Halaman

Awali Sukses dengan Telur Ayam Kampung

29/11/2011
Awali Sukses dengan Telur Ayam Kampung


Setelah gagal menjadi peternak ayam broiler, Bambang mulai melirik ayam kampung. Namun ia memilih tak menjual ayam namun menjual telur ayam kampung. Dengan kemasan yang baik, Bambang berhasil menjual telur 50% lebih tinggi dari telur lainnya. Setelah berdagang telur sukses, Bambang mulai melirik usaha breeding farm.

Hafid Fuad

Bambang Krista adalah contoh peternak sekaligus pebisnis yang sukses menggabungkan teori dan praktek. Maklum, pria berusia 48 tahun ini merupakan alumni Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Bahkan ketika masih kuliah ia kerap dipercaya sebagai asisten dosen untuk beberapa mata kuliah.

Namun, ketika kuliah dulu, Bambang tak pernah bercita-cita menjadi peternak ayam. Bahkan, saat kuliah dia malah tak mengambil mata kuliah tentang unggas. "Saya dulu bercita-cita ingin punya peternakan sapi, seperti di Eropa," ujar Bambang

Walaupun awalnya tidak menyukai ayam, namun selepas kuliah pada 1989 ia terpaksa mulai merintis karir sebagai tenaga ahli di sebuah peternakan ayam broiler di Kramat Jati, Jakarta Timur. Dari situlah Bambang mulai tertarik dengan ayam. Dia melihat perputaran uang dalam bisnis ayam ternyata luar biasa besar.

Bayangkan, saja, dalam waktu 25 hari hingga 40 sejak ayam berumur sehari atau day old chicken (DOC) ayam sudah bisa dipanen dan untung bisa diraih. Selain itu, ibaratnya, pembeli-langsung datang ke kandang ayam alias tak perlu memasarkan.

Namun naas, peternakan ayam broiler itu terpaksa tutup kandang alias bangkrut saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1998 silam. Ketika itu, banyak peternakayam negeri itu gulung tikar lantaran tak mampu membeli pakan yang harganya melenting tinggi sekali. Sementara, "Harga ayam malah melorot menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang turun akibat krisis," terang Bambang.

Setelah peternakan ayam broiler itu gulung tikar dan Bambang kehilangan pekeijaan, ia langsung banting setir menjadi pedagang sembako untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun jadi pedagang tak lama karena pada 1999, Bambang mendapat tawaran dari seorang temannya untuk bekeija di usaha pembibitan ternak atau breeding fa nn.

Meski sudah kembali bekeija, Bambang belum

Bambang tahu,tak banyak pebisnis bermaindi pembibitan ayam kampung.lupa dengan rejeki dari ayam broiler. Karena itu, dia masih beternak ayam ini. Bahkan, jumlah ayam broilemya itu pernah mencapai 100.000 ekor.

Sayangnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lagi-lagi terpaan krisis menghantam peternak. Pada 2003, krisis melanda Asia, peternakan Bambang pun kembali runtuh. Dia rugi besar. Sampai-sampai hartanya ludes untuk menutupikerugian.

Setelah gagal yang kedua ini, Bambang sadar, berter-nak ayam broiler berisiko tinggi. Ia mulai berpikir untuk beternak ayam. kampung. Masalahnya, ketika itu pamor ayam kampung kalali dengan ayam bukan ras (buras) ini.

Namun Bambang tetap nekad. Menurutnya, bagaimanapun ayam kampung lebih lahan penyakit dan biaya perawatannya murah karena tak perlu dengan sistem intensif seperti bertemak ayam broiler.

Menginjak 2008, Bambang mulai mantab dengan pilihannya beternak ayam kampung untuk diambil telurnya "Awalnya sulit untuk mempromosikan telur ayam kampung tersebut," ujar Bambang.

Agar telur laku, Bambang pun membuat kemasan serapi mungkin. Kemasan ini penting agar telur-telur itu bisa dijual di supermarket. Cara ini ternyata jitu, tak sampai setahun, telur ayamkampung kemasan Bambang mulai laris manis karena ia berhasil untuk menjaga kualitas telurnya Selain itu, keuntungan Bambang juga 50% lebih besar dibanding penjual telur lainnya "Dengan pengemasan yang lebih baik, saya bisa untung lebih banyak," ujar Bambang

Sukses di telur, Bambang mulai mengembangkan usaha dengan menjadi pembibit ayam kampung. Memang risiko di bisnis pembibitan lebih besar dibandingkan menjadi peternak. Namun Bambang juga tahu persis tak banyak pebisnis yang bermain di pembibitan ayam kampung. "Karena itu saya yakin bibit saya pasti laku," ujarnya

Dengan menjadi penyuplai bibit, ia tidak perlu bersaing ketat dengan peternak lainnya, namun justru membantu usaha mereka "Bidang breeding/arm masih sangat dibutuhkan peternak," ujar Bambang.

Sumber:Harian Kontan