pada kemampuan akademik. Jumlah siswanya pun terus bertambah menjadi sekitar 2.500 siswa.

Sukses di sekolah reguler, Pierre mulai merintis sekolah internasional. “Untuk mendirikan sekolah ini, kami butuh modal puluhan miliar rupiah, cash flow kami tentu tidak mencukupi,” kenangnya. Dia mencoba mencari pinjaman ke bank. Tapi, dua bank menolak proposal pengajuan kredit.

Alhasil, Pierre mulai mempelajari secara detail proposal kredit. Dia mencari tahu kriteria bisnis model seperti apa yang bisa meyakinkan bank. Berkat cara ini, dia berhasil mendapatkan utang dari salah satu bank swasta nasional. “Mereka melihat arus keuangan kami sehat dan penambahan jumlah murid pesat,” katanya.

Pierre juga sempat menghadapi sengketa dengan warga di sekitar lahan yang bakal dibangun sekolah internasional di Summarecon Serpong. “Hanya karena kesalahpahaman, mereka mendemo. Tapi, syukur, itu bisa diatasi,” ujarnya. Tahun 2006, dia membuka sekolah internasional Stella Maris.

Kesuksesan Stella Maris di bisnis pendidikan membuat banyak pihak tertarik. “Beberapa ingin membuka cabang, tapi kami belum siap. Tahun 2009, kami baru berani menawarkan waralaba,” ujar Pierre. Saat ini, ia menargetkan menambah lima cabang setiap tahun.

Selain berbisnis pendidikan, Pierre juga mempunyai bisnis pribadi, yaitu jasa leasing sepeda motor besar dan penjualan vila mewah di Bali.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html


Sumber: (Fransiska Firlana/Kontan)



Kuli Bangunan yang Kini Bos Produk Salon Mobil

Fitriyanto hanya lulusan SMA. Tapi, berkat tekad yang diiringi dengan usaha keras, ia sukses menjadi produsen perawatan mobil merek Autofit. Pemilik PT Vitechindo Perkasa ini mampu membikin produk yang bisa bersaing dengan merek terkenal.

Hidup ini bagi Fitriyanto benar-benar sebuah perjuangan. Ia lahir dari keluarga sederhana, kalau tidak disebut miskin. Ayahnya hanya seorang tukang kayu. Tapi, dengan tekad yang bulat dan usaha yang kuat, Fitriyanto mampu menjadi seorang pengusaha produk perawatan mobil yang terbilang sukses.

PT Vitechindo Perkasa, perusahaan milik Fitriyanto, berhasil memasok produknya ke bengkel resmi milik agen tunggal pemegang merek (ATPM) besar, seperti Toyota, Daihatsu, Isuzu, Honda, Nissan, Hyundai, Suzuki, Kia, dan Mazda. Bisnis ini menghasilkan omzet Rp 8 miliar per tahun.

Label merek produk buatan Fitriyanto adalah Autofit. Saat ini, ada 20 produk merek Autofit yang sudah diproduksi, antara lain produk sampo, semir ban, pelumas, pembersih evaporator, injection purge, cairan pembersih bahan bakar, pembersih blok mesin, pembersih karburator, dan pembersih ruang bakar mesin kendaraan.

Uniknya, untuk meracik Autofit, Fitriyanto sama sekali tidak memperdalam ilmu kimia secara formal. “Semua saya pelajari secara autodidak,” kata pria kelahiran Purbalingga, 10 November 1972 ini.

Ayahnya yang seorang tukang kayu tentu tak mampu menyekolahkannya tinggi-tinggi. Maka, ketika lulus SMA, pada tahun 1992, Fitriyanto langsung hijrah ke Jakarta. Anak bungsu dari lima bersaudara ini menjadi kuli bangunan.

