Bahwa kaum muda identik sebagai pendobrak jaman dan kemapanan juga terbukti di dunia bisnis. Kali ini adalah dengan munculnya fenomena Distribution Outlet (Distro). Inilah bisnisnya anak muda yang dilandasi oleh youth culture. Berbeda dengan lazimnya bisnis yang melayani atau mengikuti selera pasar, Distro muncul justru menciptakan pasar.
"Distro adalah sebuah konsep yang bukan lagi melayani pasar, namun telah berhasil membentuk pasar," ujar Yusran Munaf, mantan pejabat Departemen Perindustrian, saat menjadi pembicara dalam Seminar tentang Fenomena Distro di hotel Naripan, Bandung beberapa waktu yang lalu.
Distro mulanya adalah keinginan sekelompok anak muda yang ingin tampil beda. Budaya inilah yang memicu dibuatnya produk dengan desain kreatif secara terbatas, umumnya untuk konsumsi kelompok atau komunitasanak-anak muda. Baik itu berupa produk pakaian, asesoris maupun aneka keperluan anak-anaka muda. Tak sekadar tampil beda tentunya, produk Distro juga dilandasi keinginan untuk membuat produk berkualitas namun tidakmeniru atau mengekor pada produk dengan label yang sudah mapan. Produk Distro umumnya lebih orisinil serta eksklusif meski awalnya dilakukankan secara sederhana serta untuk kalangan terbatas.
Eksklusifitas inilah yang men- ciptakan pasar tersebut. Semula untuk kelompok komunitas kelo-mok anak muda. Uniknya, pasar produk Distro ini begitu cepat menyebar. Lagi-lagi membentuk pasar baru yaitu kelompok anak muda lainnya di berbagai kota. Meski menyebar lebih luas, produk Distro ternyata masih juga diproduksi secara terbatas. Upaya untuk menjaga tampil beda bagi konsumennya.
Kendati demikian produk Distro bukan berarti jago kandang. Pasalnya, saat dibantu mediasi oleh Departemen Perindustrian untuk mengikuti pameran di Singapura, produk anak gaul ini mendapat antusias pengunjung. "Ini membuktkan bahwa desain lokal bisa bersaing dengan desain dari Negara yang telah mapan," papar Yusran.
Rupanya dunia bisnis tidak mengenal eksklusifitas yang diusung oleh Distro. Buktinya dalam perkembangannya Distro malah mewabah layaknya fenomena Factory Outet (FO). Distro yang semula bermunculan di Bandung dan Jakarta, kini bermunculan di kota-kota besar lafnnya. Perkembangan ini telah membawa persaingan yang ketat.
Persaingan antar para pengelola Distro membuat masing-masing melakukan strategi bisnis tersendiri. Harga relatif mahal tak lagi penting sebagai cirri yang dipertahankan. Akibatnya, Distromautidakmau harus semakin menyadariterbawa arus menjadi layaknya Outlet kebanyakan. Eksklusifitasyang menjadi kharakteristiknyamulai tergerus.
Penjiplakan berlangsung pula di bisnis Distro yang sebenarnya justru menjual eksklusifitas. Tampaknya, dunia desain yang menjadi tulang punggung produk Distro memang mudah di tiru. "Ini menjadi isu sentral yakni pelanggaran hak cipta," ujarnya. Kondisi ini memang perlu mendapat per-hatian yang serius agar bisnis yang sebenarnya mampu menciptakan pasar ini tidak mundur.
Saat ini memang mulai bertebaran Distro, baik di Bandung sebagai cikal bakal di Indonesia maupun di berbagai kota besar lainnya. Hanya saja selain ada yang benar-benar berideologi Distro ada pula yang hanya berorientasi bisnis. Kelompok terakhir inilah yang tampaknya mencederai kemurnian bisnis yang mampu menciptakan pasar Ini.
Guna menghadapi berbagai tantangan dan menjalin kebersamaan itulah, bisnis yang menyisir pasar anak muda ini membentuk komunitas yang dinamakan Kreatif Independen Clohting Komuniti (KICK). Seakan kebetulan KICK ini terdiri dari para pemilik Distro yang umumnya adalah anak-anak muda berusia 21-30 tahun yang tersebar di Bandung.