Elang Gumilang pernah berjualan donat, minyak goreng, lampu,
hingga membuka kursus bahasa Inggris. Saat memutuskan terjun di dunia
properti, lalu membangun rumah sederhana pertamanya sekitar lima tahun
lalu, dia baru berumur 22 tahun. Kini Elang sudah membangun ribuan rumah
dan memberi lapangan kerja bagi ratusan orang.
Ia
masih muda, bersemangat, dan cukup berhasil di bidang properti.
Keuntungan usahanya menembus angka miliaran rupiah per tahun. Setidaknya
dalam lima tahun terakhir, Elang Group mengembangkan sembilan perumahan
di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
Luas dan jumlah rumah
yang dikembangkannya bervariasi, mulai kompleks perumahan seluas 1,5
hektar dengan jumlah sekitar 100 unit rumah, hingga kompleks seluas
belasan hektar dengan jumlah rumah lebih dari 500 unit.
Sebagian
besar rumah yang ditawarkan Elang merupakan rumah sederhana sehat (RSH)
dengan harga relatif terjangkau. Rumah pertama yang dibangun Elang,
bertipe 21 dengan luas tanah 60 meter persegi. Rumah tersebut ditawarkan
dengan harga Rp 25 juta. Uang muka yang harus dibayar konsumen masih Rp
1,25 juta, dengan cicilan per bulan Rp 89.000 selama 15 tahun.
Baru
menginjak tahun 2012, ia mulai melirik pasar real estate. Elang sedang
mengurus izin perumahan seluas 5 hektar dengan harga di atas Rp 500 juta
per unit di Bogor Barat, Kota Bogor. Ia menganggap proyek ini sebagai
salah satu upaya subsidi silang, guna mendanai proyek rumah sederhana
sehat lainnya.
“Angka kebutuhan rumah di Indonesia mencapai
300.000 unit per tahun. Tetapi kalau mau masuk ke dunia properti, saya
menilai sulit jika kita harus langsung 'menghantam gajah', berhadapan
dengan real estate. Jadi, saya mulai dari yang kecil dulu,” tutur Elang
dalam perbincangan beberapa waktu lalu.
Kami berbincang di
sela-sela kesibukan Elang melihat dua proyek perumahan di Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, yakni Griya Salak Endah dan Griya Ciampea PGRI
Endah. Sebagian besar perbincangan berlangsung di dalam mobil Toyota
Rush silver, yang menjadi “rumah” kedua Elang di tengah tingginya
mobilitas pemuda itu.
Belum lulus
Bagi Elang, Griya
Salak Endah sangat berkesan karena dari proyek itu, bisnisnya
berkembang. Ia terjun di bisnis properti tahun 2007, saat berusia 22
tahun. Waktu itu ia belum lulus kuliah. Seorang teman mendorong Elang
terjun ke bisnis perumahan.
Menurut temannya itu, notaris
kenalan kakaknya menawarkan sebidang tanah yang sudah siap dibangun,
lengkap dengan siteplan dan perizinan seluas 5 hektar.
Sebuah
instansi awalnya hendak membangun perumahan di lahan itu, tetapi
bertahun-tahun terbengkalai. Tanah itu dihargai Rp 1,6 miliar, dengan
pembayaran dicicil selama setahun. Elang tak punya uang sebanyak itu,
tetapi ia mendekati orangtua beberapa teman kuliahnya, dan terkumpul
modal Rp 340 juta.
Ia mendekati pengembang yang bisa membangun
rumah di lahan itu, tetapi dengan pembayaran setelah akad kredit dengan
bank. Alhasil 500 rumah terjual habis. Omzet perumahan itu mencapai Rp
17 miliar, dengan keuntungan miliaran rupiah. Ia juga bisa membayar
tanah tepat waktu.
Namun usaha yang dirintisnya itu tak datang
tiba-tiba. Elang meyakini bahwa yang akan menang dalam sebuah kompetisi
bukan orang yang pandai, tetapi orang yang bersungguh-sungguh.
Kepercayaan dari orangtua teman kuliahnya, dia dapatkan dari proses
bertahun-tahun.
Kendati berasal dari keluarga menengah, dengan
ayah kontraktor berskala menengah, Elang sejak kecil berusaha mandiri.
Saat menginjak sekolah menengah atas, ia berjualan donat dan roti
bersama beberapa teman sekolahnya.
Saat hendak kuliah tahun 2003,
ia mengubah strategi menjadi pemburu perlombaan di bidang ekonomi. Ia
memenangkan lomba yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. Selain mendapat hadiah uang, ia
juga mendapat tawaran beasiswa.
“Karena mau serius usaha, jadi saya pilih kuliah di Bogor karena sudah tahu medan bisnis di sini,” tuturnya.
Mengantar pesanan
Begitu
mulai kuliah, Elang berjualan minyak goreng. Modal awal Rp 4 juta
didapat dari ibu temannya yang terkena pemutusan hubungan kerja. Ia
membeli minyak goreng dari agen, lalu menjual kepada penjual gorengan
dan beberapa toko kecil dengan harga saat itu Rp 4.800 per liter. Dari
setiap liter yang terjual, ia dapat untung Rp 500.
Kadang Elang
mengantar pesanan dengan angkutan kota atau sepeda motor. Tidak jarang
juga, ia mengantar barang dengan berjalan kaki. Hujan sekalipun ia tetap
mengantar pesanan demi menjaga kepercayaan pelanggan.
“Tangan
luka dan lecet, saya sudah biasa. Tetapi akhirnya ketahuan orangtua.
Kami buat perjanjian, saya hanya boleh jualan kalau nilai indeks
prestasi kumulatif saya di atas 2,75 dan saya bisa,” cerita Elang.
Selain
itu, ia juga menyempatkan diri berjualan ikan yang dibeli dari beberapa
daerah di pantai utara Pulau Jawa. Ia juga sempat berjualan lampu di
kampus. Elang pun membuat usaha kursus bahasa Inggris. Rekam jejak itu
yang membuat orang mempercayai dia.
Usaha yang dijalani Elang tak
selalu mulus. Pada awal berusaha ia kesulitan meminjam uang kepada
bank. “Ada salah satu bank dekat kampus saya yang bilang, 'Lebih baik
meminjamkan uang ke tukang gorengan dari pada buat mahasiswa. Anak muda
enggak bisa dipercaya.' Tetapi itu dulu, sekarang banyak yang menawarkan
bantuan kepada anak muda yang mau berusaha,” tuturnya.
Beberapa
kali Elang terpaksa harus menunggu lama saat hendak menemui beberapa
relasi, lantaran tidak dipercaya sebagai pengusaha properti karena masih
terlalu muda.
“Oleh karena itulah, biasanya langkah awal saya adalah mengirim delegasi orang yang lebih tua dari saya ha-ha-ha,” ceritanya.
Elang
masih berharap bisa mengembangkan usahanya dengan konsentrasi utama
membangun rumah sederhana sehat. Ia mengaku terharu bisa membantu
masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah, sesuatu yang
menjadi impian banyak orang.
Untuk mendukung keinginan itu, dia
berharap bisa memiliki perusahaan pembiayaan agar lebih mempermudah
usahanya di bidang properti.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
Sumber : Kompas Cetak