JAKARTA Bank Indonesia menilai masuknya bank besar dan bank asing ke pasar kredit usaha mikro kecil dan menengah di daerah belum perlu dibatasi, karena volume usaha yang belum terjangkau oleh bank perkreditan rakyat (BPR) dan lembaga keuangan mikro masih besar. Pjs. Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan masuknya bank besar dan bank asing sebenarnya diperlukan untuk memperbesar pembiayaan di pasar UMKM karena potensi sektor usaha di daerah itu masih sangat besar yang belum terlayani oleh BPR dan lembaga keuangan mikro.
"Jadi kalau untuk membatasi bank umum ataupun asing ke pasar UMKM di daerah itu belum diperlukan karena daya jangkau BPR masih kurang. Namun, upaya untuk meningkatkan kapasitas usaha dari BPR akan terus diupayakan agar kemampuannya semakin bisa bersaing," ujarnya dalam fit proper test Gubernur BI di Komisi Xl DPR kemarin. Darmin berpendapat meskipun bank umum banyak yang masuk ke pasar kredit mikro di daerah, ternya-ta tidak membuat BPR tertekan. Hal ini terlihat dari kegiatan usaha dan jumlah pelaku usaha yang menunjukkan peningkatan.
Menurut dia, kebijakan bank sentral dalam pengembangan BPR lebih difokuskan pada penguatan kapasitas industri keuangan mikro tersebut baik dari sisi likuiditas maupun dari kemampuan ekspansi dan permodalannya. "Umumnya persoalan BPR pada itu terletak pada kesulitan mendapat dana pihak ketiga karena harus bersaing dengan bank umum, dan itu terus diupayakan agar kebutuhan li-kuiditas dapat terpenuhi. Nanti, kalau daya jangkaunya sudah besar, baru nanti dipikirkan [pembatasan asing]," tegas Darmin.
Namun, Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Said Hartono memaparkan ekspansi bank besar dan bank asing di pasar UMKM lebih banyak menggerus pembiayaan di pasar perdagangan. Padahal, lanjut dia, sektor perdagangan yang sejak lama menjadi segmen garapan terbesar BPR.
Sektor perdagangan
Hal itu, katanya, membuat posisi BPR kalah bersaing dengan bank besar terutama yang dimiliki asing yang memiliki dukungan modal dan kapasitas pelayanan yang jauh lebih besar.
"Realitasnya masuknya bank besar ke UMKM itu lebih banyak masuk ke perdagangan, yang membuat posisi BPR tersingkir karena pasarnya menjadi terlalu padat. Padahal di segemen pasar UMKM lainnya masih banyak yang belum tergarap seperti pertanian dan nelayan."
Said menganjurkan jika bank besar tidak dapat dibatasi masuk ke pasar UMKM seharusnya bank sentral bisa mengatur segmentasinya agar tidak masuk ke perdagangan, dan lebih diarahkan menggarap segmen yang belum banyak disentuh sepertipertanian dan nelayan tersebut.
Dia menambahkan untuk meningkatkan kapasitas ekspansi BPR seharusnya pembentukan bank induk (apex) bagi BPR nasional segera direalisasikan, agar persoalan likuiditas yang menghambat kemampuan daya jangkau itu bisa terus diperbaiki.
"Sebenarnya ada banyak persoalan yarfg harus segera dibenahi dalam upaya meningkatkan kapasitas BPR seperti pembukaan cabang jangan dipersulit, akses dana murah yang sangat terbatas, dan arus dana asing harus dikendalikan jangan sampai bisa masuk langsung ke koperasi. Itu yang terjadi sekarang."
Berdasarkan data Bank Indonesia per Juni 2010, jumlah aset industri BPR terus tumbuh mencapai Rp40,72 triliun dari posisi akhir tahun lalu Rp37,55 triliun.Penopang pertumbuhan aset itu, tidak lepas dari ekspansi pembiayaan sebesar Rp31,49 triliun pada akhir semester 1/2010.
Pada periode itu, dukungan likuiditas juga masih bergerak seimbang terhadap peningkatan kredit dengan jumlah dana yang dimiliki sebesar Rp32,86 triliun.
Memang rasio kredit terhadap dana (loan to deposit ratio/ LDR) tergolong ketat mencapai 96%. [fa-jar.sidik@bisnis.co.id/hendri.aswom bisnis.co. id)