Pernak-pernik waralaba
Itukah moto yang diusung Dewi Tanjung dalam memulai bisnis handiraft yang diberi label De Tanjung. Ketika baru menjalani usahanya, perempuan muda ini benar-benar bisa dibilang modal dengkul, hanya RpSO.OOO. Itu pun diperoleh dari pemberian pamannya untuk membeli baju baru saat Lebaran.
"Saya ini orang biasa, bisa dibilang sangat sederhana. Ayah sudah wafat ketika saya masih bayi, dan ibu hanya lulusan sekolah dasar. Dia bekerja sebagai buruh pabrik dan pembantu rumah tangga, serta buka warung kecil-kecilan," ujar perempuan kelahiran 17 Mei 1978 ini.
WalauJiidup dalam kesederhanaan, semangat Dewi untuk sekolah tetap tinggi. Bahkan dia bisa lulus kuliah D3 Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Brawijaya, Malang. Dan saat ini melanjutkan Sl di IKIP Budi Utomo, Malang.
Saat berkuliah di Unibraw itu, Dewi mengalami kesulitan dalam membayar uang SPP. Suatu ketika dia diberi seorang pamannya uang RpSO.OOO untuk beli baju Lebaran, tetapi Dewi tidak membeli baju baru. Otaknya malahberpikir untuk menjadikan uang tersebut sebagai modal awalnya dalam berusaha.
Ketika itu, katanya, yang terpikirkan dalam benaknya adalah membuat kreasi pernak-pernik dari daun kering. Kebetulan di sekitar kampusnya banyak daun-daun dan bunga kering yang terbuang begitu saja. Dewi pun memungutinya dan membersihkannya. Helai demi helai daun dan bunga dicobanya untuk membuat sesuatu yang menarik dan berfungsi.
Kebetulan saat itu juga lagi tren membuat sesuatu dari produk daur ulang. Dewi pun membeli kertas dan karton serta lem. Dia berkreasi membuat buku catatan, buku telepon, pigura foto, dan pernak-pernik lainnya.
Semula dia membuat lima macam produk saja, dan masing-masing sebanyak sepuluh buah. Pemak-pemik itu saya tawarkan ke teman-teman di kampus. "Ada yang membeli, ada juga yang meledek saya ini sales. Tapi, saya acuh saja. Saya tetap percaya diri dan terus menjualnya," ujar Dewi yang saat ini sudah punya anak satu orang.
Berkembang pesat
Dari modal awal RpSO.OOO itu, bisnis pernak-pernik De Tanjung terus berkembang. Produk berbahan baku sampah kering seperti dedaunan dan bunga tersebut, di tangannya menjadi benda yang bagus serta punya nilai jual.
Awalnya Dewi mengerjakan sendiri proses produksi produknya, sampai pemasarannya. Tapi sekarang dia sudah memiliki 54 pegawai, 11 orang di antaranya membantunya dalam manajemen, lainnya adalah kaum ibu di sekitar tempat tinggalnya yang dilatih membuat pernak-pernik.
Darimana Dewi punya ide membuat pernak Untuk mempercepat perluasanpasar, Dewi menciptakansistem waralaba.pernik tersebut? "Saya belajar seraca otodidak, seperti buat undangan, dan suvenir lainnya. Sejak kecil saya suka membaca, melukis, dan jalan-jalan di pinggir sawah. Tapi khusus untuk produk daun, saya memperdalamnya dari Pak Heri Daun di Surabaya."
Kalau semula produknya cuma 10 buah saja per macam produk, kini dia sudah memproduksi sampai ribuan buah per bulan. "Saya kini fokus memproduksi untuk pernak-pernik pernikahan dengan empat macam produk saja yaitu undangan, suvenir, mahar, dan seserahan," katanya.
Bahan baku produk itu khas Indonesia, seperti daun kering, batik. Udi, bambu dan lainnya. Dia juga juga mengkombinasikannya dengan bahan impor yang lebih modern sebagai variasi dan pelengkap.
Bahan-bahan baku tersebut disuplai dari sekitar Malang, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Lombok. Sedangkan bahan import dari China dan Hong Kong. Menurut dia, proses pembuatan produk kerajinan tersebut tidak rumit, tetapi perlu ketelatenan dan kesabaran. Semua karyawan bisa mengikutinya karena dia memberi training dulu selama 1 minggu.
Dewi mengaku penjualan produknya meningkat signifikan dibandingkan dengan awal buka dulu. "Dulu penjualan hanya sekitar Rp 15 juta per tahun. Kini bisa mencapai di atas Rpl miliar per tahun."
