" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Meski Pasokan Bakan Baku Seret, Omzetnya Tetap Menawan

23/12/2011
Meski Pasokan Bakan Baku Seret, Omzetnya Tetap Menawan


Meningkatnya jumlah penggemar olahraga golf membawa berkah bagi produsen sarung tangan golf. Dengan modal bahan baku kulit domba dan kulit imitasi, pembuatan sarung tangan golf mampu menghasilkan omzet puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan.

OLAHRAGA golf dikenal sebagaiolahraga prestise karena banyak disenangi oleh kalangan atas yang berkantong tebal. Maklum olahraga ini butuh modal besar. Selain biaya untuk sewa tempat bermain, olahraga ini butuh peralatan yang juga tak murah.

Selain stik dan bola golf, permainan golf juga butuh sarung tangan. Tentu jangan menyamakan sarung tangan golf dengan sarung tangan pada umumnya Sarung tangan golf ini di desain dengan kemampuan cengkram lebih kuat. Bahkan, sarung tangan golf punya standar tertentu jika digunakan untuk pertandingan.

Peluang memproduksi sarung tangan golf inilah yang dilirik Handonowarih, pemilik Sekar Wyaya Glove di Jakarta. Ia sudah memproduksi sarung tangan golf sejak 2005 lalu.Pria berusia 47 tahun ini melayani permintaan sarung tangan golf untuk kebutuhan pasar ritel maupun pembelian skalagrosir daii toko-toko olahraga. "Permintaan tidak hanya datang dari kota-kota di Jawa saja, tapi hampir merata dari seluruh kota besar di Indonesia," terang Handono.

Saban bulan, Handono bisa menjual 3.000 pasang sarung tangan golf yang terbuat dari kulit ataupun yang ferbuat dari balian kulit sintesis. Soal harga, Handono membande-rolnya mulai Rp 15.000 sampai Rp 40.000 per pasang.

Walaupun hanya melayani |M[inintaan dalam negeri, Handono mampu mencetak omzet Rp Mid ima perbulan. Ia bilang, penjualan tertinggi biasanya datang pada Januari sampai Maret. "Pada masa itu cuaca lagi baik, sehingga banyak yang menggelar turnamengoli," terang Handono.

Walaupun bisnisnya terbilang lancar, Handono mengaku punya kendala ketersediaan bahan baku. Ia bilang, pasokan balian bakukulit domba yang tersendat membuat harga kulit sering inilanihung. Sementara harga Ki lit impor juga fluktuatif karena harga mengikuti kurs dolar.

Dampak kenaikan harga bahan baku tentu mempengaruhi bisnis ini. Jika harga bahan baku melejit, Handono harus rela mengurangi margin labanya. "Kalau saya naikan hargajual, langganan bisa pergi," terang Handono. Itulah sebabnya, ia hanya mengutip laba paling paling tinggi 30% dari omzet. Selain Handono, ada Andini Juwarno, pembuat sarung tangan golf di Jakarta. Pemilik Key Art Shop itu mulai memproduksi sarung tangan golf sejak 2007. Saat ini, dengan dibantu lima karyawan, Andini sudah mampu membawa pulang omzet Rp 50 juta per bulan. "Dulu awal-awal usaha omzet saya hanya Rp IB juta per bulan," kata Andini.

Sarung tangan golf yang diproduksi oleh milik AndinL itu iliiual mulai dari harga Rp 20.000 sampai Rp 35.000 per pasang. Berbeda dengan Handono, Andini Iebih banyak memasarkan sarung tangan golf itu untuk kebutuhan klub golf. Selain itu ia juga memasarkannya imtuk karyawan di perusahaan swasta, terutama yang punya klub golf. "Kebanyakan konsumen saya berada di Jabodetabek," ungkap Andini.

Andini menjelaskan, permainan golf tidak lagi didominasi kalangan kelas alas saja. Banyak pebisnis muda dan juga eksekutif muda mulai terjun ke olahraga ini. "Tapi olahraga golf ini masih segmenled," ujar Andini.
Namun untuk bahan baku Andini tak lagi mengandalkan pasokan kulit dari domba lokal. Ia mengaku lebih banyak menggunakan bahan baku kulit domba impor karena kualitasnya yang

Sumber : Harian Kontan
Fahriyadl, Ragil Nugroho


Olah Kulit Ular Setelah Batal Jadi Manajer

23/12/2011
Olah Kulit Ular Setelah Batal Jadi Manajer


Sebagai lulusan akademi perhotelan, Agus Suryadi juga sempat meniti karir di perhotelan. Namun setelah dua tahun, Agus memutuskan berhenti dan pulang ke Garut. Di kampung halaman ini, Agus justru sukses membangun bisnis kerajinan dari kulit ular, seperti dompet, ikat pinggang, hingga tas.

