>>>>>>>Nancy dan Bagteria yang Mewabah ke Dunia
Nancy Go tidak pernah membayangkan tas Bagteria rancangannya ditenteng para selebriti dunia, seperti Emma Thompson, Anggun, dan Putri Zara Phillips. Saking naksir berat, Paris Hilton rela membeli tas displai di New York Fashion Week.
Hanya sedikit produk hasil kreasi anak bangsa yang berhasil menembus pasar dunia. Salah satunya adalah tas berlabel Bagteria buatan Nancy Go. Di bawah bendera PT Metamorfosa Abadi, produk itu menembus pasar kelas atas di tingkat dunia.
Tas Bagteria hasil desain Nancy memang berbeda dan berkelas. Harga tas eksklusif dari bahan-bahan terpilih ini antara Rp 1 juta sampai puluhan juta rupiah. Kualitas produk tas tersebut lebih dikenal para selebriti dan sosialita dunia ketimbang di dalam negeri.
Kisah hidup Nancy tak ada yang istimewa. Wanita kelahiran 6 Januari 1963 ini lahir dan tinggal di Brasil sampai umur enam tahun, sebelum pindah ke Jakarta. Sejak SMP, ia hobi merajut, menyulam, dan menjahit. “Teman-teman mengatai saya seperti nenek-nenek,” ujarnya.
Selepas SMA, Nancy tidak langsung melanjutkan kuliah. Ia menghabiskan delapan tahun merawat sang ayah yang sakit stroke. Baru pada 1985, kecintaannya pada dunia desain, sulam, dan jahit tersalurkan setelah masuk Susan Budiardjo Fashion College jurusan desain fashion.
Naluri bisnisnya tumbuh ketika duduk di bangku kuliah. Saat pergi ke luar negeri, ia memborong jins, lantas dijual di berbagai bazaar dengan keuntungan berlipat. Tahun 1992, ia bekerja di perusahaan Inggris, Dotwell, sebagai merchandiser. Tahun 1998, ia menikah dan berhenti bekerja agar lebih punya banyak waktu buat keluarga.
Pada tahun 2000, berawal dari hobi merajut dan menyulam, Nancy iseng membuat tas yang dia labeli merek Bagteria. “Saya pilih nama itu karena lucu. Harapannya agar mewabah seperti bakteri,” kenangnya. Bermodalkan Rp 100 juta, bersama suaminya, Bert Ng, ia mendirikan PT Metamofosa Abadi, dan mempekerjakan lima karyawan.
Uniknya, tas itu tidak dipasarkan di dalam negeri. Nancy sadar, orang Indonesia masih memandang sebelah mata produk sendiri, apalagi yang berharga mahal. “Orang Indonesia memilih tas impor,” ujarnya.
Harga tas Bagteria mahal lantaran bahan dasarnya bukan sembarangan. Selain teknik sulam, renda, dan payet yang dijahit tangan, pernak-perniknya unik dan eksklusif. Sebut saja, kristal swarovski, sterling silver, gold platted, kulit ikan dari Islandia, kulit burung unta (ostrich), bahkan gading gajah purba (mammoth) yang sudah punah. “Saya dapat gading mammoth langsung dari Siberia, sebagai pengganti gading gajah,” ujar dia.
Awalnya, Nancy membidik Hongkong sebagai kiblat mode Asia. Ia keluar masuk toko menawarkan tas kreasinya. Suatu saat, Outpader Landtrover, pemilik salah satu toko, suka pada desain tasnya. Dia memborong 50 unit tas Bagteria. Tas itu ternyata laku keras dan jadi buah bibir kalangan atas Hongkong.
Sukses di Hongkong, Nancy langsung merambah Milan, Italia, masih dengan cara door to door. “Ternyata, selera orang Milan cocok dengan Bagteria,” ujarnya. Dalam setahun, tasnya disejajarkan dengan Louis Vuitton, Chanel, atau Prada.
Berbekal kesuksesan di Milan, Paris, dan negara Eropa lain, Nancy pun merambah pasar Amerika Serikat. Dia rajin ikut pameran, seperti Fashion Week dan Premiere.
