Lulusan perguruan tinggi selama Ini cuma berorientasi mencari pekerjaan, bukan berupaya membuka lapangan pekerjaan baru. Sebagian mahasiswa Indonesia cuma memburu gelar akademis, karena dengan nama yang dijepit gelar, merasa dirinya lebih intelek.
INI sangat disayangkan. Berdasarkan hasil Studi Cepat Pendidikan Kewirausahaan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), orientasi lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), dan kejuruan (SMK) hingga universitas di Indonesia, cuma mencari kerja dan menjadi karyawan. Bukan berwirausaha dan menjadi pengusaha.
Menurut data Global Entrepre-neurship Monitor, sepertiga pertumbuhan ekonomi dihasilkan melalui kegiatan wirausaha. Di Amerika, setiap tahun penduduknya menciptakan 600 ribu-800 ribu usaha baru dan 2 juta penduduk membuka usaha sendiri (self-employment ventures).
"Amerika saja yang negara besar mau berwirausaha, mengapa negara kita tidak mampu?" ujar anggota Studi Cepat Pendidikan Kewirausahaan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah Kemente-rian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dwi Larso saat seminar Studi Cepat Pendidikan Kewirausahaan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menyayangkan, sebagian besar sekolah baik SD maupun SMP belum menanamkan pola pikir dan karakter berwirausaha sejak dini. Padahal, pendidikan kewirausahaan akan cfektifjika diterapkan mulai tingkat yang paling dasar. Kekurangan lainnya adalah kebijakan pendidikan wirausaha di jenjang pendidikan tinggi untuk mencetak lulusannya menjadi seorang wirausaha, tampaknya belum membuahkan hasil maksimal.
"Sulitnya wirausaha berkembang karena dari 10 orang yang menjalankan bisnis wirausaha, biasanya hanya empat yang berhasil, dua biasa-biasa saja, dan sisanya gagal. Hal ini membuat lulusan sekolah menengah atas enggan berwirausaha dan memilihjadi buruh pabrik." sesalnya.
Untuk menghindari jumlah pengangguran terdidik tidak bertambah setiap tahun, sarjana dan lulusan sekolah mesti mampu membuka lapangan pekerjaan atau berwirausaha. Menurutnya, Pendidikan wirausaha mesti diubah pola pikirnya, wirausaha tidak melulu harus berkaitan dengan bisnis, tetapi wirausaha juga berkaitan dengan bidang sosial.
"Kewirausahaan bukan hanya semata bisnis, tapi lebih memprioritaskan proses kreativitas dan inovasi yang memberikan nilaitambah," kata Freddy Mungcr dari AusAid (Australia Agency for International Development yang juga menjadi pembicara pada seminar itu. Komponen kewirausahaan selain bisnis, tambah Freddy, juga harus ditanamkan. Komponen itu meliputi kreativitas, inovasi, inisiatif, pantang menyerah, ulet, percaya diri, mandiri, nyaman terhadap perubahan dan ketidakpastian, sikap positif dan optimistis. Kejujuran, sportivitas, keberanian mengambil risiko, kerja sama dan kolaborasi, getolmencari peluang, dan semangat berprestasi.
Selain itu, metode pembelajaran pendidikan kewirausahaan, sambung Dwi, perlu dilaksanakan melalui mata ajar sendiri yang diberikan dalam bentuk muatan lokal. "Aspek positifnya jika diterapkan dalam pendidikan kewirausahaan sendiri menjadi jelas siapa yang bertanggung jawab. Meski aspek negatifnya guru tidak merasa bertanggungjawab menanamkan jiwa wirausaha. Oleh karenanya, perlu koordinasi di tingkat sekolah," tegasnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Kcmendiknas Agung Purwadi menambahkan, ada tiga kategori pendidikan kewirausahaan yang bisa diterapkan di sekolah.
Pertama, tingkat terbatas yang menerapkan satu mata pelajaran. Misalnya, muatan lokal imtuk seluruh siswa. Kedua, tingkat memadai dengan menerapkannya di beberapa mata pelajaran yang terintegrasi ditambah kegiatan terkait bisnis. Ketiga, tingkat penuh mengikuti siklus bisnis dan siswa menjalankan bisnis secara nyata. NOV