KETUA Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Nurdin Halid berharap badan usaha koperasi bisa menjadi konglomerat. Karena itu, Dekopin sedang mendisain suatu program untuk menciptakan pelaku koperasi bisa me-ningkat derajatnya. Caranya dengan mengidentifikasi peraturan-peraturan yang dinilai menghambat atau merugikan pertumbuhan gerakan koperasi untuk bisa menjadi pelaku ekonomi nasional.
"Kalau dulu koperasi bekerja hanya pelayanan kepada para bisnis anggotanya kini dirancang agar koperasi bisa menjadi konglomerat. Kalau koperasi sudah menjadi konglomerat, maka yang konglomerat itu anggota kope-rasinya bukan pengusaha perorangan dan ini seauai dengan pasal 33 UUD 45." katanya.
Untuk itu, lanjut Nurdin, Dekopin dan bersama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) berupaya untuk mengamandemen UU koperasi Nomor 25 lahunn 1992 yang memberi ruang gerak lebih luas kepada gerakan koperasi memilik lapangan ekonomi yang lebih besar.
Menyinggung tentang diberlakukannya perdagangan bebas Asean dan Perdagangan Bebas Cina dan AFTA (ACFTA), Nurdin Halid menegaskan, gerakan koperasi Indonesia siap mendukung pemberlakuan ACFTA."Jadi di tengah-tengah adanya pernyataan sektor ekonomi lainyang belum siap, maka gerakan koperasi harus siap, menghadapi AFTA," ucapnya.
Sementara, Ketua Dewan Penasehat Dekopin Adi Sasono meminta pemerintah perlu menurunkan tingkat suku bunga untuk koperasi dan UMKM. Tingkat suku bunga KUR untuk koperasi dan UMKM sebesar 14 hingga 22 persen, bisa diturunkan karena dana masyarakat yang diserap bank rata-rata diberikan tingkat suku bunga rata-rata a 6 sampai 7 persen..
Adi Sasono menilai kalau selisih lingkat suku bunga yang diambil industri perbankan sampai 7 persen itu terlalu tinggi, karena rata-rata di perbankan internasional itu selisih maksimum hanya 3 persen. "Jadi kalau bank kita minta sampai 7 persen itu tidak efisien dan tidak adil untuk orang kecil," ucapnya menambahkan.
Dalam pada itu Menteri Syarif Hasan mcnegaskanuka badan usaha koperasi perlu meningkatkannilai tambah produk-produk pertanian seperti kakao di berbagai sentra produksi di Indonesia, agar produk tersebut memiliki daya saing di pasar dunia.
"Kita belum pernah, mendengar ada cokelat made in Indonesia, yang ada hanya cokelat made in Swiss, Holand. atau Malaysia," tegasnya. Dikatakannya, di Indonesia banyak koperasi yang menangani komoditas cokelat seperti misalnya di Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra produksi cokelat Koperasi-koperasi tersebut harus berani memberikan nilai tambah terhadap produk cokelat mereka.
Jika koperasi itu mampu meyakinkan konsumennya bahwa cokelat produksinya tidak kalah dengan produk asing maka koperasi akan mendapatkan rev ernie yang lebih besar.Untuk pihaknya segera memberikan edukasi kepada petani termasuk koperasi dan UKM yang bergerak di sektor komoditas cokelat.