Enam bulan menjadi kuli bangunan, Fitriyanto pindah menjadi tukang bantu-bantu di rumah Rachmat Gobel, kini Presiden Komisaris PT Panasonic Manufacturing Indonesia. Di rumah itulah ia ketemu dengan salah satu manajer Panasonic. “Saya ditawari kerja,” ujarnya. Ia lalu menjadi pegawai di Panasonic, divisi komponen, yang memproduksi semua speaker.

Di waktu senggang, Fitriyanto selalu meluangkan waktu untuk membaca buku kisah orang sukses. “Saya menghimpun tekad untuk menjadi orang sukses. Dari buku yang saya baca, orang sukses kebanyakan mengawali karier sebagai tenaga pemasaran (marketing),” kata suami Lihardiana ini.

Fitriyanto lantas hengkang dari Panasonic dan pada tahun 1995, ia menjadi tenaga pemasar di produsen minuman. “Saya mendapat upah Rp 75.000 per bulan, jauh lebih kecil ketimbang jadi kuli bangunan. Ketika jadi kuli, upah saya Rp 60.000 per minggu,” kata Fitriyanto yang akhirnya keluar setelah tiga bulan bekerja.

Lantaran bertekad jadi tenaga pemasar, Fitriyanto kembali masuk ke perusahaan cokelat selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke PT Prima Karya Gandareksa, perusahaan kimia. Ia tetap jadi tenaga pemasar, tetapi dengan gaji Rp 5 juta per bulan. “Saya banyak belajar tentang produk perawatan mobil di sini,” katanya. Lantaran kinerjanya bagus, perusahaan menugaskannya ke Bali. Tapi, ia memilih mundur lantaran tak ingin jauh dari keluarga. Selama setahun, ia beberapa kali pindah kerja di perusahaan kimia.

Fitriyanto akhirnya masuk ke perusahaan produk perawatan mobil dari Jerman. “Di perusahaan ini, saya suka memperhatikan para peracik produk. Saya pelajari, bahan apa saja yang diramu menjadi produk perawatan,” katanya.

Setiap Sabtu dan Minggu, dia pergi ke toko kimia untuk mempelajari bahan-bahan kimia yang bisa diramu menjadi produk perawatan mobil. Dia bertahan selama lima tahun di perusahaan itu sebelum akhirnya mengundurkan diri dengan posisi gaji terakhir Rp 24 juta per bulan. 

Pinjam uang ke bank

Pengalaman di perusahaan pembuatan produk perawatan mobil membuat Fitriyanto percaya diri untuk memulai usaha sendiri. “Sebagai tenaga pemasar, saya sudah memegang banyak pelanggan. Saya juga sudah bisa membuat produk sendiri,” katanya.

Dengan memanfaatkan bengkel sepeda motor di Cikeas, Bogor, yang didirikan saat masih bekerja, pada 2007, Fitriyanto memulai usaha produk perawatan mobil. “Saat itu, cuma ada satu montir dan tempatnya sangat sederhana,” kenangnya. Di bengkel itu, dia meracik bahan setelah memenangi tender pengadaan produk perawatan mobil dari salah satu bengkel mobil besar.

Lantaran tak punya modal, Fitriyanto mencari pinjaman bank sebesar Rp 25 juta. “Karena tidak ada agunan, modalnya hanya kepercayaan. Bank itu menjadi pelanggan di bengkel kami,” katanya.

Dari modal Rp 25 juta, ia bisa menghasilkan omzet Rp 80 juta. Tiga tahun berjalan, usahanya semakin besar. Dengan pinjaman bank yang lebih besar, dia membuka pabrik di daerah Cipayung, Jakarta Timur, dan mendirikan PT Vitechindo Perkasa.

Saat ini, Fitriyanto memiliki 35 karyawan dan sejak awal bulan Juni 2012, dia membuka lembaga kursus bahasa Inggris dan komputer. “Saya sendiri tak bisa mengoperasikan komputer,” katanya sambil tertawa. Ia juga membuka sekolah taman kanak-kanak sembari menjalankan usaha bengkelnya.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber: (Fransiska Firlana/Kontan)



Entri Populer