GAGAL meraih sesuatu yang diharapkan tentu menyedihkan. Namun larut dalam kesedihan tentu malah menutup pintu sukses. Demikian pula yang dilakukan Agus Suryadi. Meski gagal jadi manajer hotel seperti yang ia cita-citakan, pantang bagi Agus untuk meratapinya

Dengan gagah berani dan kepala tegak, Agus pulang ke kampung halamannya di Garut, Jawa Barat, dan memulai langkah hidup yang baru. Di kampung, pria yang kini berusia 38 tahun itu, mulai meniti usaha yang jauh dari "gelamya" sebagai alumni sekolah perhotelan. "Dari kecil saya ingin tampil rapi layaknya pekerja kantoran," kenang dia.

Agus memang sempat bekeija di hotel, namun karier sebagai manajer belum sempat ia genggam. Pada 2005, memilih karier baru sebagai perajin kulit ular. Tepatnya pada 2005, untuk memperlancar usaha barunya ini, Agus mendirikan perusahaan bernama CV Aditama Mandiri.

Kini, usaha itu telah menampakkan hasilnya Setelah enam tahun berjalan, usaha kerajinan itu berkembang pesat. Beragam produk kerajinan berhasil ia produksi seperti tas, dompet, hingga ikat pinggang yang kini laris manis di pasaran.

Dalam sebulan, pria yang hobi memasak itu mampu mendulang omzet Rp 150 juta. Omzet itu berasal dari penjualan kerajinan di dalamnegeri dan liasi] ekspor kerajinan, terutama ke Malaysia dan Brunei Darussalam.

Rencananya, tahun depan nanti, Agus berharap bisa ekspor ke Qatar dan juga Arab Saudi. Agus mengungkapkan, ia sudah mendapatkan mitra di dua negara di Timur Tengah itu. "Mereka ada yang tertarik untuk bekerjasama dengan saya," kala Agus.

Tindak lanjut dari kerjasama itu adalah pengiriman sampel kerajinan. Agus bilang, November lalu ia sudah mengirimkan 50 jenis kerajinan kulit ular sebagai contoh dagangan. "Mereka tertarik, tapi baru tahun depan saya bisa melayani pesanannya," ujar Agus.

Untuk memproduksi kerajinan dari kulit ular, Agus mendapatkan pasokan balian baku dari pedagang ular yang ada di sekitar Garut Agus tidak membeli kulit ular bentuk jadi, ia mengaku membeli ular dalam kondisi masih hidup. "Ada beberapa pemasok yang sudah bekerjasama dengan saya," jelasnya

Setelah ular disembelih, Agus terlebih dahulu memisahkan kulit ular dari badan. Setelah terpisah, daging ular kemudian dijual ke produsen makanan abon ular di Jakarta, Bogor, dan Bandung.Sementara kulit ular dipanaskan ke dalam oven sampai kering. Setelah kering, kulit ular itu digulung mirip gulungan obat nyamuk. "Setelah di gulungan kulit ular itu sudah bisa diolah menjadi aneka kerajinan," ujar Agus.

Setelah kulit ular itudisulap menjadi kerajinan tas, dompet dan ikat pinggang, Agus memberi merek Flash dan membanderolnya mulai harga Rp 50.000 sampai Rp 500.000 per pieces. Tentu Agus tidak sendiri mempro-Kalau saya bekerja di hotel, belum tentu bisamembuka lapangan kerja.duksinya Ia dibantu oleh tujuh karyawan.

Sebelum membangun bisnis kerajinan kulit ular, Agus pernah bekerja di sriMKili hotel di Bandung pada 1998. Waktu itu ia bekerja sebagai karyawan kontrak tanpa memiliki jaminan hari tua. "Jika kontrak selesai, kami diminta bikin kontrak baru lagi, tanpa masa depan," kenang Agus.

Setelah setahun bekerja, Agus mencoba untukbertahan untuk mengejar cita-cita menjadi manajer hotel. Namun tahun kedua Agus memutuskan mundur dan memupus cita-cita menjadi manajer hotel.Agus pun pulang kampung ke Garut. Di kota kelahirannya itu, ia sempat membuka usaha sebagai agen travel, membuka toko alat tulis kantor (ATK) hingga membuka bengkel sepeda motor. "Semuanya malah rugi," kenang Agus.

Setelah mencoba berbagai usaha, barulah Agus menemukan usaha pembuatan kerajinan dari kulit ular. "Garut tidak hanya dikenal dengan potensi kulit domba saja tapi juga ada potensi kulit ular," ungkapnya
Hasil produksi kerajinan kulit ular itu banyak digemari di beberapa daerah. Inilah yang menyenangkan Agus, "Kalau saya bekeija di hotel, belum tentu saya bisa membuka lapangan pekerjaan," ujar Agus.