Pada 2003, Nancy coba merambah pasar Jepang yang terkenal ketat soal kualitas barang. Setelah dua tahun, akhirnya ada importir yang mempercaya kualitas produk Nancy. Sekarang, Jepang menjadi negara Asia dengan permintaan Bagteria tertinggi.
Nancy makin percaya diri. Kini, sekitar 30 negara, termasuk Emirat Arab, menjadi pasar tetap tasnya. Yang belum bisa tembus hanyalah Australia. “Mungkin orang Australia kurang peduli soal fesyen atau seleranya tidak sesuai dengan desain Bagteria,” dalihnya.
Pasar lokal kecil
Menggarap pasar Indonesia justru paling belakangan dia lakukan. Butiknya di Plaza Indonesia baru buka pada 2008. Nancy sadar, harga tasnya sekitar Rp 1 juta sampai Rp 8 juta, bahkan di atas Rp 10 juta untuk edisi terbatas, hanya bisa terjangkau kalangan tertentu. Padahal, ia menganggap, harga segitu termasuk murah. “Di luar negeri, harganya saya naikkan sampai 2,5 kali lipat,” kata dia.
Meski peminatnya terbatas, Nancy menganggapnya bukan masalah. “Yang penting, saya punya pelanggan setia dari kalangan sosialita dan ibu pejabat,” ujarnya. Salah satunya, Ibu Negara Ani Yudhoyono. Sayangnya, Nancy enggan berbagi soal angka penjualan dan omzet. Dia berkilah menyerahkan urusan bisnis dan manajerial kepada suami.
Saat ini, Nancy rutin mengeluarkan desain baru per musim. Setiap musim, ia mengeluarkan 25 desain. Untuk menjaga eksklusivitas, setiap desain hanya keluar tiga seri warna, dan setiap warna hanya diproduksi 299 unit di seluruh dunia.
Kunci kesuksesan tas miliknya adalah konsistensi menjaga keunikan dan kualitas produk. “Itu penting agar produk bisa selalu diterima di mancanegara,” ungkap Nancy. (Rivi Yulianti/Kontan)
Nancy Go tidak pernah membayangkan tas Bagteria rancangannya ditenteng para selebriti dunia, seperti Emma Thompson, Anggun, dan Putri Zara Phillips. Saking naksir berat, Paris Hilton rela membeli tas displai di New York Fashion Week.
Hanya sedikit produk hasil kreasi anak bangsa yang berhasil menembus pasar dunia. Salah satunya adalah tas berlabel Bagteria buatan Nancy Go. Di bawah bendera PT Metamorfosa Abadi, produk itu menembus pasar kelas atas di tingkat dunia.
Tas Bagteria hasil desain Nancy memang berbeda dan berkelas. Harga tas eksklusif dari bahan-bahan terpilih ini antara Rp 1 juta sampai puluhan juta rupiah. Kualitas produk tas tersebut lebih dikenal para selebriti dan sosialita dunia ketimbang di dalam negeri.
Kisah hidup Nancy tak ada yang istimewa. Wanita kelahiran 6 Januari 1963 ini lahir dan tinggal di Brasil sampai umur enam tahun, sebelum pindah ke Jakarta. Sejak SMP, ia hobi merajut, menyulam, dan menjahit. “Teman-teman mengatai saya seperti nenek-nenek,” ujarnya.
Selepas SMA, Nancy tidak langsung melanjutkan kuliah. Ia menghabiskan delapan tahun merawat sang ayah yang sakit stroke. Baru pada 1985, kecintaannya pada dunia desain, sulam, dan jahit tersalurkan setelah masuk Susan Budiardjo Fashion College jurusan desain fashion.
Naluri bisnisnya tumbuh ketika duduk di bangku kuliah. Saat pergi ke luar negeri, ia memborong jins, lantas dijual di berbagai bazaar dengan keuntungan berlipat. Tahun 1992, ia bekerja di perusahaan Inggris, Dotwell, sebagai merchandiser. Tahun 1998, ia menikah dan berhenti bekerja agar lebih punya banyak waktu buat keluarga.