Itukah moto yang diusung Dewi Tanjung dalam memulai bisnis handiraft yang diberi label De Tanjung. Ketika baru menjalani usahanya, perempuan muda ini benar-benar bisa dibilang modal dengkul, hanya RpSO.OOO. Itu pun diperoleh dari pemberian pamannya untuk membeli baju baru saat Lebaran.
"Saya ini orang biasa, bisa dibilang sangat sederhana. Ayah sudah wafat ketika saya masih bayi, dan ibu hanya lulusan sekolah dasar. Dia bekerja sebagai buruh pabrik dan pembantu rumah tangga, serta buka warung kecil-kecilan," ujar perempuan kelahiran 17 Mei 1978 ini.
WalauJiidup dalam kesederhanaan, semangat Dewi untuk sekolah tetap tinggi. Bahkan dia bisa lulus kuliah D3 Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Brawijaya, Malang. Dan saat ini melanjutkan Sl di IKIP Budi Utomo, Malang.
Saat berkuliah di Unibraw itu, Dewi mengalami kesulitan dalam membayar uang SPP. Suatu ketika dia diberi seorang pamannya uang RpSO.OOO untuk beli baju Lebaran, tetapi Dewi tidak membeli baju baru. Otaknya malahberpikir untuk menjadikan uang tersebut sebagai modal awalnya dalam berusaha.
Ketika itu, katanya, yang terpikirkan dalam benaknya adalah membuat kreasi pernak-pernik dari daun kering. Kebetulan di sekitar kampusnya banyak daun-daun dan bunga kering yang terbuang begitu saja. Dewi pun memungutinya dan membersihkannya. Helai demi helai daun dan bunga dicobanya untuk membuat sesuatu yang menarik dan berfungsi.
Kebetulan saat itu juga lagi tren membuat sesuatu dari produk daur ulang. Dewi pun membeli kertas dan karton serta lem. Dia berkreasi membuat buku catatan, buku telepon, pigura foto, dan pernak-pernik lainnya.
Semula dia membuat lima macam produk saja, dan masing-masing sebanyak sepuluh buah. Pemak-pemik itu saya tawarkan ke teman-teman di kampus. "Ada yang membeli, ada juga yang meledek saya ini sales. Tapi, saya acuh saja. Saya tetap percaya diri dan terus menjualnya," ujar Dewi yang saat ini sudah punya anak satu orang.
Berkembang pesat
Dari modal awal RpSO.OOO itu, bisnis pernak-pernik De Tanjung terus berkembang. Produk berbahan baku sampah kering seperti dedaunan dan bunga tersebut, di tangannya menjadi benda yang bagus serta punya nilai jual.
Awalnya Dewi mengerjakan sendiri proses produksi produknya, sampai pemasarannya. Tapi sekarang dia sudah memiliki 54 pegawai, 11 orang di antaranya membantunya dalam manajemen, lainnya adalah kaum ibu di sekitar tempat tinggalnya yang dilatih membuat pernak-pernik.
Darimana Dewi punya ide membuat pernak Untuk mempercepat perluasanpasar, Dewi menciptakansistem waralaba.pernik tersebut? "Saya belajar seraca otodidak, seperti buat undangan, dan suvenir lainnya. Sejak kecil saya suka membaca, melukis, dan jalan-jalan di pinggir sawah. Tapi khusus untuk produk daun, saya memperdalamnya dari Pak Heri Daun di Surabaya."
Kalau semula produknya cuma 10 buah saja per macam produk, kini dia sudah memproduksi sampai ribuan buah per bulan. "Saya kini fokus memproduksi untuk pernak-pernik pernikahan dengan empat macam produk saja yaitu undangan, suvenir, mahar, dan seserahan," katanya.
Bahan baku produk itu khas Indonesia, seperti daun kering, batik. Udi, bambu dan lainnya. Dia juga juga mengkombinasikannya dengan bahan impor yang lebih modern sebagai variasi dan pelengkap.
Bahan-bahan baku tersebut disuplai dari sekitar Malang, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Lombok. Sedangkan bahan import dari China dan Hong Kong. Menurut dia, proses pembuatan produk kerajinan tersebut tidak rumit, tetapi perlu ketelatenan dan kesabaran. Semua karyawan bisa mengikutinya karena dia memberi training dulu selama 1 minggu.
Dewi mengaku penjualan produknya meningkat signifikan dibandingkan dengan awal buka dulu. "Dulu penjualan hanya sekitar Rp 15 juta per tahun. Kini bisa mencapai di atas Rpl miliar per tahun."
INFO PASAR SENI LUKIS INDONESIA:http://artkreatif.net/