Halaman

Prospek mobile payment

25/03/2012
Prospek mobile payment

Di indonesia, perkembangan mobile payment akan mengikuti kendala yang di negara-negara maju baik yang sukses maupundalam proses.

Di Indonesia, hampir seluruh bank besar memiliki strategi mobile banking, tetapi belum ada yang memiliki rencana mobile payment. Situasi ini bisa dikatakan situasi wait and see, karena para pemain perbankan belum akan berinvestasi sebelum adanya pergerakan pasar.

Bank Indonesia memiliki rencana menyederhanakan sistem pembayaran di Indonesia, salah satunya dengan e-money atau pre-paid card. Tujuannya agar pembayaran dengan denominasi kecil bisa dilakukan melalui e-money. Program ini telah berlangsung lama. Namun, dari sisi keberhasilan memang masih dirasa kurang. Bila dilihat dari data jumlah penarikan tunai dan pembayaran melalui e-money atau pre-paid card, proporsinya masih kecil.

Pada 2010 perbandingan tarik tunai dan pembayaran melalui e-money atau pre-paid card 0,07% kemudian naik menjadi 0,08% pada 2011. Bila dibandingkan dengan kartu kredit dan debit pada 2011 secara berturut-turut 15,39% dan 7,31%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menyukai pembayaran tunai dibandingkan dengan e-money atau pre-paid card atau kartu pembayaran lainnya.

Dari data riset Frontier Consulting Group, prosentase jumlah individu yang melakukan pembayaran tunai di kota-kota di atas memperlihatkan cash behaviour masih mendominasi dibandingkan dengan nontunai. Harus diakui bahwa merubah perilaku tidaklah mudah. Perubahan ini membutuhkan waktu yang lama. Perubahan perilaku ini setidaknya harus ada unsur pemaksaan, apakah melalui regulasi atau bentuk motivasi lainnya.

Bank Mega menjadikan pre-paid card-nya sebagai satu-satunya alat bayar di Trans Studio. Setidaknya jika jumlah pengunjung per tahun TVans Studio sekitar 100.000 pengunjung maka secara otomatis Bank Mega berhasil memaksa pengunjung untuk menjadi less cash belwviour namun pre-paid ini memiliki merchant yang terbatas.

Kita bisa membayangkan jika itu terjadi di Taman Impian Jaya Ancol dengan jumlah kunjungan per tahun sekitar 15 juta pengunjung, lebih besar dibandingkan dengan Disney di Tokyo dan Hong Kong akan mampu memberikan dampak bagi pembayaran mikro. E-toll milik Bank Mandiri belum mampu memberikan solusi bagi para pemilik kendaraan roda empat yang lewat jalan tol.

Masih banyak pemgemudi kendaraan yang menggunakan tunai dibandingkan dengan e-toll, sementara Bank Mandiri telah mempermudah dari mulai kanal, isi ulang, denominasi yang terjangkau hingga fungsi e-toll tidak hanya sebatas bayar jalan tol, tetapi juga belanja di merchant tertentu.

Kemudian jika perilaku ini belum berubah, ada kemungkinan kurangnya social net benefit dari teknologi ini daripada adanya kegagalan pasar. Pelanggan belum bisa mendapatkan soriflf net benefit ketika menggunakane-toll. Dari hasil riset Frontier Consulting Group, keengganan pelanggan untuk menggunakan pre-paid card adalah keterbatasan merchant.

Apakah kekurangan ini akan diantisipasi oleh para pemain telekomunikasi dengan konsep mobile payment! Mobile payment dengan layanan tambahan memberikan keuntungan maksimal. Konsumen tidak hanya bisa melakukan pembayaran dengan cara auto debit dari rekening tabungan atau kartu kredit, tetapi juga pada saat yang bersamaan pelanggan mampu melakukan aktivitas lainnya, seperti dapat membandingkan harga, mengunduh kartu garansi dan instruksi pemakaian, dan lain-lain.

Fitur mobile payment sangat menjanjikan, bahkan bila dihitung dari tingkat penetrasi smartphone di Indonesia (sekitar 9 juta unit), Indonesia memiliki potensi pengembangan mobile payment. Implikasinya juga pada sistem pembayaran menjadi lebih sederhana.

