Halaman

Antara Tahu Organik dan Matematika

 
Bertemu Rudik Setiawan seperti jumpa tempayan tumpah. Ia dengan murah hati berbagi  pemikiran, pengalaman bisnis, teori, bahkan rahasia bisnisnya.  Belum lama bicara, ia minta secarik kertas dan pena. Ia lalu membuat skema konsep bisnisnya, latar belakang teori, nama-nama ahli dibalik teori itu dan  tahun bukunya.



Ia membuat skema bisnis model canvas dari  pakar manajemen Alexander Osterwalder (2010), salah satu  strategi manajemen yang biasa diajarkan pada program pascasarjana. Ia terapkan pada pabrik tahunya. Aksi itu membuat orang lain bisa membaca peta bisnisnya dengan cepat.
Karakternya itu melengkapi kontras antara bidang studi yang ia tempuh, sebagai sarjana Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam, Universitas Brawijaya, Malang, dan  kegiatannya sebagai pengusaha pabrik tahu di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekitar  14 kilometer dari Kota Malang.

Terasa  unik mengamati bagaimana Rudik menggabungkan matematika dan manajemen untuk mengelola pabrik tahu. Matematika tetaplah  kegemarannya. Matematika tak ia lepaskan, karena  dia pun guru Matematika di  madrasah di Singosari.

Lewat jalan itu, sejak tahun 2004  ia memulai bisnis tahu. Saat itu  ia  masih  siswa  Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Malang. Hasilnya, hingga kini ia meraih tujuh  penghargaan  dari kompetisi manajemen usaha kecil menengah (UKM).

Penghargaan membawanya dua kali bertemu  Wakil Presiden Boediono, termasuk hadiah dari Kemenpora berupa perjalanan meninjau UKM tahu di China. Omzet bisnisnya tahun lalu Rp 1,2 milyar, dan tahun ini ia menargetkan  Rp 2,2 milyar dengan 14  karyawan.

Bagi Rudik, ia  bukanlah pengusaha pabrik tahu, tetapi pebisnis tahu. “Saya tak terlibat proses produksi, meski saya bisa membongkar pasang mesin pabrik tahu.  Seperti umumnya pebisnis, saya mencari untung dari tahu. Tetapi  bukan sekadar untung, saya  mengedepankan karakter dan kejujuran.”
Proses produksi tahu miliknya sama  dengan  pabrik tahu lainnya. ”Hanya pemikiran dan konstruksi di balik lahirnya tahu itu yang berbeda,” katanya sambil menunjukkan produknya, tahu organik.

Kecemasan konsumen
Rudik membidik kecemasan  konsumen tahu yang kian sadar kesehatan dan lingkungan.  “Terutama konsumen perkotaan yang belanja di  supermarket. Mereka khawatir  adanya formalin dalam tahu. Konsumen kelompok ini belum  terlayani kebutuhannya mendapatkan sumber protein murah dan  intim dalam menu makanan kita.”

Ia memproduksi tahu organik berbahan baku kedelai organik. ”Kedelai organik itu dari produsennya, dosen IPB (Institut Pertanian Bogor) juga petani kedelai organik. Harganya  Rp 18.500 per kilogram (kg), jauh lebih mahal dibanding kedelai impor Rp 5.500–Rp 7.500 per kg.”
Dibalik kesederhanaan tahu organik itu, prestasi  terpentingnya adalah membangun kepercayaan pasar. Ia mencanangkan strategi zero waste dan open kitchen  di pabrik tahu. Sampah limbah pabrik tahu itu nol. Dapur pabrik  siap dikunjungi siapa pun.

”Semua itu bukan semata saya pro-lingkungan,  tetap ada pertimbangan komersialnya. Pabrik tahu  biasanya dimusuhi warga desa, karena bau dan limbahnya mengotori sungai. Di pabrik saya, limbah tahu yang berisi protein dimasukkan ke sawah orangtua,” ceritanya.

