>>>>>Tak Hanya Jual Kayu Valet batangan
Pedagang kayu bekas peti kemas di Lenteng Agung datang dari berbagai latar belakang. Mereka menempati lokasi usaha tidak secara gratis. Rata-rata pedagang harus membayar sebesar Rp 12,5 juta untuk sewa lapaknya. Tak hanya menjual kayu batangan, mereka juga menjual furnitur, seperti meja dan kursi.
PEDAGANG kayu palet atau jati belanda di Lenteng Agung, Jakarta memiliki latar belakang berbeda-beda. Bahkan, beberapa dari mereka dulunya berprofesi sebagai supir atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri Banyak juga darimereka yang melakoni usaha turun temurun, menggantikan saudara atau mengembangkan usaha orang tua.
Arham, salah seorang penjual kayu palet memulai usaha sejak 10 tahun lalu. Tak hanya sebagai tempat usaha, diajuga merombak tempat jualannya sebagai rumah hunian. "Saya sudah memboyong keluarga ke sini," katanya.
Walaupun luas lapak sangat sempit sekitar 6 m x 6 m, rata-rata pedagang di sana juga memanfaatkan lapaknya sebagai tempat hunian keluarga. Ruangan menjadi tambah sempit sebab sebagian tempat digunakan sebagai tempat penyimpanan kayu. Rata-rata tiap pedagang memiliki stok kayu palet sebanyak 3.000 batang dengan aneka ragam ukuran.
"Saya memulai usaha di sini dengan modal menjual tanah," kata Mudafir.
Mudafir yang saat ini berusia 30 tahun, dulunya adalah pedagang kaki lima. Ia memulai usaha penjualan kayu palet di Lenteng Agung pada tahun 2010 lalu. Selain pernah menjadi pedagangkaki lima, Mudafir juga pernah bekerja sebagai pedagang besi bekas.
Untuk bisa membuka usaha di sentra ini, rata-rata pedagang harus membayar Rp 12,5 juta Harga yang cukup tinggi untuk lokasi yang sempit dan berada persis di samping rel kereta api listrik (KRL).
Pedagang kayu jati belanda di Sentra Kayu Palet Lenteng Agung biasanya membuka lapak setiap hari dari pukul 7 pagi sampai 7 malam. Walaupun yang menutup kemungkinan ada pedagang yang membuka lapaknya lebih lama. "Kalau lagi ada banyak pesanan saya biasa lembur," kata Mudafir,
Kayu palet jati belanda adalah komoditas utama yang dijual di sentra ini. Kayu ini memiliki istilah lain yakni kiefer, oak atau pine. Di Indonesia jenis kayu jati belanda ini juga akrab disebut dengan kayu bekas peti kemas.
Jenis kayu ini banyak diminati sebagai balian baku pembuatan furnitur karena harganya relatif lebih murah jika dibandingkan denganjenis kayu yang lain. Kayu ini murah karena berasal dari bekas peti kemasan barang impor. Meski begitu, kayu jati-belanda bekas peti kemas memiliki kualitas yang cukup baik. Selain tingkat kekering-annya tinggi, kayu bekas peti kemas memiliki bobot yang ringan dan lebih tahan terhadap serbuan rayap.
Mudafir mengatakan, selain menjual kayu batangan, ia juga menjual aneka furnitur seperti meja, kursi, bufet, serta meja komputer yang terbuat dari kayu bekas peti kemas ini.
"Banyak pelanggan datang dari rumah yatim piatu," kaya Mat Tlpar, pedagang kayu palet sambil mengamplas meja belajar. Dalam sehari, Mat Tipar mampu merampungkan 15 meja keciL
Ia menawarkan meja ukuran 45 cm x 70 cm x 30 cm dengan harga Rp 100.000 per unit Harga ini untuk meja yang sudah di pernis. Sedangkan harga meja yang belum di pemis lebih murah, yakni sekitar Rp 80.000 perunit
Sumber: Harian Kontan
Pedagang kayu bekas peti kemas di Lenteng Agung datang dari berbagai latar belakang. Mereka menempati lokasi usaha tidak secara gratis. Rata-rata pedagang harus membayar sebesar Rp 12,5 juta untuk sewa lapaknya. Tak hanya menjual kayu batangan, mereka juga menjual furnitur, seperti meja dan kursi.
