>>>> Akselerasi Penyaluran Kredit UMKM
Yudi Ali Marsyahid, Pemerhati Kebijakan Publik
Derasnya penyaluran kredit kepada dunia usaha ternyata belum banyak berpengaruh pada peningkatan aksesibilitas pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pada layanan perbankan. Menurut data bank sentral, hingga akhir tahun 2010, lebih dari 50% pengusaha UMKM belum tersentuh layanan perbankan. Data ini seirama dengan hasil penelitian Bank Dunia yang menyatakan jika 60% pengusaha UMKM di Indonesia belum memperoleh layanan perbankan.
Inisiasi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga belum cukup memberikan kesempatan pengusaha mikro untuk mendapatkan fasilitas kredit. Justru akselerasi penyaluran KUR kian rendah setiap tahun meskipun total penyaluran kredit meningkat Terbukti dari berkurangnya jumlah penerima program KUR tahun 2010 dibanding tahun 2008.
Tahun tersebut, jumlah penerima fasilitas KUR hanya 1,4 juta debitur atau turun 11,4% dibanding tahun 2008 yang mencapai 1,56 juta debitur. Padahal realisasi penyaluran KUR tahun 2010 mencapai Rp 17,23 triliun, lebih tinggi 49,8% dibanding penyaluran KUR dua tahun sebelumnya yang sebesar Rp 11,5 triliun. Rata-rata realisasi fasilitas KUR yang diterima setiap debitur naik dari Rp 7,37 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 12,3 juta pada tahun 2010.
Sementara jumlah nasabah KUR selama lima bulan pertama tahun 2011 mencapai 717.818 debitur dengan total penyaluran kredit mencapai lebih dari Rp 11 triliun atau 55% dari jumlah yang ditargetkan sebesar Rp 20 triliun. Sehingga rata-rata fasilitas KUR yang diterima setiap debitur pada periode Januari hingga mei 2011 lebih tinggi dari tahun 2010 menjadi Rp 15,34 juta.
Meningkatnya rata-rata penyaluran kredit usaha rakyat per nasabah setiap tahunnya tanpa diiringi dengan pertambahan jumlah penerima fasilitas KUR yang sebanding menunjukkan jika daya jangkau (coverage) penyaluran KUR belum optimal. Realisasi KLIR justru makin terfokus pada sektor usaha tertentu yang secara bisnis berisiko rendah tapi berkontribusi minim pada ketahanan ekonomi nasional, seperti sektor jasa dan perdagangan. Sementara sektor usaha yang berkontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi nasional dan lebih membutuhkan bantuan permodalan, seperti pertanian dan perkebunan, justru makin ditinggalkan.
Sedangkan wilayah penyaluran kredit juga kian tersentral di Pulau Jawa dan kota-kota besar. Celakanya, improvisasipeyaluran KUR yang dilakukan pemerintah belakangan ini kian mengaburkan tujuan awal peluncuran program KUR. Seperti gagasan pemberian KUR pada calon TKI serta penggunaan KLIR untuk pembangunan pasar tradisional. Meskipun program ini tidak jelek, tapi tujuan penyaluran KUR makin tidak jelas kecuali hanya mengejar total nominal penyaluran kredit saja
Peran BPR
Penyaluran kredit modal mikro yang tidak tepat sasaran akan membuat perkembangan UMKM terhambat. Padahal saat ini UMKM dituntut dapat berkembang dan memiliki daya saing kuat karena produk impor kian gencar menyerbu pasar domestik. Sisi lain pemberlakuan pasar bebas ASEAN juga semakin dekat Solusi yang kreatif dan jitu harus secepatnya ditemukan agar kredit modal mikro dapat disalurkan dengan tepat danoptimal sehingga permodalan tidak lagi menjadi kendala bagi perkembangan UMKM.
Menurut penulis ada beberapa hal yang harus secepatnya diperbaiki agar perbankan lebih optimal menyalurkan kredit kepada LMKM, yaitu persepsi perbankan atas tingkat resiko UMKM dan daya jangkau perbankan terhadap calon nasabah di daerah. Tingginya persepsi resiko perbankan terhadap kelangsungan bisnis LIMKM menimbulkan beberapa masalah, yaitu penyaluran kredit terbatas hanya pada debitur bankable, penyaluran kredit terfokus pada sektor non tradable yang minim resiko, pengetatan persyaratankredit formal perbankan dan tingginya tingkat premi risiko yang harus ditanggung nasabah.
