Halaman

Dari Intrapreneur Menjadi Entrepreneur

plum lama berselang, sebuah harian nasional memuat betila tentang Wu Yvtu, petani berusia 49 tahun di pinggiran Beijing, Cliina. Dia sempat menjadipahlawan di China karena mampu membuat robot rumahan. Robot itu dibuat dari bahan-bahan bekas, seperti kawat hingga baling-baling.

Sebanyak M7 wbot beiiiasil dibuatnya, yang mampu melakukan berbagai pekerjaan. Seperti menuangkan teh, menyalakan korek api, bahkan menggambar. Kreativitas dan inovasinya ini menjadi inspirasi bagi warga China, Robot-robot tersebut tengah dipamerkan di Shanghai World Expo 2010 pada Mei hingga Oktober mendatang.

Padahal, Wu bukan lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia hanya lulusan sekolah dasar yang berlatar belakang keluarga petani. Ini menggelitik diri kita sendiri, yang selama ini nyaman dengan peran sebatas sebagai konsumen. Kita melihat industri hiburan berubah cepat. Perusahaan seperti Nintendo Co.

Ltd. memperluas pasarnya dengan menyasar non-consumers. Yaitu, para anggota keluarga lainnya, khususnya wanita dan lanjut usia, yang biasanya tidak suka beimain game. Kini, mereka ditawarkan terobosan pengalaman bermain game yang lebih menyenangkan, alamiah, dan realistis. Yakni menggunakan sistem kendali kontrol ayun.

Kita juga takjub dengan perubahan model bisnis, yaitu manfaat ditawarkan secara optional sesuai kebutuhan konsumen. Misalnya, membeli buku per bab sesuai kebutuhan, dan menginap di hotel yang you pay for what you want. Jadi hanya disediakan layanan dasar berupa kamar lengkap dengan tempat tidur dan pancuran air panas. Se-lebHmya merupakan pililian seperti AC, handuk, shampo, dan lain-lain.

Ide-ide kreatif ini muncul seakan-akan menjawab dilema value proposition selama ini. Bahwa, banyak produk atau jasa yang overshoot sehingga menjadi terlalu bagus, kompleks, dan akhirnya terialu malial. Padahal, tidak semua manfaatnya dibutuhkan konsumen. Contoh lainnya; handphone berkapasitas memori 4 GB, yang secara relatif seringkali tidak dibutuhkan konsumen sebesar itu.

Dari beberapa contoh itu dapat ditarik benang merah bahwa budaya kreatif yang membawa kepada perilaku inovasi sangat dibutuhkan oleh organisasi bisnis. Sehingga, bisa menghadapi persaingan, mengejar pertumbuhan, dan mengarahkan kelangsungan usaha. Gareth Jones menyebut, orang yang mampu melihat peluang melafalkan perbaikan dan peningkatan nilaisuatu produk dan berperan dalam proses pengembangannya, sebagai Intrapreneur (Organizational Theory, Design and Change, 2007).

Konsep inovasi yang me-ngomersialkan suatu ide kreatif atau temuan seringkali dimaknai oleh para intrapreneur dalam perusahaan sebagai suatu peran terlwr-rnat. Budaya kreatif intrapreneur tidak terbatas pada penemuan produk baru, tapi juga pada mendesain proses baru. Bahkan, seharusnya perusaliaan memberikan perlindungan berupa paten atau hak milik intelektual alas ide-ide kreatif karyawannya jika dikomersialkan.

Para intrapreneur biasanya dapal bekerja dalam struktur fonnal yang berbentuk unit atau tim kerja. Mereka fokus sebagai thinker, dengan segala sumber daya organisasi yang mendukungnya (modal, fasilitas, infrastruktur, staf, dan identitas dari perusahaannya). Namun, setiap karyawan diharapkan dapat menjalankan aktivitas sebagai intrapreneur dengan terus mengembangkan budaya berpikir kreatif.

Muncul tantangan bagi organisasi bisnis maupun intrapreneur ketika persepsi tentang penghargaan atas inspirasi itu menjadi berbeda. Kisah sukses menunjukkan banyak intrapreneur yang tidak puas atas dukungan perusahaan atau frustasi terhadap respon pimpinan atau staf di lingkungan per-usaJiaannya.

Mereka kemudian memuluskan keluar dari perusaliaan dan menjalankan ide kreatifnya dengan membual perusahaan sendiri. William HexvleU dan David Packard adalah contoh para intrapreneur yang meninggalkan perusahaan tempat mereka bekerja. Selanjutnya, inerekamembangun dan menegakkan perusaJtaannya sendiri, yaitu HP. Di kemudian hari, perusahaan ini mampu dengan segera melampaui prestasi kesuksesan perusahaan yang mereka tinggalkan. Dengan kata lain, mereka merupakan intrapreneur yang menjadi entrepreneur.

Biasanya, orang-orang berbakat yang meninggalkan perusahaan lamanya dapat merealisasikan ide kreatifnya dengan lebih leluasa, bebas dari balasan norma-norma organisasi. Namun, tentu saja dengan dukungan sumber daya sendiri pula. Dalam Iud ini, nuiTiuemen inovasi Menjadi vital dan sepatutnya ditangani secara khusus untuk mencegah perginya tenaga-tenaga berbakat tersebut. Sejarah mencatat bahwa manajemen inovasi menjadi kunci penggerak keunggulan bersaing bagi banyak perusaltaan besar.

Terutama perusahaan-perusaliaan yang menginvestasikan kapasitasnya untuk menata manajemen inovasi secara sistematis. Hasilnya sangat luar biasa (Julian Birkinsliaw dan Michael Moi, How Management Innovation Happens. VoL47No.4, 2006). Bagi para intrapreneur dalam organisasi bisnis, prioritas ulama adalah tetap untuk kepentingan organisasi. Yakni melakukan inovasi sekalipun harus dihadapkan pada pilihan sulit antara tetap menjaga atau mengorbankan kenyamanan sekelompok orang akibat suatu ide kreatif dijalankan.

Jika perusahaan bukan lagi sesuatu yang utama, atau jika faktor dukungan sudah menunjukkan keber-pihakkannya, maka itu bisa berarti Anda sudah siap atau bersiap-siap menjadi entrepreneur untttk memulai perusahaan sendiri.