Business Development Services (DBS) Harmoni Jakarta mempertanyakan ketepatan penggunaan APBN guna mendorong produktivitas pelaku usaha kecil menengah (UKM) berstatus petani garam, karena belum ada indikasi pengurangan ketergantungan impor atas komoditas itu.
"Pemerintah setiap tahun memberi bantuan peralatan mesin untuk membantu pengolahan pembuatan garam, tetapi tidak didorong oleh semangat agar petani bisa mandiri..Bantuan itu akhirnya mubazir tanpa hasil," ujar Idrus Zein, Ketua DBS Harmoni kepada Bisnis, kemarin.
Oleh karena itu, organisasi itu meminta Kementerian Perindustrian melakukan pemberdayaan secara tepat guna sekaligus memastikan hasilnya agar pertanggungjawaban terhadap penggunaan APBN bisa dilaporkan sesuai dengan hasil program tersebut. Menurut Idrus, bantuan tersebut perlu dipertanyakan manfaatnya agar APBN tidak terbuang percuma. Dia bahkan mengusulkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut penggunaan uang rakyat itu jika tidak tepat sasaran.
Keterlibatan KPK ini juga untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan impor garam yang masih terus dipertahankan, karena petani garam masih banyak menerima penjualan di bawah Rp ISO per kg, sedangkan harga garam di pasar modern mencapai Rp 5.OOO per kg. Garam, katanya, mudah diproduksi karena didukung melimpahnya air laut dan lahan produksi di berbagai sentra di Indonesia. Akan tetapi, menjadi pertanyaan, karena ternyata tidak ada kesadaran pemangku kepentingan untuk menciptakan swasem-bada garam.
Akibatnya, sekitar 63% dari kebutuhan garam nasional (data 2008) masih diimpor, dan akan menjadi ketergantungan yang terus berlangsung dalam beberapa dekade ini. Jumlah ini belum termasuk garam selundupan
Adapun, teknologi budidaya garam yang dikembangkan di sentra garam Indramayu, Jawa Barat, dalam 3 tahun terakhir, belum mendapat perhatian instansi terkait. "Mindset pejabat selalu mengambil jalan pintas, tidak perlu repot, lalu diimpor. Ini kultur yang memalukan."
Produktivitas stagnan
Indonesia menurut data PBB (periode 2008) tercatat sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat dunia dengan lahan potensial 34.000 hektare (ha). Namun, yang telah dimanfaatkan untuk lahan produksi hanya seluas 18.000 ha.
Memang ada argumentasi pemerintah bahwa kualitas garam petani masih rendah, kotor dan lembek. Jumlahnya juga masih jauh dari kebutuhan dalam negeri, yakni sekitar 3 juta ton per tahun. "Namun, anggaran bagi program pengembangan petani garam yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah, justru menjadi pertanyaan. Sebab, peningkatan kapasitas terhadap produktivitas produksi garam tetap tidak beranjak.
Ambisi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk merevitalisasi pertambakan garam nasional terganjal keterbatasan anggaran. Hingga kini, pemerintah mengaku belum mendapat kepastian alokasi dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang siap dikucurkan untuk mencapai target swasembada garam konsumsi sebesar 1,7 juta ton, pada 2012.