Yudi Ali Marsyahid, Pemerhati Kebijakan Publik
Derasnya penyaluran kredit kepada dunia usaha ternyata belum banyak berpengaruh pada peningkatan aksesibilitas pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pada layanan perbankan. Menurut data bank sentral, hingga akhir tahun 2010, lebih dari 50% pengusaha UMKM belum tersentuh layanan perbankan. Data ini seirama dengan hasil penelitian Bank Dunia yang menyatakan jika 60% pengusaha UMKM di Indonesia belum memperoleh layanan perbankan.
Inisiasi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga belum cukup memberikan kesempatan pengusaha mikro untuk mendapatkan fasilitas kredit. Justru akselerasi penyaluran KUR kian rendah setiap tahun meskipun total penyaluran kredit meningkat Terbukti dari berkurangnya jumlah penerima program KUR tahun 2010 dibanding tahun 2008.
Tahun tersebut, jumlah penerima fasilitas KUR hanya 1,4 juta debitur atau turun 11,4% dibanding tahun 2008 yang mencapai 1,56 juta debitur. Padahal realisasi penyaluran KUR tahun 2010 mencapai Rp 17,23 triliun, lebih tinggi 49,8% dibanding penyaluran KUR dua tahun sebelumnya yang sebesar Rp 11,5 triliun. Rata-rata realisasi fasilitas KUR yang diterima setiap debitur naik dari Rp 7,37 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 12,3 juta pada tahun 2010.
Sementara jumlah nasabah KUR selama lima bulan pertama tahun 2011 mencapai 717.818 debitur dengan total penyaluran kredit mencapai lebih dari Rp 11 triliun atau 55% dari jumlah yang ditargetkan sebesar Rp 20 triliun. Sehingga rata-rata fasilitas KUR yang diterima setiap debitur pada periode Januari hingga mei 2011 lebih tinggi dari tahun 2010 menjadi Rp 15,34 juta.
Meningkatnya rata-rata penyaluran kredit usaha rakyat per nasabah setiap tahunnya tanpa diiringi dengan pertambahan jumlah penerima fasilitas KUR yang sebanding menunjukkan jika daya jangkau (coverage) penyaluran KUR belum optimal. Realisasi KLIR justru makin terfokus pada sektor usaha tertentu yang secara bisnis berisiko rendah tapi berkontribusi minim pada ketahanan ekonomi nasional, seperti sektor jasa dan perdagangan. Sementara sektor usaha yang berkontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi nasional dan lebih membutuhkan bantuan permodalan, seperti pertanian dan perkebunan, justru makin ditinggalkan.
Sedangkan wilayah penyaluran kredit juga kian tersentral di Pulau Jawa dan kota-kota besar. Celakanya, improvisasipeyaluran KUR yang dilakukan pemerintah belakangan ini kian mengaburkan tujuan awal peluncuran program KUR. Seperti gagasan pemberian KUR pada calon TKI serta penggunaan KLIR untuk pembangunan pasar tradisional. Meskipun program ini tidak jelek, tapi tujuan penyaluran KUR makin tidak jelas kecuali hanya mengejar total nominal penyaluran kredit saja
Peran BPR
Penyaluran kredit modal mikro yang tidak tepat sasaran akan membuat perkembangan UMKM terhambat. Padahal saat ini UMKM dituntut dapat berkembang dan memiliki daya saing kuat karena produk impor kian gencar menyerbu pasar domestik. Sisi lain pemberlakuan pasar bebas ASEAN juga semakin dekat Solusi yang kreatif dan jitu harus secepatnya ditemukan agar kredit modal mikro dapat disalurkan dengan tepat danoptimal sehingga permodalan tidak lagi menjadi kendala bagi perkembangan UMKM.
Menurut penulis ada beberapa hal yang harus secepatnya diperbaiki agar perbankan lebih optimal menyalurkan kredit kepada LMKM, yaitu persepsi perbankan atas tingkat resiko UMKM dan daya jangkau perbankan terhadap calon nasabah di daerah. Tingginya persepsi resiko perbankan terhadap kelangsungan bisnis LIMKM menimbulkan beberapa masalah, yaitu penyaluran kredit terbatas hanya pada debitur bankable, penyaluran kredit terfokus pada sektor non tradable yang minim resiko, pengetatan persyaratankredit formal perbankan dan tingginya tingkat premi risiko yang harus ditanggung nasabah.
