Halaman

Eks Cleaning Services yang Sukses Menenun

04/11/2011
Eks Cleaning Services yang Sukses Menenun


Berhenti bekerja dari sebuah hotel mengubah nasib Wayan Widyantara, pria asal Klungkung, Bali. Kini ia memproduksi ratusan lembar kain tenun khas Bali dengan merek Sri Widhi. Walaupun usahanya sempat digoncang tragedi bom Bali I dan II, tapi Wayan mampu membangun kembali usaha itu hingga menjadi lebih besar lagi.

KAIN tenun bukanJah sekedar keterampilan belaka bagi warga Indonesia Selain menjadi alat sandang, kain tenun itu mewakili identitas diri, identitas budaya dan juga bisa menjadi komoditas perdagangan.Sayang, tidak banyak penenun yang mampu mewariskan keterampilan menenun kepada generasi penerus. Banyak kaum muda di sentra tenun enggan belajar menenun.

Kekha watiran itulah yang dirasakan Wayan Widyantara, warga Klungkung, Bali. Agar tradisi menenun bisa terjaga, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai cleaning services atau petugas kebersihan di salah satu satu hotel ternama di Pulau Dewata.

Wayan pertama kali belajar menenun pada tahun 2000 dengan alat tenun warisan orangtuanya. Setelah bisa membuat kain tenun sendiri, ia kemudian berencanan memproduksi secara masal dengan membubuhkan merek Sri Widhi pada kain tenun produknya itu.

Walaupun tidak punya pengalaman menjadi pengusaha, Wayan bertekad ingin berbisnis kain tenun, la pun berani menarik duit tabungan sebesar Rp 3,5 juta untuk membeli benang. "Saya punya tujuh alat tenun warisan tapi modal hanya unluk biaya membeli benang," kenang Wayan.

Biasanya, alat tenun warisan itu digunakan menjelang upacara keagamaan saja. Keluarga Wayanmembuat kain tenun untuk upacara keagamaan. Karena alat itu .sering menganggur, Wayan memutuskan memakainya Karena saat itu modalnya terbatas, Wayan hanya produksi kain tenun ikat yang harganya relatih Iebih murah. "Kalau tenun songket, benangnya lebih mahal," kata Wayan.

Secara sederhana, kain tenun Bali terdiri dari dua jenis. Pertama, kain tenun ikat, biasa disebut endek, biasa dipakai warga untuk keperluan sehari-hari. Kedua, adalah kain tenun songket yang sering digunakan untuk upacara keagamaan.

Wayan mulai memproduksi Kain tenun songket khas Bali setelah tujuh bulan memproduksi kain tenun ikat dibantu enam penenun yang masih tetangganya. "Saya tak mau Selain menjadipenenun, Wayanjuga menjadipedagang kaintenun.pinjam bank, saya menenun songket dari modal sendiri," terang Wayan.

Untuk memasarkan kain tenun itu, Wayan memilih menjualnya sendiri ke sejumlah pasar tradisional di Bali. Wayan menjual sendiri produk kain tenun itu agar perputaran uang lebih cepat. Wayan mengungkapkan, kalau kain tenun itu dia titipkan penjualannya ke toko suvenir, biasanya, pemilik toko itu barumembayar beberapa waktu setelah kain tenun tersebut terjual.

Dengan demikian, Wayan menyandang profesi ganda, sebagai penenun sekaligus sebagai pedagang kain tenun. Namun dengan cara itulah usaha Wayan berkembang dengan pesat. Awal tahun 2000-an Wayan berhasil memiliki 45 alat tenun dengan 45 penenun. Tapi usaha Wayan itu surut setelah peristiwa bom Bali I tahun 2002. Pasca peristiwa tragis itu penjualan kain tenun Wayan menyusut bahkan sebagian alat tcnunnya dia jual. "Produksi turun karena wisatawan turun," kenang Wayan.

Tak hanya sekali cobaan itu datang, setelah tragedi Bom Bali II tahun 2005 usaha Wayan kembali dihantam krisis bahkan dengan skala yang lebih berat. Ia balikan sempat diambang kebangkrutan. "Tapi saya bertahan," tutur Wayan. Masa kelam bisnis kain tenun itu ternyata tidakberlangsung lama Pada akhir 2005, Wayan bertemu dengan warga negara Amerika Serikat (AS) yang merupakan teman lama saat ia masih bekerja di hotel.

Wisatawan itu temyata sudah menetap di Bali karena menikah dengan pria Bali. Dari temannya itulah Wayan banyak menerima pesanan. "Dia memasarkankain tenun saya ke Amerika Serikat dan laku keras," terang Wayan.

Sejak itulah Wayan berhasil bangkit dari krisis hingga saat ini. Dia balikan menambah alat Ipnim menjadi 70 unit yang digawangi 70 orang penenun pula Kini Wayan memproduksi 600 lembar kain tenun ikat (1 lembar = 2 x 2,5 rn) yang dyual Rp 200.000 sampai Rp 400.000 per lembar. Selain itu Wayan juga memproduksi 30 lembar kain tenun songket seharga Rp 2.000.000 per lembar. Dalam sebulan Wayan mampu mengumpulkan omzet Rp 170 juta sampai Rp 200 juta.

Sumber : Harian Kontan
Fitri Nur Arifenie