0,6 2.8 Sanqat mirip

Sampai saat ini, belum ada kerja sama antara industri telekomunikasi dengan industri bank terkait payment system. Industri perbankan terlihat masih fokus pada mobile banking-nya dibandingkan mereka harus berpikir ke mobile payment. Dari beberapa hasil studi Frontier Consulting Group di beberapa negara seperti Norwegia, AS, dan Korea Selatan menunjukkan faktor-faktor kegagalan dan kesuksesan mobile payment sangat mirip.

Di Norwegia, konsep mobile payment sudah dimulai sejak 2001. Di negara ini, penguasa telekomunikasi Telenor Mobile (pangsa pasar 55%) dengan bank terbesar yaitu DnB NOR melakukan kerja sama dan kolaborasi untuk menciptakan konsep mobile payment.

Beberapa kendala dari kerja sama dan kolaborasi ini muncul di perjalanan. Kendala pertama adalah kepercayaan, masing-masing harus memastikan bahwa Telenor tidak akan bergerak di bidang perbankan dan DnB juga tidak akan bergerak di telekomunikasi.

Kendala kedua adalah snaring risk, dan kendala ketiga adalah bisnis model. Ketiga kendala ini berhasil dihilangkan setelah melalui waktu kurang lebih 2 tahun. Sementara di Korea mengalami kendala hampir mirip. Di Korea, pemanfaatan mobile payment sudah sangat lanjut, selain smarphone bisa digunakan untuk payment, juga di-gunakan untuk membandingkan harga antar-menc/ra/tf. Tidak hanya itu, mereka juga bisa melakukan fitting untuk sepatu Adidas dan beberapa merek fashion lainnya tanpa harus datang ke outlet.

Di AS, mobile payment tidak menunjukkan sebuah perkembangan yang signifikan. Walaupun para pemain banking dan teleomunikasi telah menunjukkan keseriusan mereka dalam pengembangan mobile payment di AS.

Beberapa gambaran kegagalan mobile payment di AS yaitu, pertama, pelanggan telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan dengan menggunakan kartu kredit dan debit dibandingkan dengan mobile payment. Kedua, biaya adopsi mobile payment sangat mahal, pelanggan mobile harus mengganti peralatan yang sesuai dengan NFC {near field communication), yaitu berkisar Rp90.000-Rp 135.000. Untuk menJiant harus mengganti biaya NFC reader sekitar Rpl ,8 juta.

Ketiga, di sisi suplai ada masalah koordinasi antara Industri I j telekomunikasi dan perbankan berhubungan dengan standar tek-I nologi dan model bisnis. Koordinasi  diperburuk lagi dengan pihak-pihak II yang terlibat seperti asosiasi kartuy (VISA, MasterCard), vendor aplikasi perangkat lunak, bank, perusahaan telekomunikasi, perusahaan handset, menJwnt, dan pelanggan.

Di indonesia, perkembangan mobile payment akan mengikuti kendala yang di negara-negara maju baik yang sukses maupun dalam proses. Walaupun jumlah smartphone di Indonesia sekitar 9 juta unit, ini belum cukup untuk memberikan gambaran kesuksesan mobile payment di Indonesia.

Menurut Analisa Frontier Consulting Group, barrier paling kuat ada di pemain perbankan. Kita tahu bahwa BCA dan Bank Mandiri sangat agresif mengembangkan EDC di merchant-menhant potensial.

BCA telah mengklain memiliki 100.000 EDC di 90.000-an merchant. Bank Mandiri memiliki sekitar 64.000 EDC di 50.000-an merchant. Kedua bank ini melakukan investasi yang tidak murah untuk menguasai merchant. Keduanya berusaha mengakomodasi kebutuhan merchant dan nasabah dengan cara melakukan program-program retensi.

Pengembangan EDC ini memiliki potensi bisnis yang besar di mata perbankan. Mereka tidak akan melepaskannya. Kita mencoba mengalkulasi, apabila para pemain telekomunikasi mengembangkan mobile payment, salah satu  adalah menJiant dan tingkat adopsi pelanggan (baik dari sisi biaya maupun fitur).

Prediksi kami, tidak akan terjadi kolaborasi antara perbankan dan telekomunikasi dalam kurun waktu 2-3 tahun. Mengingat para pemain besar telah berinvestasi besar-besaran untuk menguasai merchant, jika tiba-tiba mereka berkolaborasi dan bekerja sama untuk mengembangkan mobile payment, hitungannya pasti rumit.

Sumber : Bisnis Indonesia