" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Ubah Limbah Plastik Jadi Cantik

Ubah Limbah Plastik Jadi Cantik


>>>>>> INSPIRATIF BISNIS>>>>

Dengan memberdayakan para perempuan manula di lingkungan rumahnya, Slamet Riyadi "menyulap" limbah plastik berlapiskan alumunium foil menjadi barang fungsional. Tapi kini dia kesulitan mencari bahan baku dari para produsen.

NERACA. Mencari nama Slamet Riyadi dikawasan gang Kemuning, Sudimara Pinang, Tangerang, Banten terbilang Mudah. Di ujung gang, orang-orang dengan senang hati memberi arah dimana rumah bapak beranak empat itu berada. Maklum, sejak ia rajin mengikuti beberapa pameran, kiprahnya sebagai perajin produk berbahan baku limbah yang memberdayakan para perempuan lanjut usia (lansia) mulai dilansir berbagai media.

Namun, ramainya pemberitaan itu justru seperti bumerang baginya. Pasalnya, ia jadi kesulitan mencari pemasok limbah plastik atau alumunium foil yang jadi bahan baku utama produknya."Nama Lumintu memang jadi terkenal. Tapi, gara-gara itu saya sekarang agak sulit. Banyak orang yang memanfaatkan limbah itu seperti kami. Kalau pun ada, harganya jadi naik. Ini mengganggu proses produksi kami," papar Slamet, pemilik usaha pemanfaatan limbah plastik dan alumunium foil "Lumintu".

Beruntung, sampai saat ini dirinya mendapatkan pasokan tetap aluminuim foil bekas pembungkus tube pasta gigi dari salah satu produsen pasta gigi. "Produsen ini menjadi pemasok tetap saya sejak tahun 2000 lalu. Dulu, sebelum kami memakai limbahnya, mereka terlebih dahulu melakukan survei ke kami tentang bagaimana limbah itu kami manfaatkan. Bahkan, produk kami mereka jadikan promosi contoh pemanfaatan limbah," terang pria kelahiran Cirebon, 21 September 1951 ini.

Bahan baku ini, sambung Slamet, sangat lentur, elastis, fleksibel, mudah dibentuk,dan warnanya indah. Tidak memerlukan tambahan warna lain jika diolah menjadi produk jadi. Sampah sejenis itu, awalnya tidak mempunyai nilai jual, sehingga pemulung ataupun pengepul enggan mengumpulkannya. Dalam satu bulan, setidaknya Lumintu memerlukan 1 ton limbah untuk memproduksi aneka produk fungsional, seperti tas, tikar, sajadah dan sebagainya.

Dengan bahan baku sebanyak itu, Lumintu bisa memproduksi 400-600 jenis produk. "Karena ini handmade, apalagi yang menganyamnya kebanyakan para perempuan lanjut usia, kami tahu diri kalau ada yang memesan lebih dari segitu, kami belum sanggup," kata Slamet yang mengaku sempat mendapat banyak pesanan dari perusahaan sebagai program corporate social responsibility (CSR).

Sebagai perajin produk limbah, Slamet saat ini dibantu oleh 75 penganyam yang separuhnya (30 orang) kebanyakan para manula. Seseorang diantaranya bahkan sudah berumur 96 tahun. Mereka adalah para tetangga sekitar Slamet yang dulunya punya pekerjaan utama sebagai perajin tikar dari pandan duri. Karena bahan bakunya sudah sulit didapatkan, para perajin yang sudah punya keterampilan turun temurun itu tak punya pekerjaan lagi.

"Secara tidak langsung saya membantu mereka tetap sehat di usia tua. Dengan menganyam, motorik mereka jalan sehingga mencegah kepikunan. Mereka saya bayar borongan yang upahnya beragam. Rata-rata Rp.50 ribu- Rp.150 ribu perminggu," papar Slamet yang menjual produk tasnya seharga Rp.40ribu-Rp.80 ribu.

Para perajin tadi memang sebatas menganyam saja. Proses selanjutnya, seperti membuat menjadi aneka tas, tikar dan sajadah dikerjakan oleh seorang penjahit mitra Slamet yang juga tetangga rumahnya. Proses penyiapan bahan baku dikerjakan sendiri oleh Slamet dibantu satu pekerja secara manual.

Bahan aluminum foil yang tidak lolos standar kualitas, yang dibuang pabrik dibeli Slamet. Ia membelinya dengan klasifikasi-klasifikasi tertentu seperti, lembaran tersebut mempunyai lebar tujuh sentimeter, dan panjang setengah sampai enam meter. Bahan-bahan yang dibeli ini kemudian dibelah-belah dan dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki. Proses sambung dan sisir agar sesuai panjang yang dikehendaki juga dikerjakan secara sederhana, yaitu metode press dengan diisolasi dan dipanaskan. Bahan itu yang selanjutnyadidistribusikan kepada lansia untuk dianyam.

