>>>>>>>>Bisnis Taksi dan Seluk Beluknya
Oleh Hendrika Yunapritta, R. Kristiawan
Bisnis
angkutan tak lepas dari gebukan krisis karena harga onderdil melangit.
Utang Tutuk Kurniawan juga membengkak. Tapi, berkat keuletannya, raja
taksi dari Semarang ini berhasil merangkak keluar dari terowongan
panjang bernama krismon.
Penampilan Tutuk Kurniawan, 44 tahun,
bak seorang sopir taksi. Setelan biru muda, dengan tulisan Atlas Group
di saku kanannya, mengingatkan orang kepada seragam sopir sebuah
perusahaan taksi di Semarang. Memang, Tutuk adalah pemilik perusahaan
taksi Atlas. "Sebenarnya sopir saya lebih kaya karena tak punya utang.
Utang saya kan menumpuk," kata Tutuk. Bisa jadi utangnya menumpuk.
Maklum, ketika gawat-gawatnya krismon, dua tahun silam, Tutuk malah
membeli 125 unit bus merk Nasima senilai Rp 12 miliar. Akibatnya,
selama dua tahun ia harus menanggung rugi. Tapi, dari hasil kerja
kerasnya, Tutuk kini berhasil menguasai 65% trayek angkutan di
Semarang. Makanya, ia mengaku berhasil keluar dari lilitan krisis
ekonomi.
"Ibarat berjalan kaki dalam terowongan dengan suhu 200 derajat
Celcius," ucapnya. Perjalanan Tutuk untuk menguasai trayek sedemikian
besar, plus 700 armada Taksi Atlas di Semarang, tidak diraih dengan
ongkang-ongkang kaki. Putus sekolah SMU, 1972, ia terpaksa membantu
usaha ayahnya di pabrik rokok. Tapi, di situ ia hanya bergabung
sebentar karena bangkrut.
Jadi, Tutuk harus mencari penghidupan sendiri
untuk keluarganya. Dasar sedang hoki, saat bingung tidak ada pekerjaan,
secara tak sengaja dia bertemu dengan pengusaha taksi yang batal
membuka cabang di Semarang. Tan Gim Yiang, pemilik Surabaya Taksi itu,
malah jatuh hati pada keuletan Tutuk. Dia meminjamkan sebuah taksi
untuk dioperasikan. "Kalau rugi, ya, dianggap hadiah. Tapi, kalau
untung, diteruskan," kenang Tutuk. Sejak itulah ia rajin menyetiri
taksinya mengelilingi kota Semarang untuk mencari penumpang. Dari
kegigihan itulah Tutuk secara tidak sengaja berjumpa dengan Marimutu
Sinivasan, yang kemudian menjadi pengusaha tekstil terbesar di
Indonesia. Kala itu, tahun 1976, Sinivasan sedang mencari lahan untuk
pabriknya di Kendal. Tutuklah yang mengantar pengusaha keturunan India
ini, karena dia memang pemilik satu-satunya taksi di Semarang.
Belakangan, dia dipercaya Sinivasan untuk menangani angkutan 55.000
karyawan Texmaco di Kendal. Nah, setelah menyisihkan sedikit untuk
biaya hidup, Tutuk rajin membayar cicilan utangnya. Sebenarnya, ia bisa
saja mengemplang, karena Tan sendiri sebenarnya tak terlalu peduli
taksinya akan dikembalikan atau tidak.
"Orang itu jangan seperti babi.
Kalau dapat tiga piring, ya sisihkanlah satu piring untuk persediaan,"
katanya. Sebagai orang Tionghoa, dia memegang teguh prinsip itu. Tan,
yang tadinya menganggap bahwa pasar Semarang tidak bagus untuk bisnis
taksi, tentu saja heran dengan keberhasilan Tutuk. Karena Tutuk setia
membayar cicilan, Tan bersedia memberi utangan lima buah taksi lagi.
Dan Tutuk selalu bisa melunasi utangnya. Bisnis Tutuk terus berkembang,
hingga tahun 1987, dia memiliki 70 unit taksi. Setahun kemudian, Tutuk
mendapat izin usaha dari pemerintah daerah Semarang, dan berdirilah
Atlas Taksi.
Bisnis jeruk Pontianak dengan Bambang Tri
Dalam
menjalankan bisnisnya Tutuk selalu mengandalkan kejujuran, ketekunan,
dan keuletan. Prinsip ini ia terapkan secara ketat kepada karyawannya.
"Kalau ketahuan tidak jujur, langsung saya pecat tanpa peringatan,"
ujar Tutuk, yang juga Ketua Paguyuban Pengusaha Taksi Jawa Tengah.
Sebagai penjual jasa angkutan, ia pun selalu menganggap pembeli adalah
raja.
