Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia atau
APINDO menilai tenaga kerja outsourcing masih diperlukan. Apindo
berharap pihaknya bisa duduk bersama dengan Mahkamah Konstitusi dan
buruh agar keputusan itu tidak merugiakan siapapun.
"Jadi kita berharap dipanggil supaya bisa ditafsirkan secara tepat putusan itu," ujar Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi.
Sofyan menambahkan, pihaknya sedang mempelajari secara rinci putusan tersebut supaya tidak timbul salah pengertian. Dalam mengambil keputusan, ia mengimbau agar Mahkamah Konstitusi, pengusaha dan buruh bisa duduk bersama dalam menyikapi hal ini. Ia juga berpesan agar jangan sampai ada penafsiran secara politik dalam putusan ini.
Secara pribadi, Sofyan mengakui memang ada pengusaha ada outsourcing nakal yang sering menyalahi aturan seperti menahan gaji pekerja. Namun, ia menilai outsourcing masih sangat diperlukan terutama bagi perusahaan yang dalam situasi tertentu membutuhkan tenaga kerja temporer yang cukup banyak.
"Masalah memang ada, tapi tetap diperlukan karena di seluruh dunia ada outsourcing," tegasnya.
Sekali lagi Sofyan menegaskan, keberadaan tenaga kerja outsourcing masih sangat dibutuhkan. Jika tidak ada outsourcing, menurut Sofyan hal itu akan berimbas pada melesatnya jumlah pengangguran.
Untuk itu, Sofyan menyatakan perlu melihat pelaksanaan teknisnya lebih dahulu. Ia menilai mahkamah konstitusi baru melihat sebatas undang-undang saja yang tidak memperbolehkan adanya diskriminasi.
Ia mengaku sebenarnya tidak masalah jika memang harus menyetujui keputusan tersebut. Hanya saja, tegas Sofyan, keputusan itu justru akan banyak merugikan buruh. Ia berharap sesegera mungkin bisa mengajak mahkamah konstitusi, pengusaha, dan buruh untuk duduk bersama-sama agar tidak terjadi salah tafsir dalam putusan tersebut.
"Kalau memang harus ikut putusan kita ikut saja, tapi nanti kan buruh nggak bisa kerja, jadi tidak boleh ada yang dirugikan," imbuh Sofyan.Sebelumnya, MK memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Putusan ini dinilai memberi dampak positif pada pemenuhan hak-hak buruh.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hakhak pekerja.
Mahkamah menilai posisi buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja ini memberi implikasi jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh.
Mahkamah kemudian menentukan dua model bentuk perlindungan hak-hak pekerja, yaitu mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua,menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
(Sumber : detikcom)
"Jadi kita berharap dipanggil supaya bisa ditafsirkan secara tepat putusan itu," ujar Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi.
Sofyan menambahkan, pihaknya sedang mempelajari secara rinci putusan tersebut supaya tidak timbul salah pengertian. Dalam mengambil keputusan, ia mengimbau agar Mahkamah Konstitusi, pengusaha dan buruh bisa duduk bersama dalam menyikapi hal ini. Ia juga berpesan agar jangan sampai ada penafsiran secara politik dalam putusan ini.
Secara pribadi, Sofyan mengakui memang ada pengusaha ada outsourcing nakal yang sering menyalahi aturan seperti menahan gaji pekerja. Namun, ia menilai outsourcing masih sangat diperlukan terutama bagi perusahaan yang dalam situasi tertentu membutuhkan tenaga kerja temporer yang cukup banyak.
"Masalah memang ada, tapi tetap diperlukan karena di seluruh dunia ada outsourcing," tegasnya.
Sekali lagi Sofyan menegaskan, keberadaan tenaga kerja outsourcing masih sangat dibutuhkan. Jika tidak ada outsourcing, menurut Sofyan hal itu akan berimbas pada melesatnya jumlah pengangguran.
Untuk itu, Sofyan menyatakan perlu melihat pelaksanaan teknisnya lebih dahulu. Ia menilai mahkamah konstitusi baru melihat sebatas undang-undang saja yang tidak memperbolehkan adanya diskriminasi.
Ia mengaku sebenarnya tidak masalah jika memang harus menyetujui keputusan tersebut. Hanya saja, tegas Sofyan, keputusan itu justru akan banyak merugikan buruh. Ia berharap sesegera mungkin bisa mengajak mahkamah konstitusi, pengusaha, dan buruh untuk duduk bersama-sama agar tidak terjadi salah tafsir dalam putusan tersebut.
"Kalau memang harus ikut putusan kita ikut saja, tapi nanti kan buruh nggak bisa kerja, jadi tidak boleh ada yang dirugikan," imbuh Sofyan.Sebelumnya, MK memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Putusan ini dinilai memberi dampak positif pada pemenuhan hak-hak buruh.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hakhak pekerja.
Mahkamah menilai posisi buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja ini memberi implikasi jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh.
Mahkamah kemudian menentukan dua model bentuk perlindungan hak-hak pekerja, yaitu mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua,menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
(Sumber : detikcom)