Alhasil, sawah milik orangtuanya bisa menghasilkan   7,5 ton per hektar (ha). Sedangkan sawah tetangga 5,5 ton per ha. Jadilah ampas tahu pabriknya  dipesan  tetangga untuk pupuk dan pengepul pakan sapi.
Rudik juga tak memakai bahan bakar diesel, tetapi motor listrik dengan modifikasi pada mesin giling. Selain hemat, tak ada suara berisik diesel dari pabrik tahunya. Biaya listriknya sebulan Rp 1 juta lebih, sedangkan pabrik tahu lain membayar bahan bakar sekitar Rp 3 juta.

Inovasi itu didorong  logika Matematika yang menguasai cara berpikirnya. Ia juga melakukan modifikasi pada batu pemecah kedelai di pabriknya.

Saat krisis
Tahu organik ia ”temukan” pada 2007, saat terjadi krisis kedelai. Saat itu harga kedelai impor naik dari Rp 3.000 per kg menjadi Rp 5.500. Krisis tahun 2012 menjadikan harga kedelai  menjadi  Rp 8.000 per kg. Padahal 70 persen biaya produksi pabrik tahu ada pada  bahan baku.
Rudik membuat  tahu organik yang pengerjaannya sama dengan  tahu biasa, kecuali bahan kedelainya yang  organik (tanpa pestisida dan bahan kimia). Ia mengiringi produk tahu organik  dengan upaya meyakinkan konsumen pada ”kesehatan”  tahu. Ia pun mendapatkan sertifikat organik dari Kementerian Kesehatan.

Tahu organik buatannya berukuran 16,5 cm x 16,5 cm, untuk membedakan dari tahu biasa yang umumnya 11,5x11,5 cm. Ia melepas produknya sampai ke pasar swalayan di Jakarta.
”Saya diprotes konsumen, mengapa sama-sama tahu (produk) saya tetapi harganya beda,  Rp 4.000 untuk tahu non-organik, dan  Rp 12.000 yang organik. Saya belajar lagi,  lalu saya beri warna label yang berbeda dan konsumen bisa menerima,” katanya.

Meski tahu organik pasarnya relatif jelas, tetapi Rudik tak meninggalkan pembuatan tahu non-organik. Alasan dia, ”Saya  tak mau  melayani konsumen yang menguntungkan saja. Saya juga wajib melayani konsumen tahu biasa, meski  mereka (konsumen tahu non-organik) berdaya beli rendah.”

Waralaba
Rudik  berencana meluaskan usahanya dengan  waralaba. Ia pun membuat tahu bulat dengan konsumen utama anak-anak. Dia melepas tahu bulat seharga Rp 200 per buah kepada pedagang, yang bisa dijual lagi seharga Rp 500 termasuk sausnya.

”Lantaran tahu saya tanpa formalin dan  lebih lembut, jadi anak-anak suka,” katanya.
Tahu bulat dibuat dari irisan pinggir tahu yang tak rapi, lalu dipadatkan dan dibuat bubur tahu di nampan. Sebagian tahu menyusup ke celah-celah nampan, menjadi  lembaran yang tak rapi.   ”Lembaran itu biasanya diikutkan saat dijual, tetapi untuk produk tahu  saya, lembaran itu saya potong. Lalu dibuat   bola tahu, saya goreng. Jadilah produk baru,” katanya.

Rudik tak menggunakan pengawet karena kecepatan pembusukan tahu bisa ditahan  dengan meningkatkan kepadatan tahu. ”Logikanya gampang, tahu padat air sulit masuk pori-pori, maka bakteri pembusuk sulit berkembang. Jadi umur tahu bisa sampai tiga hari. Itu waktu yang cukup untuk memasarkan tahu, tak perlu  sampai tujuh hari.”

Namun kepadatan tahu membutuhkan lebih banyak  bahan baku. ”Kelihatannya rugi, tetapi sebenarnya tidak,” ucapnya. Label tanpa formalin dan  jaminan Dinas Kesehatan pada produk tahu Rudik, membuat  konsumen memilih tahu merek ITRDS (industri tahu Rudik Setiawan).
”Tahu tanpa formalin juga lebih lembut, tidak keras, dan lebih enak,” ucap  Rudik meyakinkan.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
  
Sumber : Kompas Cetak