10/09/2011
Sampah Plastik Itu Kini Digemari Pembeli Asing
Berawal dari melihat sampah yang berserakan setelah terjadinya gempa
di Bantul, Yogyakarta, yang terjadi pada tahun 2007, Agustina Sunyi,
tergerak untuk mengolah barang yang tidak berguna itu menjadi berbagai
macam kerajinan yang menarik. "Saya baru mulai Juni 2009. Belum pernah
usaha sebelumnya. Pernah kerja sebagai karyawan di Gramedia," tutur
Agustina, pemilik dari usaha Kreasi Limbah Plastik "Sumber Rejeki"
kepada Kompas.com, dalam pameran kerajinan di Jakarta Convention Centre,
Senayan, beberapa waktu yang lalu.
Ia menyebutkan, awalnya hanya
sekadar iseng. Keisengannya ini pun akhirnya mampu dikembangkannya
melalui sebuah proses. Agustina yang juga merupakan kader gizi posyandu
di wilayahnya, bersama dengan kader yang lain, mengadakan kunjungan ke
tempat pengolahan sampah (TPS) pada 2008.
Di TPS itu, ada juga
pengolahan sampah yang menghasilkan berbagai produk kerajinan, di
antaranya tas yang dibuat dari bekas plastik-plastik kemasan produk.
"Saya beli tas (dari kemasan) Molto di tempat pengolahan sampah. Saya
pun tertarik untuk buat. Sayangnya, saya enggak bisa jahit," cerita dia.
Nah, meskipun ia tidak mampu menjahit, ia pun tidak putus asa.
Kemudian, ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk,
pertama, pilah-pilah sampah. Baru setahun kemudian, yaitu tahun 2009,
ia mempunyai niat untuk kursus menjahit. "Nyoba-nyoba belajar nyambung dulu, seperti buat produk taplak, yang mudah," ujarnya.
Akhirnya,
ia pun mengajak teman-temannya yang bisa menjahit. Ada tiga orang yang
membantunya untuk menjahit. Modal atau bahan bakunya pun didapatkan dari
mengumpulkan sampah dari rumah masing-masing. "Barang yang sudah
dibuat, saya pakai waktu ada pertemuan di kelurahan. Ya, pamer buatan
sendiri. Terus ada yang minta buatin," sebutnya sembari tertawa.
Alhasil,
ia pun mendapatkan kenalan untuk menjualkan produknya. "Akhirnya punya
semangat untuk nambah koleksi, seperti tempat tisu, dompet, dan
lainnya," tambahnya.Ia yang bertempat tinggal di Bantul ini,
akhirnya dapat memasarkan produknya sampai Jakarta. Pesanan pun terus
membanjir. Bahkan, karena usahanya yang semakin besar ini, ia diajak
pengurus di kecamatannya untuk pameran di Benteng Vredeburg, di
Yogyakarta pada Juni 2009.
Karena pameran tersebut, ia pun
menambah lagi produksinya. Bahan bakunya pun ia tambah dengan cara
membeli dari TPS. "Waktu pameran, ternyata ada penjual produk yang
sama. Tapi saya lebih laris, karena variasi produknya lebih banyak dan
saya kasih harga promosi," ujar ibu dari tiga anak ini.Dari
pameran itulah, mulai banyak pemesanan, bahkan konsumen yang berkunjung
langsung ke rumah untuk melihat proses produksinya. "Dari situ
berdatangan pembeli, termasuk buyer dari Jerman. Ada 18 item yang dibeli. Satu item dibeli dengan jumlah dua lusin," tambah dia.
Akhirnya,
ia pun menambah jumlah pekerjanya termasuk tenaga penjahit menjadi 20
orang. Tidak hanya itu, pembeli pun banyak memberikan ide untuk menambah
kreasi produknya. "Bahkan, ada sampel produk saya yang sudah dikirim
ke Kanada," ujar dia.Ada juga, lanjut dia, buyer yang
membeli sekitar 500 buah produk, tapi dia kurang tahu akan dijual ke
negara mana. Sekalipun menambah jumlah pekerja, ibu ini pun tidak
tinggal diam. "Saya harus buat juga. Saya harus bisa," imbuhnya.
Memang,
ia yang enggan menyebutkan detail berapa hasil penjualannya ini hanya
berujar pendapatannya pasang surut. Penghasilannya besar jika ada
pameran atau pesanan partai besar.Kini, usahanya pun berhasil
menarik perhatian para mahasiswa untuk belajar mengelola sampah. Rumah
usahanya pun pernah dikunjungi oleh mahasiswa dari Universitas Tulang
Bawang, Lampung. Dengan pekerjaannya ini, ia berhasil membantu suami
untuk menyekolahkan anaknya yang kini telah menginjak perguruan tinggi
dan sekolah menengah atas. Bahkan, ia pun telah membuat buku panduan
untuk mengolah produk buangan, dan sering diajak untuk memberikan
pelatihan.
Sumber : Harian Kontan / Kompas