Awal Mula Usaha

Menjadi perajin produk limbah seperti sekarang ini awalnya memang bukan cita-cita Slamet. Meski mengaku sudah mempunyai bakat menjadi perajin sejak masa mudanya. Titik balik menjadi perajin sungguhan justru didapat setelah dia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai teknisi sebuah SPBU di Jakarta tahun 1996 silam.

Dari pesangon yang didapat, sebagian dia pakai untuk membeli lahan yang menjadi rumahnya saat ini. Rp.500 ribu dia pakai sebagai modal awal menjadi wiraswasta, perajin cindera mata berbahan baku limbah plastik. "Pertama, karena dari muda saya sudah punya bakat membuat kerajinan. Kedua, pilihan daur ulang limbah karena ketika itu belum banyak pemainnya. Kalau pun ada orang yang membuat, bentuknya masih sederhana. Saya ingin membuat nilai lebih sebuah plastik atau wadah plastik bekas menjadi barang yang mempunyai nilai lebih," jawab pria yang mengaku hanya lulusan SMA ini.

Bekerja sendirian di rumah, Slamet awalnya membuat aneka kerajinan dari bahan alumunium foil, botol bekas, wadah plastik bekas untuk dijadikan perahu, bunga dan aneka kerajinan lainnya. Bahan baku itu dia dapatkan dari para pengepul dan buangan pabrik, yang kesemuanya didapat secara gratis alias tidak membeli. Dia lalu menjualnya di area Stadion Utama Senayan, Jakarta setiap Minggu. Maklum, di area yang setiap Minggu jadi ajang olahraga warga Jakarta itu, para pedagang aneka rupa hadir di sana. Cukup membayar uang kebersihan dan keamanan yang relatif murah, Slamet bisaberjualan saban Minggu di sana.

Suatu saat, produk hasil kerajinan tangannya menarik seorang pengunjung yang kebetulan bekerja di BPPT. Kebetulan juga di tempatnya bekerja dia menangani produk-produk daur ulang. Singkat cerita, Slamet diajaknya bekerja sama dan diikut sertakan dalam setiap evenr atau pameran tentang lingkungan. Sejak saat itu, nama Slamet dan produknya dikenal luas. Dirinya mulai kebanjiran order. Tak mau menikmati kentungan sendiri, Slamet mulai mengajak masyarakat sekitar yang kebetulan punya keterampilan menganyam, memanfaatkan limbah plastik pabrik menjadi aneka kerajinan.

Menjadi Tutor Pembicara

Seiring berjalannya waktu, usaha Slamet tak hanya dikenal masayarakat sekitar, tapi juga para pemerhati lingkungan dan perusahaan-perusahaan yang peduli terhadap lingkungan, termasuk produsen produk consumer goods yang limbah/ wadah bekasnya banyak dimanfaatkan menjadi barang fungsional. Tak sedikit yang menawarkan kerjasama dan menjanjikan menjadi mitra binaan. Sebagian bahkan cuma mengumbarjanji semata.

"Untungnya saya ini bukan tipe orang yang cepat putus asa atau gampang ngambek. Kalau ada yang mengajak kerjasama dan itu bisa diwujudkan, kami bersyukur. Kerjasama tidak berlanjut atau janji cuma sebatas janji, kami juga tetap bersyukur," kata Slamet yang kini kerap diundang sebagai tutor workshop dan pembicara pemanfaatan barang bekas dan pemberdayaan masyarakat di beberapa sekolah (dari TK sampai Perguruan Tinggi), BPPT, Kementerian Lingkungan Hidup serta perusahaan-perusahaan yang peduli lingkungan.

Salah satu apresiasi yang didapat dari kiprahnya selama ini, tahun 2007 silam Slamet diganjar sebagai Pemenang Pertama Danamon Award. Sebagai informasi, Danamon Award diberikan kepada para para individu, perusahaan dari berbagai skala, serta lembaga nirlaba yang menginspirasi dan secara konsisten melakukan kegiatan pemberdayaan bagi orang banyak serta membantu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dengan omzet sekitar Rp.8juta-Rp.12 juta sebulan, Slamet berharap dia bisa memperpanjang usaha serta mempunyai ruang pamer sendiri. Saat ini produknya memang sudah dipajang di toko cindera mata Alun-Alun di Grand Indonesia dan beberapa supermarket serta butik di Jakarta, namun itu lewat orang ketiga. "Seperti juga nama Lumintu yang bisa berarti terus menerus, bisa juga menjadi singkatan "Lumayan Untuk Menunggu Tutup Umur", begitu juga harapan kami," ujar Slamet menutup pembicaraan.

SUMBER : Harian Ekonomi Neraca


Entri Populer