Mewaralabakan semua jenis usaha telah menjadi tren yang kian digemari pelaku bisnis di Indonesia saat ini. Berbagai produk seperti burger, ayam goreng, singkong goreng, pisang goreng, martabak, hingga merambah ke dunia pendidikan, properti, pijat dan banyak lagi, semua diwaralabakan. Aneka motif dan dampak di balik fenomena ini patut dicermati oleh pewaralaba dan terwaralaba
Perkembangan waralaba di Indonesia, termasuk memperhitungkan keberadaan business opportunity, memang luar biasa Pada 2009, Kementerian Perdagangan mencatat, jumlah waralaba sebanyak 1.010 usaha yang terdiri dari 260 asing dan 750 lokal, dengan jumlah gerai 42.900 unit yang menyerap 819.200 tenaga kerja Di 2010, jumlah ini akan meningkat lagi mengingat antusiasme para pebisnis yang terus mewaralabakan usahanya dan semangat kewirausahaan dari berbagai kalangan yang telah menjadi gerakan .nasional.
Bentuk usaha waralaba dianggap sebagai sarana yang paling tepat ketika seorang pemula hendak memulai usaha untuk pertama kalinya. Ini bukan tanpa alasan. Waralaba menjanjikan format bisnis yang telah baku sehingga calon wirausahawan tidak perlu memulai usahanya dari nol. Waralaba juga menyediakan jasa konsultasi dan pelatihan bagi terwaralaba dalam mengembangkan bisnisnya Waralaba menjamin ketersediaan bahan baku dan promosi yang berkelanjutan untuk pembangunan merek. Singkat kata, waralaba menjanjikan kemungkinan yang lebih besar bagi terwaralaba untuk sukses ketimbang memulai usahanya sendiri.
Kadang janji tidak seindah kenyataan. Ada pewaralaba yang abai dengan kewajiban-kewajibannya. Konsultasi dan pelatihan hanya diberikan ketika terwaralaba baru akan membuka usahanya Setelah itu, terwaralaba dilepas bagai anak yang hilang. Format bisnis yang dijanjikan ternyata banyak mengandung kelemahan dan tidak standar. Terwaralaba "ditinggalkan" sendiri, tanpa dukungan memadai dari pewaralaba. Pewaralaba malah lebih aktif mencari terwaralaba baru. Alhasil, banyak terwaralaba gagal.
Motif pewaralaba Ada motif yang kuat mengapa pewaralaba lebih agresif menarik terwaralaba baru. Coughlan dan kawan-kawan (2007) menguraikan, alasan mengapa pebisnis mewaralabakan usahanya dan giat mencari investor baru.
Pertama, pebisnis menginginkan usahanya tumbuh dengan cepat. Pebisnisdengan ide yang unik menginginkan dirinya sebagai yang pertama di pasar sebelum pesaing meniru. Waralaba juga dianggap sebagai strategi yang tepat ketika pasar terfragmentasi dan tanpa merek yang kuat. Dalam posisi demikian, pebisnis dapat membangun merek sebelum pesaing melakukannya Waralaba bagian dari sarana untuk membangun merek.
Kedua, pertumbuhan gerai waralaba yang cepat akan memungkinkan bagi pebisnis untuk mencapai skala efisiensi secara cepat pula, sehingga dapat menekan biaya operasi. Daya tawar mereka terhadap pemasok akan kian kuat jika memiliki gerai yang banyak, sehingga memungkinkan memperoleh harga terbaik. Pewaralaba juga tidak perlu merekrut banyak pegawai untuk mengoperasikan sekian banyak gerai. Terwaralaba yang akan menangani. Pewaralaba hanya perlu memperkerjakan pegawai yang memonitor operasional di lapangan.
Ketiga, pebisnis ingin memperoleh akses modal secara cepat untuk mendukung ekspansi. Hal ini amat riskan jika hanya mengandalkan modal sendiri. Apalagi bila memilih altematif go public yang mesti memenuhi sejumlah syarat yang tidak mudah. Usaha yang berbasis UKM tentu mengesampingkan kemungkinan ini dan mereka lebih memilih untuk mewaralabakan usahanya
Keempat, pebisnis memanfaatkan semangat kewirausahaan untuk memperoleh orang yang tepat untuk mendukung usahanya agar tumbuh dengan cepat, namun tetap dalam pengendalian yang ketat. Dengan merekrut terwaralaba yang masih bersemangat dalam berwirausaha, pebisnis dapat menjadikan terwaralaba sebagai konsultan. Sebagai pihak yang mengimplementasikan berbagai program di lapangan, mereka dapat memberikan berbagai ide yang bisa jadi lebih bagus daripada pewaralaba
Agresivitas pewaralaba yang lebih me-nekankan pada pertumbuhan tentu saja merugikan keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Howard Schultz, pendiri Starbucks, mengkritik bentuk waralaba yang dianggapnya membuat bisnis terlalu ekspansif tanpa dapat menghentikan berbagai masalah yang timbul. Seperti merekrut orang yang salah, kehilangan kendali operasi, berkompromi terhadap kualitas atau menempati lokasi yang salah. Kesalahan-kesalahan tersebut menyebar melalui sistem yang terbentuk dan menjadi masif.
Tak semua bisa diwaralabakan Di samping itu tidak semua bentuk usaha dapat diwaralabakan dalam arti yang sesungguhnya Couglan dan kawan-kawan (2007) menyebutkan, bentuk subsidiary (anak perusahaan) lebih tepat daripada waralaba jika format bisnis tidak biasa (sangat unik) dan sulit untuk dikodiflkasi (ditulis dalam bentuk peraturan mengenai standar).
Pemerintah pun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 menye but, syarat suatu usaha layak disebut waralaba adalah memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan dan barang/jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasi, ada dukungan yang berkesinambungan, dan ada hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Banyak usaha yang mengklaim dirinya sebagai waralaba belum memenuhi syarat ini.
Pemula yang ingin menjadi wirausahawan melalui waralaba tentu saja harus berhati-hati menghadapi berbagai jenis usaha yang diwaralabakan, karena banyak waralaba "jadi-jadian", bukan waralaba dalam arti sesungguhnya. Kerugian terbesar akibat waralaba jenis ini tentu saja ada di pihak terwaralaba
Bagi pebisnis yang ingin terus berekspansi, waralaba bukanlah sarana yang tepat jika format bisnis yang ditawarkan belum benar-benar mapan. Sebelum suatu usaha diwaralabakan, yakinkan bahwa nilai yang ditawarkan kepada pelanggan telah memenuhi atau bahkan melebihi apa yang diharapkan. Nilai pelanggan seperti yang dikemukakan Kotler dan Keller (2009) merefleksikan jumlah benefit dan biaya berwujud dan tidak berwujud yang dipersepsikan oleh pelanggan. Jadi, nilai merupakan kombinasi antara kualitas, jasa, dan harga
Untuk menyampaikan nilai pelanggan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan, tentu diperlukan upaya berkelanjutan dan tidak dalam waktu singkat. Waralaba yang dibangun dengan nilai pelanggan yang lemah akan menghasilkan bentuk waralaba yang rapuh. Pertumbuhan bisnis yang amat cepat bukan segalanya. Mempertahankan keberlanjutan bisnis dalamjangka panjang justru akan dikenang sepanjang masa .