>>>>Vas Bunga dari Sampah Plastik<<<<
Dari bengkel kerja sederhana miliknya, Achmad Iskandar mampu memproduksi lebih dari 900 vas bunga setiap bulan. Barang yang terbuat dari plastik bekas itu dijual ke sejumlah daerah di Kalimantan Timur. Kini, keinginannya hanya satu, yakni memperbesar produksi dan pasar.
Ide bapak enam anak untuk berkecimpung dengan sampah
plastik berawal dari ketika dirinya mengikuti kegiatan pameran dalam
rangka Hari Lingkungan Hidup Tingkat Nasional di Balikpapan, Kalimantan
Timur, Juli 2008. Saat itu, Iskandar yang mewakili Pemerintah Kota
Balikpapan melihat banyak produk daur ulang dari daerah lain yang ikut
dipamerkan.
Namun, sepanjang mata memandang, produk daur ulang
tersebut wujudnya konvensional, mulai dari taplak meja, tas plastik,
hingga produk lainnya yang sudah banyak di pasaran. Saat itulah
Iskandar yang sebelumnya menggeluti tanaman hias tebersit untuk membuat
sesuatu yang berbeda dan lebih baik daripada yang ada. Jatuhlah
pilihan membuat vas bunga.
Ia pun kemudian mempelajari berbagai
hal tentang plastik. Ia mencoba mencari tahu apa saja yang bisa dibuat
dari sampah plastik, bagaimana mengolahnya, hingga bahaya apa yang bisa
ditimbulkan olehnya. Iskandar menghabiskan waktu beberapa bulan untuk
uji coba sebelum akhirnya berhasil membuat produk yang dianggap
sempurna.
Ditemui di rumahnya, Jalan AMD Sungai Ampal Nomor 68,
Kota Balikpapan, Senin (16/8/2010), lelaki kelahiran Muara Muntai, 57
tahun silam, ini menunjukkan sejumlah vas bunga buatannya. Ada sekitar
20 macam bentuk, mulai dari yang berukuran tinggi 25 sentimeter dengan
diameter 12 sentimeter hingga tinggi 45 sentimeter dengan diameter 40
sentimeter.
Barang daur ulang itu dicat dan diberi gambar, antara
lain bunga hingga motif khas Dayak. Selain vas bunga, Iskandar juga
mencoba membuat produk lain berupa tiruan batu alam atau yang biasa
disebut marmo. Marmo biasa ditempel pada dinding rumah sebagai ornamen ataupun yang sekadar untuk melapisi lantai seperti ubin.
Oleh Iskandar, produknya dijual mulai dari Rp 25.000 per buah untuk vas bunga dan Rp 175.000 per meter persegi untuk marmo.
Selain ke pasar, ia menjual produknya ke kantor-kantor pemerintah
daerah dan pameran. ”Sejauh ini pemasarannya baru sampai ke Samarinda,
Bontang, Sanggata, dan Tenggarong. Itu pun persentasenya lebih besar
vas bunga,” ujarnya.
Metode pembuatan vas bunga ala Iskandar
cukup sederhana. Sampah plastik yang sudah terkumpul dimasak hingga
berubah menjadi pasta. Setelah itu pasta dituangkan pada cetakan yang
terbuat dari semen. Setelah mengeras, baru cetakan dilepas untuk
selanjutnya dilakukan proses akhir. Untuk menghaluskan digunakan ampelas
dan resin untuk menutup pori-pori.
Semua proses peleburan sampah
plastik ini memanfaatkan peralatan manual berupa kompor gas dan wajan
berdiameter 18 inci. Ada empat set kompor gas di bengkel Iskandar. Cara
melelehkan plastik pun cukup singkat. Untuk meleburkan satu wajan
plastik diperlukan waktu sekitar 20 menit, sementara untuk proses
pembentukan dibutuhkan waktu 10 menit.
Sampah plastik dari
berbagai jenis itu sebelumnya dipilah menjadi tiga bagian, yakni plastik
padat, seperti botol oli; plastik lunak, seperti botol air mineral;
dan plastik berlapis foil, seperti bungkus makanan kecil. Setelah itu
sampah yang memiliki rongga, seperti botol minyak pelumas, dipotong
kecil-kecil agar tidak memakan tempat.
”Dari tiga bagian plastik
ini kemudian dicampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini
cukup penting agar plastik bisa bercampur dengan baik dan mengeras.
Sebab, jika kebanyakan sampah padat, tidak akan jadi,” ujarnya.Untuk
sekali proses peleburan, Iskandar bisa menghabiskan 150-200 kilogram
sampah plastik tergantung persediaan. Dari jumlah itu tercipta sekitar
300 vas dengan rincian satu vas bunga memerlukan bahan baku 0,5 kilogram
sampah.
Diakui, ketersediaan sampah plastik menjadi salah satu
kendala yang dihadapi. Kota Balikpapan yang cukup kecil, dengan jumlah
warga yang tidak terlalu besar, membuat sampah yang dihasilkan masih
terbatas. Karena itu, Iskandar mencoba strategi dengan cara merangkul
ibu rumah tangga dan pemulung sebagai pemasok utama bahan baku.
Iskandar
pun mensosialisasikan kepada warga di Kelurahan Sumberejo—wilayah
tempat ia tinggal—tentang pentingnya sampah plastik. Warga diingatkan
agar memilih dan mengumpulkan sampah yang masih bisa digunakan. Sampah
yang terkumpul itu diantar ke rumah Iskandar. Sebagai bentuk penghargaan
dan memotivasi warga, Iskandar membayar Rp 1.000 untuk setiap kilogram
sampah.
”Sebelumnya saya hanya membeli sampah seharga Rp 500 per
kilogram dari warga di kota dan Rp 1.000 untuk warga yang berada di
pinggir laut. Tujuannya agar warga tidak membuang sampah ke laut. Namun,
dalam perkembangannya, warga yang berada di kota kurang termotivasi
untuk mengumpulkan sampah. Akhirnya, sejak satu tahun lalu harganya
disamakan,” katanya.
Selain bahan baku, kendala lain yang dihadapi
Iskandar adalah minimnya peralatan. Dengan peralatan yang ada saat ini
jelas sekali produk yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu,
sejumlah upaya telah dilakukan untuk mewujudkan usaha yang lebih besar
dengan alat-alat pabrikan, salah satunya membuat badan hukum usaha
menjadi CV Prima Executive dengan maksud untuk memperkuat posisi ketika
ada pihak ketiga yang ingin bekerja sama.
Mendaur ulang sampah
menjadi barang baru bukan saja menjadi solusi untuk menciptakan
lapangan pekerjaan baru karena Iskandar sudah memiliki enam karyawan.
Lebih dari itu, membuat produk daur ulang adalah upaya untuk menjaga
kelestarian lingkungan.