Passion merupakan motor terbesar Pierre Senjaya dalam
membesarkan bisnisnya di dunia pendidikan. Didikan orang tua yang selalu
memprioritaskan pendidikan membuat Pierre menikmati aktivitasnya di
bisnis sekolah dan konsultan pendidikan.
Bisnis pendidikan
merupakan salah lini usaha yang potensial dikembangkan di Tanah Air.
Tengok saja kisah Pierre Senjaya yang sukses berbisnis pendidikan lewat
jaringan sekolah Stella Maris.
Stella Maris merupakan sekolah
pendidikan formal yang mengelola taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah
menengah atas (SMA). Saat ini, Stella Maris memiliki dua sekolah milik
sendiri dan dua sekolah milik terwaralaba. Tahun 2011, omzet bisnis
sekolah ini mencapai sekitar Rp 100 miliar.
Pierre yang kini
menjabat sebagai Direktur Stella Maris International Education memang
bukan pendiri Stella Maris. Dia adalah penerus dari usaha yang didirikan
oleh sang ibu, Strella. Meski hanya penerus, bukan berarti Pierre
tidak terlibat saat Stella Maris berdiri. Bahkan di tangannya, Stella
Maris terus berkembang dan memiliki beberapa cabang. Ia pula yang
membuka kerja sama waralaba.
Selain mengembangkan sekolah
formal, Pierre juga membuka bisnis pendidikan di bidang pembentukan
karakter, pendidikan karier, dan bisnis konsultan pendidikan di bawah
bendera Asia One Consulting dan Success Academy Indonesia. “Sekolah
yang datang untuk berkonsultasi sudah cukup banyak. Dari 2010 hingga
sekarang, sudah ada 20 sekolah,” ujar pria kelahiran Jakarta, 1
September 1979 ini.
Pierre bercerita, cikal bakal Stella Maris
adalah keprihatinan terhadap anak-anak panti asuhan Padang Gembala
milik ibunya yang tidak memiliki sekolah standar. Akhirnya, sang ibu
membuka sekolah Stella Maris pada tahun 1995 di kawasan Serpong. Ia
memulai dengan dua ruko. “Kami membuka untuk umum, selain untuk anak
panti sendiri,” ujar suami Susan Angela ini. Kelas yang dibuka adalah
untuk TK dan SD.
Saat sekolah Stella Maris dibuka, Pierre masih
duduk di sekolah menengah atas (SMA). Meski sebagai pelajar, dia
sempat berkeliling menyebarkan brosur dan memasang spanduk Stella Maris
di pasar hingga ke pusat perbelanjaan. “Selama enam bulan kami
berpromosi secara tradisional. Syukur, respons cukup bagus. Kami
mendapat 200 murid,” kenangnya. Setelah itu, sekolah terus berkembang,
dari dua ruko menjadi empat ruko, bahkan sampai delapan ruko pada tahun
1999. Jenjang pendidikannya juga bertambah, ada SMP dan SMA.
Saat
kuliah di Universitas Bina Nusantara jurusan akuntansi, Pierre
diserahi tanggung jawab mengelola keuangan dan administrasi Stella
Maris. “Saya padatkan kuliah menjadi empat hari seminggu supaya bisa
mengurus Stella Maris,” ujar anak kedua dari dua bersaudara ini. Ia
juga diserahi tugas membenahi sistem teknologi informasi untuk
memudahkan laporan keuangan dan administrasi.
Setelah lulus
kuliah pada tahun 2001, sembari menjalankan pengelolaan Stella Maris,
Pierre menjadi programmer di Bank Lippo. “Saya ingin mencari pengalaman
lain,” dalihnya. Ia juga melanjutkan kuliah S-2 di Universitas Pelita
Harapan dengan mengambil jurusan Teknologi Pendidikan. Di Bank Lippo,
Pierre hanya bertahan setahun, dan kemudian pindah ke PT Rimba Dana
sebagai system analyst selama setahun. Setelah itu, ia terlibat total di pengelolaan Stella Maris.
Kurang modal
Stella
Maris maju semakin pesat. Tahun 2004, sekolah itu menerapkan
sertifikasi ISO 9001: 2000. Setelah studi banding sekolah di Singapura
dan Australia, Pierre lantas mengadopsi kurikulum International
Baccalaureate (IB) dan kurikulum Cambridge yang menitikberatkan pada
kemampuan akademik. Jumlah siswanya pun terus bertambah menjadi sekitar
2.500 siswa.
Sukses di sekolah reguler, Pierre mulai merintis
sekolah internasional. “Untuk mendirikan sekolah ini, kami butuh modal
puluhan miliar rupiah,
cash flow kami tentu tidak mencukupi,”
kenangnya. Dia mencoba mencari pinjaman ke bank. Tapi, dua bank menolak
proposal pengajuan kredit.
Alhasil, Pierre mulai mempelajari
secara detail proposal kredit. Dia mencari tahu kriteria bisnis model
seperti apa yang bisa meyakinkan bank. Berkat cara ini, dia berhasil
mendapatkan utang dari salah satu bank swasta nasional. “Mereka melihat
arus keuangan kami sehat dan penambahan jumlah murid pesat,” katanya.
Pierre
juga sempat menghadapi sengketa dengan warga di sekitar lahan yang
bakal dibangun sekolah internasional di Summarecon Serpong. “Hanya
karena kesalahpahaman, mereka mendemo. Tapi, syukur, itu bisa diatasi,”
ujarnya. Tahun 2006, dia membuka sekolah internasional Stella Maris.
Kesuksesan
Stella Maris di bisnis pendidikan membuat banyak pihak tertarik.
“Beberapa ingin membuka cabang, tapi kami belum siap. Tahun 2009, kami
baru berani menawarkan waralaba,” ujar Pierre. Saat ini, ia menargetkan
menambah lima cabang setiap tahun.
Selain berbisnis pendidikan, Pierre juga mempunyai bisnis pribadi, yaitu jasa
leasing sepeda motor besar dan penjualan vila mewah di Bali.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
Sumber: (Fransiska Firlana/Kontan)