Pada tahun 2000, berawal dari hobi merajut dan menyulam, Nancy iseng membuat tas yang dia labeli merek Bagteria. “Saya pilih nama itu karena lucu. Harapannya agar mewabah seperti bakteri,” kenangnya. Bermodalkan Rp 100 juta, bersama suaminya, Bert Ng, ia mendirikan PT Metamofosa Abadi, dan mempekerjakan lima karyawan.
Uniknya, tas itu tidak dipasarkan di dalam negeri. Nancy sadar, orang Indonesia masih memandang sebelah mata produk sendiri, apalagi yang berharga mahal. “Orang Indonesia memilih tas impor,” ujarnya.
Harga tas Bagteria mahal lantaran bahan dasarnya bukan sembarangan. Selain teknik sulam, renda, dan payet yang dijahit tangan, pernak-perniknya unik dan eksklusif. Sebut saja, kristal swarovski, sterling silver, gold platted, kulit ikan dari Islandia, kulit burung unta (ostrich), bahkan gading gajah purba (mammoth) yang sudah punah. “Saya dapat gading mammoth langsung dari Siberia, sebagai pengganti gading gajah,” ujar dia.
Awalnya, Nancy membidik Hongkong sebagai kiblat mode Asia. Ia keluar masuk toko menawarkan tas kreasinya. Suatu saat, Outpader Landtrover, pemilik salah satu toko, suka pada desain tasnya. Dia memborong 50 unit tas Bagteria. Tas itu ternyata laku keras dan jadi buah bibir kalangan atas Hongkong.
Sukses di Hongkong, Nancy langsung merambah Milan, Italia, masih dengan cara door to door. “Ternyata, selera orang Milan cocok dengan Bagteria,” ujarnya. Dalam setahun, tasnya disejajarkan dengan Louis Vuitton, Chanel, atau Prada.
Berbekal kesuksesan di Milan, Paris, dan negara Eropa lain, Nancy pun merambah pasar Amerika Serikat. Dia rajin ikut pameran, seperti Fashion Week dan Premiere.
Pada 2003, Nancy coba merambah pasar Jepang yang terkenal ketat soal kualitas barang. Setelah dua tahun, akhirnya ada importir yang mempercaya kualitas produk Nancy. Sekarang, Jepang menjadi negara Asia dengan permintaan Bagteria tertinggi.
Nancy makin percaya diri. Kini, sekitar 30 negara, termasuk Emirat Arab, menjadi pasar tetap tasnya. Yang belum bisa tembus hanyalah Australia. “Mungkin orang Australia kurang peduli soal fesyen atau seleranya tidak sesuai dengan desain Bagteria,” dalihnya.
Pasar lokal kecil
Menggarap pasar Indonesia justru paling belakangan dia lakukan. Butiknya di Plaza Indonesia baru buka pada 2008. Nancy sadar, harga tasnya sekitar Rp 1 juta sampai Rp 8 juta, bahkan di atas Rp 10 juta untuk edisi terbatas, hanya bisa terjangkau kalangan tertentu. Padahal, ia menganggap, harga segitu termasuk murah. “Di luar negeri, harganya saya naikkan sampai 2,5 kali lipat,” kata dia.
Meski peminatnya terbatas, Nancy menganggapnya bukan masalah. “Yang penting, saya punya pelanggan setia dari kalangan sosialita dan ibu pejabat,” ujarnya. Salah satunya, Ibu Negara Ani Yudhoyono. Sayangnya, Nancy enggan berbagi soal angka penjualan dan omzet. Dia berkilah menyerahkan urusan bisnis dan manajerial kepada suami.
Saat ini, Nancy rutin mengeluarkan desain baru per musim. Setiap musim, ia mengeluarkan 25 desain. Untuk menjaga eksklusivitas, setiap desain hanya keluar tiga seri warna, dan setiap warna hanya diproduksi 299 unit di seluruh dunia.
Kunci kesuksesan tas miliknya adalah konsistensi menjaga keunikan dan kualitas produk. “Itu penting agar produk bisa selalu diterima di mancanegara,” ungkap Nancy. (Rivi Yulianti/Kontan)
Sumber: Kompas.com
Harian Kontan