08/10/2011
Sushi Kaki Lima, Menyasar Anak Muda
Belakangan, hidangan khas Jepang ini memang sangat terkenal. Namun,
karena bahan-bahannya yang relatif susah dicari di Indonesia, harga
seporsi sushi pun melambung tinggi.Ide untuk membawa makanan
“premium” ini ke pinggir jalan tercetus oleh Endang (53) dan
keponakannya, Irawati (21). Juni 2010, mereka membuka Sushiko yang
menyediakan aneka menu sushi tradisional dan modern.
Uniknya, sushi
dijual di dalam mobil boks yang mangkal di jalan Raya Kalimalang Blok N
12 G, Jakarta Timur. Nama menunya pun mirip dengan menu sushi yang ada
di restoran sushi betulan. Seperti Rainbow, Dragon Fly, Kintaro, Salmon
Nigiri, Tuna Maki, Salmon Toast, Tobiko Gunkan. Sebagai pelengkap
disajikan pula ocha, teh hijau khas Jepang racikan sendiri.
Selain
karena hobi makan sushi bareng teman-teman di mal, Endang dan Irawati
memulai bisnis ini karena ditawari konsep "jual sushi ala mobil boks"
yang dimiliki seorang teman di Bandung. Mereka pun membeli konsep,
lengkap dengan pelatihan karyawan dan rekomendasi pemasok bahan baku.
Mobil boks dipilih karena dianggap praktis sebagai dapur sekaligus
fleksibel untuk mobilitas.
Dua bulan pertama setelah dirintis,
Sushiko belum berjalan sukses gara-gara hujan yang terus-terusan
mengguyur Jakarta. Dari situ justru mereka semakin tertantang
memodifikasi mobil agar jadi tempat jualan yang nyaman, tanpa
mengesampingkan unsur kebersihan dan cita rasa sushi.
“Jual sushi
tidak bisa sembarangan, tidak semua orang bisa membuatnya. Karena sushi
identik dengan makanan sehat, makanya harus higienis biar tetap laris,”
papar Endang. Endang dibantu tiga orang karyawan yang sudah dilatih
membuat sushi selama dua bulan. Semua karyawan juga tinggal di mess
khusus agar memudahkan pekerjaan setiap hari.
Disukai ABG
Konsumen
Sushiko didominasi anak muda. Ada juga ibu-ibu yang senang membawa
anak-anaknya makan sushi, dengan alasan lebih sehat. Namun, konsumen
terbesar Endang dan Ira adalah anak sekolah atau ABG. “Mereka sampai
hafal dengan menu dan harga sushi karena sering makan beramai-ramai
dengan temannya,” kata Endang.
Yang paling laku tentu menu
andalan, seperti Dragon Fly, Rainbow, Kintaro, dan Salmon Toast. Dengan
harga hanya Rp 10 ribu sampai Rp 29 ribu per porsi, aneka sushi ini
menawarkan rasa yang tak kalah lezat dibanding di restoran.
Agar
lebih mudah menjangkau target pasarnya, mobil boks sengaja ditempatkan
dekat area futsal, jajanan malam, dan kedai kopi yang selalu ramai
pengunjung. Mobil Sushiko biasa mangkal dari pukul 16.00 - 24.00.
Setelah
enam bulan berjalan dan mulai menunjukkan hasil positif, akhirnya
mereka menyewa tempat permanen seluas 4x6 meter dengan biaya Rp 2
juta/bulan. Tetapi, mobil boks yang menjadi ciri khas Sushiko tetap
ditempatkan di depan gerai. Mobil ini merangkap dapur sekaligus tempat
yang menampung segala perlengkapan seperti meja dan kursi.
Diakui
Endang, kepopuleran Sushiko sangat terbantu teknologi. Selain informasi
yang menyebar dari mulut ke mulut, pembeli Sushiko banyak pula yang
menggunakan Twitter dan Foursquare, untuk menginformasikan bahwa mereka
sedang makan di situ.
Meskipun kini belum balik modal, Endang dan
Ira mengaku sudah mampu menutup biaya operasional harian. Mereka juga
mengeruk keuntungan lebih dari 30 persen tiap bulannya. “Kalau modal,
paling utama di mobil boks, karena itu adalah aset paling penting
sewaktu membeli konsep yang kami terapkan di Sushiko.”
Open kitchen
Bagaimana
cara kedua ibu rumah tangga ini menekan biaya agar sushi yang dijual
terjangkau, namun rasanya tetap lezat? Apalagi harga bahan baku utama
seperti beras, ikan, dan wasabi tentu tak murah. Endang mengakui sejak
awal tidak memikirkan keuntungan, “Yang penting sushi ini dapat menarik
pelanggan, mereka tahu di sini ada sushi enak tapi harganya ‘miring’.
Meskipun murah, kami tetap memakai bahan-bahan berkualitas yang didapat
dari para supplier,” ungkapnya.
Setiap bulan, mereka
membeli dalam jumlah besar bahan baku yang dikirim oleh pemasok. Yang
paling utama antara lain, beras 50 kg, 5 ekor ikan salmon dan tuna, 8
bungkus nori (rumput laut), dan 25 bungkus kani (crab stick).
Meski
umurnya belum genap setahun, Sushiko kini sudah banyak menerima pesanan
untuk acara ulang tahun, arisan, atau acara-acara lainnya. Pemesanan
harus dilakukan dua hari sebelumnya dengan minimal order 50 porsi yang
akan diantar langsung ke alamat pemesan. Kadang ada juga pelanggan yang
menulis saran, yang minta disampaikan ke Endang dan Ira. Mereka berdua
juga rajin memantau setiap malam.
“Tugas kami berdua fleksibel,
kadang jadi PR untuk pelanggan yang makan di tempat kami. Kadang juga
membantu karyawan kalau lagi ramai, seperti cuci piring, antar menu,
pokoknya apa saja lah selama masih bisa dilakukan,” ujar Ira.
Ke
depan, lanjut Ira, mereka ingin menambah gerai lagi jika sudah menemukan
lokasi yang cocok. Untuk sementara, mobil boks tetap jadi andalan utama
untuk kemudahan mobilitas. Maksudnya, jika ada acara, bazar atau
pameran, jualan bisa pindah-pindah. “Tapi khusus yang di Kalimalang,
kami pilih punya gerai tetap. Lagipula tempatnya dekat dari rumah.”
Bagi
yang ingin memulai usaha sejenis, Ira memberikan saran, mesti berani
dan konsisten dalam menjalankan bisnis. Tak sekadar jualan tapi juga
rajin memantau dan terjun langsung. Jangan menyerah dengan berbagai
kendala dan terus berinovasi. Nantinya, mereka juga akan membuat open kitchen, supaya pelanggan yang penasaran bisa lihat langsung cara membuat sushi.“Sebagai
perempuan, kadang kami juga menggunakan insting dalam berbisnis. Yang
penting, berbisnis kuliner jangan sampai umurnya hanya sesaat,” saran
keduanya kompak.
Sumber : Harian Kontan