Semangat usaha
Dosen Tourism Hotel Management, Universitas
Ciputra Wapres Boediono saat menyampaikan arahan dalam Sidang Dewan Pleno II dan Munas Khusus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Istana Wapres, Rabu (19 Januari), menyatakan kualitas dan kuantitas wirausahawan nasional masih tertinggal sehingga diperlukan program bersama untuk mengembangkannya.
Menurut Wapres, jumlah wirausahawan nasional ketinggalan dibandingkan dengan dengan negara lain sehingga harus ada program bersama masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dilakukan secara sadar dengan program yang jelas (Antara, 19/1).
Entrepreneurship by design yang dimaksud wapres telah menyebar dan dirasakan keampuhannya melawan kemiskinan dj beberapa kalangan masyarakat. Umumnya menjadi entrepreneur tidak by design melainkan by accident, karena ter-PHK misalnya. Namun, idealnya entrepreneurship harus disebarkan sistematis dan terukur sehingga hasilnya pun jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan melalui proses alami.
Terkait dengan itu, pada 15 - 20 November 2010 lalu, pekan entrepreneurship dunia (global entrepreneurship week) digelar di 112 negara termasuk Indonesia. Negeri kita mendapat kehormatan karena acara GEW ini dibuka langsung oleh penggagasnya, Carl Schramm (President dan CEO Kauffmann Foundation). CEW di gagas oleh Gordon Brown, mantan Perdana Menleri Inggris, bersama Carl Schramm sejak 3 tahun terakhir.
Pada tahun pertama GEW diikuti 77 negara, lalu pada 2009 diikuti 88 negara dan tahun ini mencapai 112 negara. Di Indonesia, Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) adalah organisasi resmi yang ditunjuk oleh panitia global GEW untuk menjadi tuan rumah GEW di Indonesia.
Even entrepreneur ini menghubungkan orang-orang yang berasal dari seluruh dunia melalui kegiatan lokal, nasional, dan glob.)) yang dirancang untuk membantu mereka mengeksplorasi potensi yang mereka miliki sebagai orang yang pertama kali memulai dan inovator.
Para murid dan pendidik, entrepreneur, pemimpin usaha, pejabat pemerintahan, media dan masih banyak lainnya berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan untuk memanfaatkan jaringan sosial, untuk berhubungan dengan masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan dalam komunitas lokal dan global, dan untuk merayakan entrepreneurship di seluruh dunia.
Dalam 1 minggu itu, jutaan anak-anak muda dari seluruh dunia bergabung dalam sebuah gerakan mendunia untuk melahirkan gagasan-gagasan baru dan untuk menemukan cara-cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu.
Kaum muda
Penempatan kaum muda sebagai sentral entrepreneurship dalam event GEW ini tidak semata-mata menyangkut isu kewirausahaan. Tahun 2010-2011 secara khusus didedikasikan oleh PBB sebagai tahun kaum muda sedunia.
Bahkan pada 21 September 2010 yang diperingati sebagai hari perdamaianinternasional, PBB mengangkat tema Peace, Youth and Development unluk perayaan tahun ini. Ketiga aspek tersebut (perdamaian, kaum muda, dan pembangunan) terangkai dalam satu asumsi sederhana, perdamaian dapat ditegakkan manakala kemiskinan dan pengangguran dapat ditanggulangi. Kaum muda memegang andil penting untuk berkontribusi di dalamnya.
Uniknya, PBB mengintegrasikan peran dan eksistensi kaum muda sebagai salah satu unsur vital dalam menciptakan perdamaian dunia. Lebih-lebih keterkaitan kaum muda tidak sekadar objek, melainkan pelaku sejarah yang akan menuntaskan Millennium Development Coals dengan mereduksi secara signifikan kemiskinan di muka bumi ini.