Jadi, apa pun kesalahan yang terjadi, tetap saja harus ditimpakan
kepada sang penjual. Kendati pengawasan sudah ketat, toh Tutuk mengaku
masih sering kecolongan. Ia, misalnya, sering menerima keluhan dari
konsumen tentang beberapa sopirnya yang ogah memakai argo. Jalan
keluarnya, Tutuk memasang iklan hadiah Rp 5 juta bagi mereka yang
melaporkan nomor taksi tanpa argo tersebut. Anehnya, tak ada satu pun
laporan yang masuk. "Itulah susahnya berbisnis dengan masyarakat luas,
mudah disalahkan, jarang mendapat pujian," katanya. Selain berbisnis
angkutan, Tutuk pernah menjajal terjun ke agribisnis. Kebetulan tahun
1990 dia pernah diajak bekerja sama dengan Bambang Trihatmodjo, putra
mantan Presiden Soeharto, untuk berbisnis Jeruk Pontianak.
Ia diminta
memegang penjualan untuk daerah Pulau Jawa. Tutuk mengaku, berkawan
dengan anak presiden membuatnya takabur. "Karyawan Bank Pembangunan
Daerah (BPD) pernah saya anggap sebagai bawahan," kenangnya. Bisnis
barunya itu memang gilang-gemilang. Dalam satu bulan, misalnya, omzet
penjualannya mencapai Rp 6 miliar. Tapi, ini tak bisa langgeng. Tahun
1993, banyak jeruk busuk. Akibatnya dia bangkrut lantaran rugi Rp 35
miliar. Semua harta milik Tutuk disita bank, termasuk jam tangan yang
dipakainya. Semenjak itu, ia bertekad menancapkan kukunya di bisnis
angkutan saja.
Kendati kena gebuk krismon, karena harga onderdil naik
hingga lima kali lipat, Tutuk tidak menyerah. Malah nekat menambah 125
bus untuk armadanya. Sekarang Tutuk mengendalikan PT Wahana Eka Utama,
induk usaha yang menangani beberapa usaha angkutan. Usaha busnya,
sampai saat ini masih memonopoli trayek Salatiga-Semarang,
Salatiga-Ambarawa, dan Semarang-Bandungan. Perusahaan Tutuk juga
dikontrak Texmaco untuk angkutan karyawan. Di Kendal saja dia memegang
kontrak Rp 50 juta sebulan. Belum lagi armada Taksi Atlas, berjumlah
700 unit. Lantas Tutuk masih memiliki usaha penyewaan 70 unit
limousine. Total omzet ditaksir mencapai Rp 2 miliar per bulannya.
Macan yang Religius
Dilahirkan
di kota Semarang, 44 tahun silam, dari keluarga pengusaha rokok. Orang
tuanya pernah tercatat sebagai orang terkaya kedua di kota tersebut.
Namun, Tutuk dididik sangat keras oleh sang ayah. Ketika masih duduk di
SD, misalnya, ia selalu berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang
jaraknya delapan kilometer. "Padahal, di rumah banyak mobil," ujar
Tutuk. Salah satu pesan yang terus diingat dari ayahnya adalah filosofi
macan. "Kamu lahir di kandang macan, suatu saat pasti punya taring.
Tapi, pakailah taringmu dengan benar, jangan asal gigit," pesan ayahnya
yang menjadi pegangan Tutuk dalam berbisnis. Maka, sekarang ia sudah
menjadi macan dalam kerajaan bisnis yang mempekerjakan 4.000 karyawan
ini. Tutuk selalu memegang teguh kepercayaan pada karyawannya. "Asal
mereka jujur," katanya.
Selain aktivitasnya di dunia bisnis, pengemar
burung ini dipercaya menjadi Ketua Yayasan Puspo Rejo, sebuah yayasan
umat Budha. Yayasan ini bertugas membangun Vihara, sebagai tempat
ibadah. Terakhir, yayasan ini membangun vihara senilai Rp 1,6 miliar di
Jawa Tengah. Organisasi keagamaan seperti ini memang tak asing bagi
Tutuk. Ayahnya adalah Ketua Yayasan Samboka. Pada umur 14 tahun Tutuk
sudah didaulat untuk menggantikannya. Namun, karena merasa masih
terlalu muda, ia melimpahkan kepada sang kakak. Tidak tamat dari SMU
lantaran harus segera menikahi pacarnya, Tutuk juga mengaku tidak
pernah belajar dari buku.
Keberhasilannya di bidang usaha
sepenuhnya mengandalkan pengalaman lapangan dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dia juga tak suka dibilang sukses. "Karena perasaan sukses
adalah awal kehancuran," ucap bapak tiga anak, yang semuanya kuliah di
Amerika ini.
Sumber : http://rkristiawan.blogspot.com/2005/03/tutuk-si-sopir-atlas-itu-pemilik.html