Sumber : Harian Kontan
Ragil Nugroho


Membangun Peternakan bagi Warga Desa

22/12/2011
Features Budi Susilo Setiawan
Membangun Peternakan bagi Warga Desa


Kesuksesan Budi Susilo Setiawan membangun peternakan Mitra Tani Farm (MT Farm) tak luput dari cobaan. Budi sempat merugi puluhan juta rupiah karena ulah pedagang daging di pasar. Peristiwa itu tidak membuat Budi patah arang. Ia bangkit dan kini sukses memasarkan daging kambing untuk perusahaan katering.

WALAUPUN Budi Susilo Setiawan punya ilmu peternakan, bukan jaminan bisnis ternaknya bisa berjalan lancar. Usaha ternak kambing Budi lewat Mitra Tani Farm (MT Farm) itu sempat meredup bahkan merugi.
Kerugian itu dialami Budi ketika ia menjadi pemasok daging kambing untuk kebutuhan pedagang daging di pasar. Mulanya bisnis itu berjalan lancar, hingga pada suatu saat pembayaran daging dari pedagang terganggu.

Pedagang daging mengaku kesulitan menjual daging. Bahkan banyak daging kambing milik Budi tidak terjual pada hari itu juga. Kondisi itulah yang membuat pedagang sulit membayar ongkos beli daging.

Gangguan pembayaran daging terjadi terus menerus. Alhasil, jumlah utang pedagang daging itu menumpuk, dan sebagian dari mereka tak kuasa lagi untuk melunasinya. "Kalau saya hitung nilainya bisa Rp 50 juta," terang Budi.

Karena terus-terusan merugi, Budi memutuskan untuk hengkang menjadi pemasok daging kambing ke para pedagang itu. Dia lantas beralih memasarkan daging kambing untuk kebutuhan industri katering.

Dengan sabar Budi menawarkan daging kambing nu ke beberapa pengusaha katering. Kesabaran itu berbuah manis, satu per satu katering mulai membeli daging darinya. Transaksipembayaran dengan penyedia jasa katering temyata jauh lebih aman dan menguntungkan," terang ayah dua anak itu.

Kalau pada tahun 2006 Budi hanya bisa bekerjasama dengan dua usaha katering, kini kerjasama itu telah berkembang menjadi delapan usaha katering di Jabodetabek. Sejak berhasil melakukan kerjasama dengan para pengusaha katering itulah bisnis peternakan Budi kembali pulih. Kini, saban bulan, ia sudah mampu memasarkan minimal 700 ekor kambing.

Sejatinya, bisnis penjualan daging kambing ini memang berat. Budi mengakui, tak mudah menjalin kerjasama dengan para pengusaha Budi menetapkanharga jual dagingberdasarkanberat kambingsaat hidup.katering tersebut. Maklum, "Banyak sekali pesaingnya," ujar Budi.

Namun, Budi menggunakan kiat klasik untuk memenangkan persaingan, yakni dengan memberikan harga khusus. Ia menetapkan hargajual daging berdasarkan berat badan kambing dalam kondisi hidup. Dengan cara itu, "Saya berani menjamin harga daging kambing saya jauh lebih murah," klaim Budi.

Dengan menjual kambing hidup, pengusaha kateringbisa memanfaatkan seluruh bagian kambing. Selain itu, pembeli juga bisa memastikan kebersihan, kualitas kesegaran, dan kesehatan daging kambing. Apalagi, pemilik katering bebas memilih kambing langsung di peternakannya.

Selain itu, untuk memuaskan pelanggan, Budi juga menyediakan layanan antar kambing sampai di tempat pembeli. Ia juga berusaha memudahkan pelanggan dalam bertransaksi. Prinsipnya, "Kami akan memberikan pelayanan terbaik buat pelanggan," ungkapnya.

Nah, setelah sukses berbisnis kambing, Budi tidak lupa akan tugas sosialnya Belakangan ini, ia aktif menjadi pembicara dalam berbagai seminar, diskusi ataupun icorkshop tentang usaha peternakan. Selain itu, Budi juga aktif memberdayakan ekonomi warga, terutama warga di sekitar peternakan MT Farm. Ia rutin berbagi pengalaman beternak dengan warga di Cianipea, Bogor. Ia berharap, warga nanti bisa membuat peternakan terpadu.

Selain memberikan pelatihan, tahun depan nanti, Budi berencana menyalurkan bantuan modal kepada warga Bantuan itu berupa hewan ternak sebanyak 25 ekor. Ia berharap, kambing bantuan itu bisa dikembangkan warga sampai bisa beranak pinak. Hasil peternakan itu nanti akan dipasarkan melalui jaringan MT Farm. "Program ini sudah memasuki tahap uji coba," terang Budi.

Budi memang berharap, kalau program ini sukses, usaha ternak ini menjadi pondasi ekonomi bagi warga Budi memprediksi, permintaan daging di Indonesia bakal tumbuh lebih cepat dari persediaan. "Jika peternak lidak mampii menyuplai dagingnya, tentu pemerintah akan menjawabnya dengan impor," kata Budi.

Sumber : Harian Kontan
Dea Chadiza Syafina


Entri Populer