Di Indonesia, elan vital kaum muda berimpitan dengan problematika kaum muda itu sendiri dalam melepaskan diri dari ancaman pengangguran dan kemiskinan. Di sinilah pentingnya semangat dan praktik entrepreneurship untuk semakin dibumikan dan diterapkan di kalangan kaum muda maupun pihak-pihak yang terkait erat dengannya, khususnya institusi pendidikan tinggi. Di sini pulalah celah peningkatan kuantitas entrepreneur di Indonesia berada.
Namun, pembangunan kewirausahaan di Indonesia tidaklah mudah. Berdasarkan penelitian dari Enrrepreneurship Working Croup dari APEC (2004) terlihat bahwa hanya sedikit wirausaha yang berhasil menjadi pengusaha besar dalam siklus pola kewirausahaan. . Fenomena ini juga banyak terjadi di Indonesia.
Hambatan dan upaya
Rendahnya entrepreneur dari kalangan sarjana (fresh graduate) misalnya, juga disebabkan oleh ketidakmampuan mengatasitantangan dan kesulitan yang ada. Sebagai contoh, keterbatasan jumlah bisnis orang tua yang dapat diwariskan, tidak adanya pengalaman berusaha selama masa pendidikan, masih minimnya jaringan untuk membangun . usaha, baik itu rekan berbisnis, pelanggan, supplier, distributor, lembaga perbankan, dan jaringan lainnya.
Keterbatasan ini berdampak besar menurunkan tekad serta motivasi para sarjana untuk berusaha. Pandangan tentang ketatnya persaingan pasar, asumsi kalau pasar penuh distorsi dan merasa diri tidak mampu menghadapinya, hingga bayangan tentang persoalan-persoalan teknis yang melelahkan pikiran dan tenaga, membuang jauh-jauh profesi sebagai pengusaha (Kasali, 2010).
Demikian pula, lama terjadi ketidaksesuaian performa pendidikan di perguruan tinggi kita, ditambah dengan performa dosen yang sama tidak relevannya dengan tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan jaman sekarang, menjadikan kewirausahaan di negeri kita kurang diminati.
Selain rekaan-rekaan itu, pendidikankewirausahaan kita memiliki banyakkelemahan lainnya. Beberapakelemahan yang mendasar adalah [uangnya minat wirausaha sukses untuk mau mengajar, kurikulum kewirausahaan kurang menarik, mental pengajar formal yang masih birokrat, dan masih minimnya pusat-pusat pelatihankewirausahaan baik secara formal maupun informal (ILO, 2003).
Lalu, apakah perguruan tinggi satu-satunya pihak yang menyebabkannya? Temyata tidak. Pendidikan dalam keluarga sebagai institusi paling dasar dalam kehidupan berbangsa turut menanamkan nilai-nilai antikewirausahaan.
Dominasi pengusaha Indonesia dari kalangan masyarakat Tionghoa tidak melepaskan sisi pendidikan di dalam keluarga mereka. Kita semua kagum dan perlu meneladani mentalitas bekerja mandiri yang sudali ditanamkan dan dipraktikkan pada anak-anak Tionghoa sejak kecil.
Kesuksesan masyarakat Tionghoa dalam berwirausaha bukan hanya fenomena di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Economist.com (2004) menulis bahwa cikal bakal wirausaha dari masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara berasal dari imigran China Tenggara yang mulai bermigrasi pada abad ke-19.
Dampak ketika keluarga dan pendidikan tinggi tidak pro-enfapreneurship adalah, selepas berkuliah sebagian besar sarjana berebut lapangan pekerjaan. Minimnya penyediaan (supply) lapangan pekerjaan diperebutkan oleh semakin besarnya jumlah pencari kerja (demand) yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan tinggi.
Realitas itu adalah ironi tersendiri di negeri kita. Sarjana yang sedianya adalah harapan masyarakat untuk menciptakan perubahan-perubahan, terutama memberantas kemiskinan dalam kapasitasnya membuka lapangan pekerjaan, justru memperpanjang rantai kemiskinan itu dengan kemungkinan yang terburuk juga menjadi pengangguran (terdidik).