Halaman

Berkibar dengan Keripik nangka

Berkibar dengan Keripik nangka

Perempuan muda itu tampak serius mengupas buah nangka pada Sabtu pagi saat kunjungan sejumlah pejabat bank BJB ke Majalengka, Jawa Barat. Sambil mengeluarkan biji dari daging buah, sesekali dia melihat hasil kupasannya yang sudah tertumpuk rapi di sebelahnya.

Aroma manis nangka yang menggiurkan pun menghiasi setiap sudut ruangan. Rasa-rasanya ingin langsung menggigit buah itu, apalagi di luar matahari bersinar begitu teriknya.Setelah proses pengupasan selesai, nangka matang itu siap diolah menjadi keripik. Di sudut lain bangunan, tiga mesin vacum dryer yang juga berfungsi untuk menggoreng buah sudah siap digunakan.

Popon Suhaemah, pemilik usaha keripik dan oleh-oleh khas Majalengka dengan merek dagang Ibu Popon, mengatakan membutuhkan pasokan buah itu sedikitnya 4 ton untuk membuat 400 kg keripik nangka setiap bulannya.Selain nangka, ibu dua anak ini juga antara lain memproduksi keripik pisang muli, keripik salak, dodol pisang, dan emping jagung.

"Kami membutuhkan Dahan baku sekitar 6,2 ton nangka, pisang muli dan salak untuk membuat keripik. Dari jumlah bahan baku itu bisa menghasilkan keripik sebanyak 620 kg per bulannya," katanya belum lama ini. Dari sekian banyak produk makanan olahannya, permintaan keripik nangka merupakan yang terbanyak.

Alasannya, karena rasanya yang unik, ketersediaan makanan olahan keripik nangka pun terhitung lebih sedikit dibandingkan dengan jenis keripik lainnya di pasar. Hal ini karena ketersediaan bahan baku buah nangka yang belum tentu selalu ada setiap bulannya. Bagi Popon, kendala ketersediaan bahan baku merupakan salah satu tantangan untuk memacu produksi.

Sebagian hasil produksinya itu untuk memasok kebutuhan toko oleh-oleh di beberapa kota, seperti Indramayu, Kuningan, dan Bogor. Selain itu, juga untuk memasok produk ke beberapa pasar modem di Bandung dan Cirebon. Adapun, sisanya untuk dipasarkan sendiri di gerai oleh-oleh miliknya di Majalengka. Perempuan kelahiran Majalengka 45 tahun silam, yang pernah bekerja sebagai pegawai perusahaan karpet di Jakarta tersebut, mengakui kalau kapasitas produksinya saat ini masih relatif kecil.

Selain minimnya beberapa bahan baku, permintaan produk makanan olahannya terus bertambah, bahkan sebagian di antaranya datang dari luar Jabar. Ambil contoh, Carrefour di Yogyakarta, Surabaya dan Bali mengaku berminat memasarkan produk makanan olahan tradisional itu.

Tidak tanggung-tanggung, permintaannya untuk mengisi di 30 gerai pasar modern itu yang tersebar di tiga provinsi tersebut.
Cerita banyaknya permintaan produk dari ritel itu bermula ketika Carrefour menyediakan pojok rakyat untuk memfasilitasi penjualan produk usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Popon dengan produk makanan olahannya ternyata berhasil menembus pemasaran produk melalui pasar modem itu di Bandung dan Cirebon. Hebatnya, penjualan dan permintaan di dua wilayah itu cukup bagus, sehingga Carrefour di provinsi lain ikut tertarik menjual keripik dan dodol buatan Popon.

Orientasi ekspor Alasan lain Popon berambisi meningkatkan kapasitas produksi ialah karena kesempatan untuk ekspor sebenarnya sudah ada di depan mata. Namun lagi-lagi, tantangannya bagaimana agar produksi naik, tetapi kualitas produk tetap terjaga.

Pasalnya, untuk menembus pasar ekspor syaratnya seabreg. Mulai dari mampu mengirim barang secara berkesinambungan, hingga kualitas dari makanan olahan itu sendiri yang harus lulus standar tertentu. Syarat untuk ekspor keripik pisang misalnya, produk harus renyah dengan tingkat kematangan relatif tinggi.

Untungnya, Popon sudah memiliki tiga unit vacuum dryer untuk menggoreng pisang menjadi keripik. Dengan mesin itu, tinggal kerenyahan keripik sudah hampir mendekati standar internasional. "Cukup sulit mengolah pisang menjadi keripik, karena buah itu yang memiliki kadar air tinggi dan mudah hancur. Saya menggoreng pisang menggunakan vacuum dryer sekitar 2,5 jam," katanya.

Untuk memperkuat permodalan, Popon memutuskan mengakses kredit ke PT Bank Pembangunan Daerah Jabar dan Banten Tbk (BJB) sebesar Rp250 juta. Tentu saja, plafon pinjaman itu tidak diberikan sekaligus. Pada 2006, pengusaha yang memiliki 16 pekerja ini mendapatkan pinjaman senilai Rp9 juta untuk mengembangkan usaha makanan olahan.

Plafon pinjaman terus bertamah karena usaha yang dia kelola tumbuh cukup signifikan. Koordinator Pemasaran Luar Negeri Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro {Aikma) Jabar Bellatrix Idris mengatakan kendala produksi yang dihadapi Popon merupakan permasalahan yang dihadapi rata-rata UMKM makanan olahan di Jabar.adahal, peluang untuk meningkatkan penetrasi pasar, termasuk menggarap ekspor cukup terbuka.

Melihat permasalahan yang ada di lapangan, membuat Aikma Jabar ikut turun tangan dalam hal peningkatan nilai produk. Misalnya saja dengan membantu pelaku UMKM membuat pengemasan produk, pelatihan kemampuan produksi, dan membantu membuka jaringan pemasaran. "Hampir 75% produk anggota kami sudah terserap oleh pasar modem," katanya.

Dia mengakui untuk menembus pasar ekspor bukan perkara mudah, terutama di tengah keterbatasan kapasitas produksi.
Solusinya, ialah dengan membangun klaster produk agar kapasitas produksi terkerek naik. Selain itu, dalam hal pengawasan dan standardisasi kualitas makanan olahan menjadi lebih mudah.

Kesempatan pelaku UMKM makanan olahan untuk berkembang sebenarnya cukup terbuka, asalkan mampu menjaga kualitas produksi dan bisa mengembangkan jaringan pemasaran. Apabila pelaku UMKM dalam negeri sudah berpikir ke arah sana, diharapkan bisa menjadi penangkal manakala makanan nl.ili.in impor semakin membanjiri pasar lokal. Semoga. (hilmnn.ludayal@bisnis.eo.id)

info pasar lukisan dan industri kreatif.http://artkreatif.net/