Halaman

Merintis Usaha Berbekal Dua Peralatan Batik Sederhana

11/01/2012
Profil Deden Supriyadi
Merintis Usaha Berbekal Dua Peralatan Batik Sederhana


Sepeninggal orang tuanya, Deden Supriyadi semakin serius menggeluti usaha pembuatan batik. Dalam waktu singkat, usahanya sudah berkibar. Sempat terlilit utang yang membuatnya nyaris bangkrut, tak membuat Deden patah arang.

DEDEN Supriyadi mulai mengenal kerajinan batik dari orangtuanya sejak kecil. Di hawaii bendera usaha Asep Batik, orangtua Deden membuat aneka motif batik khas Tasikmalaya. Namun, Deden baru bersentuhan langsung dengan batik pertama kali sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 1987.

Saal itu, Deden diminta membantu memasarkan produksi batik. Kebetulan, saat itu orangtuanya sudah memiliki toko bank di Garut, Jawa Barat. "Nah, saya diminta untuk mengurus toko itu," kata Deden.Selama 13 tahun ia mengelola toko tersebut. Ketika bapaknya meninggal di tahun 2.000, Deden terpaksa kembali ke Tasik untuk mengurus usaha pembuatan batik yang telah dirintis sejak tahun 1945.

Toko batik di Garut dijual. "Hasilnya untuk dibagi-bagikan kepada saudara," kenang Deden. Sepeninggalnya bapaknya, usaha pembuatan batik semakin meredup. Aset yang masih tersisa hanya dua buah peralatan batik sederhana, empat orang karyawan, serta uang tunai Rp 3 jutaDalam kondisi yang serba terbatas itu, ia nekat membangun kembali usaha pembuatan balik tersebut, dengan bendera baru bernama Deden Batik.

Untuk modal usaha, ia mendapat pinjaman dari seorang teman dengan sistem bagi hasil. Dalam waktu singkat, Deden Batik sudah mampu berkibar. Usahanya berkembang cukup pesat. Pesanan besar, pertama kali datang dari Pemda Garut yang meminta dibuatkan seragam batik bagi pegawai negeri sipil (PNS i i daerah tersebut. Dari pesanan ini, Deden bahkan dapat membeli satu unit rumah.

Selain batik,

Deden jugamencobamemproduksibusana muslimdi tahun 2003.

Pada 2003, bapak dua anak ini mencoba mengembangkan usahanya dengan memproduksi busana muslim. Untuk bahan pakaian, ia dai iai kait dari seorang produsen tekstil dengan sistem pembayaran di belakang (utang).

Saat itu, ia mendapat bahan pakaian dengan nilai barang mencapai Rp 300 juta Deden lalu memasarkan busana muslim ke sejumlah pasar di daerah Tasikmalaya. Sekitar 100 pedagang pakaian bersedia bekerja sama dengannyauntuk menjual produk tersebut. Kerjasama dengan pedagang itu memakai sistem kredit.

Berjalan dua tahun, usaha dalam bentuk kredit kepada pedagang berjalan lancar dan dapal menambah omzet Deden Balik hingga puluhan juta rupiah.Tapi, seiring berjalannya waktu, cicilan pembayaran dari para pedagang mulai tersendat. Pasalnya, mereka juga menawarkan sistem kredit kepada pembeli.

Karena kredit macet itu, ia juga tidak dapat membayar utang kepada produsen ickstii yang menjadi mitra kerjanya. "Utang saya lebih dari Rp 400 juta," katanya. Terlilil utang ratusan juta, sempat membuat Deden kelimpungan. Sebab, pakaian yang sudah telanjur dipasarkan ke pedagang susah bisa ditarik kembali. Sementara utang harus segera dilunasi.

Demi menutup utang. Deden akhirnya menjual rumahnya seharga Rp 160 juta Sementara sisa utang dibayarnya secara mencicil.Uang yang diperoleh dari menjual rumah, tidak semuanya digunakan untuk membayar utang. Sebagian dipakai buat menambah modal usaha "Kali ini saya hanya fokus ke batik, sepertinya saya memang cocok di situ," ujarnya 

Sumber : Harian Kontan
Muhammad Yazid