PEDAGANG kayu palet atau jati belanda di Lenteng Agung, Jakarta memiliki latar belakang berbeda-beda. Bahkan, beberapa dari mereka dulunya berprofesi sebagai supir atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri Banyak juga darimereka yang melakoni usaha turun temurun, menggantikan saudara atau mengembangkan usaha orang tua.
Arham, salah seorang penjual kayu palet memulai usaha sejak 10 tahun lalu. Tak hanya sebagai tempat usaha, diajuga merombak tempat jualannya sebagai rumah hunian. "Saya sudah memboyong keluarga ke sini," katanya.
Walaupun luas lapak sangat sempit sekitar 6 m x 6 m, rata-rata pedagang di sana juga memanfaatkan lapaknya sebagai tempat hunian keluarga. Ruangan menjadi tambah sempit sebab sebagian tempat digunakan sebagai tempat penyimpanan kayu. Rata-rata tiap pedagang memiliki stok kayu palet sebanyak 3.000 batang dengan aneka ragam ukuran.
"Saya memulai usaha di sini dengan modal menjual tanah," kata Mudafir.
Mudafir yang saat ini berusia 30 tahun, dulunya adalah pedagang kaki lima. Ia memulai usaha penjualan kayu palet di Lenteng Agung pada tahun 2010 lalu. Selain pernah menjadi pedagangkaki lima, Mudafir juga pernah bekerja sebagai pedagang besi bekas.
Untuk bisa membuka usaha di sentra ini, rata-rata pedagang harus membayar Rp 12,5 juta Harga yang cukup tinggi untuk lokasi yang sempit dan berada persis di samping rel kereta api listrik (KRL).
Pedagang kayu jati belanda di Sentra Kayu Palet Lenteng Agung biasanya membuka lapak setiap hari dari pukul 7 pagi sampai 7 malam. Walaupun yang menutup kemungkinan ada pedagang yang membuka lapaknya lebih lama. "Kalau lagi ada banyak pesanan saya biasa lembur," kata Mudafir,
Kayu palet jati belanda adalah komoditas utama yang dijual di sentra ini. Kayu ini memiliki istilah lain yakni kiefer, oak atau pine. Di Indonesia jenis kayu jati belanda ini juga akrab disebut dengan kayu bekas peti kemas.
Jenis kayu ini banyak diminati sebagai balian baku pembuatan furnitur karena harganya relatif lebih murah jika dibandingkan denganjenis kayu yang lain. Kayu ini murah karena berasal dari bekas peti kemasan barang impor. Meski begitu, kayu jati-belanda bekas peti kemas memiliki kualitas yang cukup baik. Selain tingkat kekering-annya tinggi, kayu bekas peti kemas memiliki bobot yang ringan dan lebih tahan terhadap serbuan rayap.
Mudafir mengatakan, selain menjual kayu batangan, ia juga menjual aneka furnitur seperti meja, kursi, bufet, serta meja komputer yang terbuat dari kayu bekas peti kemas ini.
"Banyak pelanggan datang dari rumah yatim piatu," kaya Mat Tlpar, pedagang kayu palet sambil mengamplas meja belajar. Dalam sehari, Mat Tipar mampu merampungkan 15 meja keciL
Ia menawarkan meja ukuran 45 cm x 70 cm x 30 cm dengan harga Rp 100.000 per unit Harga ini untuk meja yang sudah di pernis. Sedangkan harga meja yang belum di pemis lebih murah, yakni sekitar Rp 80.000 perunit
Sumber: Harian Kontan
Handoyo