Sementara keterbatasan daya jangkau perbankan menyebabkan penyaluran kredit tidak merata dan tersentral di Jawa dan kota-kota besar saja. Guna mengatasi permasalahan di atas hendaknya pemerintah bersama bank sentra] dapat bekerja sama mengoptimalkan peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Ada beberapa alasan mengapa BPR harus digandeng dalam peningkatan penyaluran kredit UMKM. Pertama, jumlah BPR per Maret 2011 tercatat sebanyak 1.679 unit yang tersebar luas sampai ke pelosok dan banyak berkembang di sentra-sentra ekonomi rakyat, seperti pasar tradisional, sehingga lebih mudah menjangkau nasabah mikro.
Kedua, BPR lebih mengetahui karakteristik pengusaha mikro di daerah sehingga berani memberikan pinjaman tanpa agunan, mampu menciptakan prosedur kredit yang sederhana, dapat melakukan proses persetujuan kredit yang cepat dan lebih fleksibel dalam menerima pembayaran angsuran, baik secara harian, mingguan atau bulanan.
Meskipun memiliki kelebihan, BPR juga memiliki kelemahan. Misalnya, rendahnya kepercayaan masyarakat kepada BPR. Hal ini membuat BPR harus memberikan suku bunga simpanan yang tinggi agar masyarakat bersedia menyimpan di BPR. Akibatnya cost of fund menjadi tinggi dan suku bunga pinjaman yang ditawarkan kepada calon debitur menjadi tidak menarik. Akibatnya BPR sering kalah bersaing dengan bank umum nasional dalam penyaluran kredit mikro.
Oleh karena itu penting kiranya diciptakan skema kerja sama yang saling menguntungkan antara BPR dan bank umum. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing bisa diinisiasi sebuah sinergi dalam mengoptimalkan penyaluran kredit modal mikro, salah satunya melalui pola kerja sama linkage program.
Dengan linkage program, setidaknya ada tiga manfaat yang bisa diperoleh; pertama, bank tidak perlu mendirikan cabang hingga ke pelosok daerah. Hal ini akan membantu bank menciptakan efisiensi sehingga bunga kredit yang dibebankan kepada debitur bisa lebih ringan. Kedua, profil risiko debitur lebih diketahui oleh BPR Hal ini dapat mengurangi potensi terjadinya kredit macet sehingga premi risiko dapat ditekan dan bunga kredit bisa menjadi lebih rendah. Ketiga, mendorong terciptanya segmentasi dan spesialisasi pelayanan kepada nasabah di daerah. Hal ini akan mendorong terjadinya sinergi yang saling menguntungkan antara BPR dan bank umum sehingga kompetisi yang saling membunuh dapat dihindari.
Kedua, BPR lebih mengetahui karakteristik pengusaha mikro di daerah sehingga berani memberikan pinjaman tanpa agunan, mampu menciptakan prosedur kredit yang sederhana, dapat melakukan proses persetujuan kredit yang cepat dan lebih fleksibel dalam menerima pembayaran angsuran, baik secara harian, mingguan atau bulanan.
Meskipun memiliki kelebihan, BPR juga memiliki kelemahan. Misalnya, rendahnya kepercayaan masyarakat kepada BPR. Hal ini membuat BPR harus memberikan suku bunga simpanan yang tinggi agar masyarakat bersedia menyimpan di BPR. Akibatnya cost of fund menjadi tinggi dan suku bunga pinjaman yang ditawarkan kepada calon debitur menjadi tidak menarik. Akibatnya BPR sering kalah bersaing dengan bank umum nasional dalam penyaluran kredit mikro.
Oleh karena itu penting kiranya diciptakan skema kerja sama yang saling menguntungkan antara BPR dan bank umum. Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing bisa diinisiasi sebuah sinergi dalam mengoptimalkan penyaluran kredit modal mikro, salah satunya melalui pola kerja sama linkage program.
Dengan linkage program, setidaknya ada tiga manfaat yang bisa diperoleh; pertama, bank tidak perlu mendirikan cabang hingga ke pelosok daerah. Hal ini akan membantu bank menciptakan efisiensi sehingga bunga kredit yang dibebankan kepada debitur bisa lebih ringan. Kedua, profil risiko debitur lebih diketahui oleh BPR Hal ini dapat mengurangi potensi terjadinya kredit macet sehingga premi risiko dapat ditekan dan bunga kredit bisa menjadi lebih rendah. Ketiga, mendorong terciptanya segmentasi dan spesialisasi pelayanan kepada nasabah di daerah. Hal ini akan mendorong terjadinya sinergi yang saling menguntungkan antara BPR dan bank umum sehingga kompetisi yang saling membunuh dapat dihindari.
Sumber : Harian Kontan