Halaman

Sektor UMKM Pangkas Produksi 50%

JAKARTA - Pelaku usaha sektor mikro kecil dan menengah (UMKM) akan memangkas produksi hingga 50%, seiring kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% pada Juli dan elpiji 12 kg Rp 8.000. Produksi terpaksa dipangkas karena ongkos produksi membengkak dan harga jual tidak dapat dinaikkan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia (Apebi) Chris Har-dijaya mengatakan, jika TDL naik 10-15%, biaya produksi naik sekitar 3%. Sedangkan kenaikan harga gas sekitar Rp 8.000 akan mendongkrak ongkos produksi hingga 8%.

"Perusahaan tidak bisa menaikkan harga jual karena daya beli masih lemah. Satu-satunya pilihan hanya memangkas produksi, bisa hingga 50%. Akibatnya adalah PHK (pemutusan hubungan kerja). Jadi, kenaikan TDL dan gas itu akan memicu efek domino dan psikologis langsung dan tidak," kata Chris di Jakarta, Rabu (3/6).

Chris mengatakan hal itu di sela-sela pertemuan Forum Komunikasi Antar Asosiasi Nasional. Forum ini secara tegas menolak kenaikan TDL dan harga gas.Beberapa asosiasi yang tergabung dalam forum ini antara lain Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia (Apebi), Gabungan Perusahaan (GP) Jamu Indonesia.

Selain itu, forum ini juga didukung oleh Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi), Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa, Paguyuban Jamu Gendong, Asosiasi Perusahaan Daging Olahan (Nampa), Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), dan Paguyuban Selaras Martabak Lebak Siu Tegal.

Chris melanjutkan, saat ini terdapat sekitar 970 perusahaan roti anggota Ape-bi. Dari jumlah itu, hanya 10 perusahaan yang masuk ke dalam industri besar, sedangkan sisanya merupakan UMKM.

Produsen UMKM, kata dia, rata-rata menggunakan empat tabung per hari untuk memproduksi sekitar 10-12 ribu potong (pieced) kue per hari. Sejauh ini pengusaha UMKM tidak mampu membeli oven otomatis yang harganya Rp 100 juta per unit

Senada dengan Chris, Bendahara Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa Sarkijan menyatakan, kenaikan biayaproduksi tidak dapat diteruskan ke konsumen. Menurut dia, kenaikan TDL dan harga gas elpiji 12 kg akan menambah beban produksi mi ayam hingga 90% menjadi Rp 540 dari sebelumnya Rp 200 per porsi.

"Kalau kami menaikkan harga dari Rp 5-6 ribu per porsi untuk gerobak menjadi Rp 8 ribu bisa-bisa konsumen membeli mi ayam hanya menjadi dua minggu sekali dari saat ini rata-rata seminggu tiga kali. Daya beli konsumen tidak mampu menjangkau kenaikan itu," ujar dia.

Menurut dia, kenaikan harga akan menurunkan omzet pedagang mi ayam. Saat ini saja, kata dia, omzet sudah turun sekitar 60%. Jika tadinya pedagang dapat menjual 250-400 porsi, kini penjualan hanya mencapai 200 porsi per hari.

Sementara itu, Wakil Ketua Paguyuban Selaras Martabak Telor dan Ma-nis Lebak Siu Tegal Muchji mengaku sulit mendapatkan tabung gas elpiji 12 kg dan 3 kg di pasaran. "Biasanya menggunakan 30 tabung, sekarang cuma mendapatkan 10 tabung saja. Yang 12 kg sudah mulai hilang," kata Muchji.

Pengurus Paguyuban Pedagang Jamu Gendong Eka Susanto mengatakan, pedagang jamu umumnya menggunakan gas tabung 12 kg untuk memproduksi jamu dan kebutuhan rumah tangga.

"Kami tidak mempunyai perhitungan dampak kenaikan harga gas. Tapi, berdasarkan kondisi saat ini, dengan untung yang tipis tidak cukup untuk kehidupan kami. Belum lagi kalau harga gas naik, untung semakin menipis karena tidak bisa menaikkan harga jual," kata Eka.

Koordinator Forum Komunikasi Antar Asosiasi Nasional Franky Sibarani meminta pemerintah berpihak kepada rakyat dalam memutuskan kenaikan TDL Sebelumnya, kata dia, lintas asosiasi telah mengajukan petisi keberatan kenaikan TDL ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Mei lalu.

"Pemerintah harus melihat kembali kebijakan yang mereka buat karena dampaknya sangat luar biasa. Ekonomi saat ini juga belum pulih 100%. Berdasarkan pertemuan kami sebelumnya, pemerintah berjanji menentukan kepastian mengenai harga gas dan TDL," tutur Franky.