Halaman

Melanglang Buana Bersama Boneka

Teater boneka menjadi media pendidikan bagi anak-anak serta penyampai pesan filosofis bagi manusia dewasa.AUDITORIUM Lembaga Indonesia Prancis (ILP) mementaskan Teater Boneka, pekan lalu. Adalah Papermoon Puppet Theatre yang beraksi. Pada kesempatan itu, Maria Tri Sulistyani, direktur teater boneka asal Yogyakarta itu, juga berbagi pengalamannya melakukan residensi di New York, Amerika Serikat.

Nama Papermoon memang dikenal di luar negeri. Mereka pernah manggung di Malaysia, Korea Selatan, dan AS, bahkan mendapatkan sambutan positif. Tidak sedikit seniman yang ingin datang ke Indonesia untuk bisa berkolaborasi dengan Papermoon. Tahun 2008 misalnya, Papermoon menggandeng seniman teater boneka dari Meksiko, Australia, dan Prancis untuk manggung bersama di Taman Budaya Yogyakarta.

Pentolan kreatif
Adalah Maria Tri Sulistyani, 29, dan Iwan Effendi, 31,dua orang penting di balik. Papermoon Pup-pet Theatre. Mereka merupakan pasangan suami istri yang juga berkolaborasi dalam berkesenian. Di Papermoon, Maria menjabat sebagai direktur dan Iwan mengambil peran sebagai direktur artistik. Markas mereka mengambil lokasi di Jl Lan-gensuryo KT 11/176 Yogyakarta. Di sana, puluhan boneka terpampang dalam etalase sederhana. Mulai dari boneka yang tingginya 25 cm, 170 cm, sampai 4 meter.

Maria dan Iwan mengaku banyak terinspirasi oleh kelompok teater boneka Wilde Vogel Figuren The-atre dari Jerman dan Snuff Puppets dari Australia. "Awalnya kita tidak membuat teater boneka. Kami hanya membuat studio worksliop dan kelas gratis untuk eksplorasi seni rupa dan pertunjukan karena merasa pendidikan teater anak-anak sangat minim. Jadi, sasarannya memang untuk anak-anak," jelas Iwan.Pelan-pelan, mereka membentuk teater boneka yang merupakan hasil perkawinan antara seni rupa dan seni pertunjukan. Format teater boneka dipilih untuk menjembatani pendidikan teater untuk anak-anak.

Karakter boneka-boneka diciptakan sesuai dengan cerita yang akan dipentaskan. Atau bisa saja justru naskah dibuat setelah mereka membuat boneka yang memiliki karakter tertentu. Terkadang, Papermoon juga memakai boneka-boneka yang sudah ada tetapi dengan kisah ataupun cerita yang berlainan. Intinya, proses kreatif teater boneka sangat disesuaikan dengan kondisi."Cerita teater boneka selalu realis. Kisah tentang kehidupan di era sekarang. Yang membedakan teater ini dengan teater pada umumnya, pemeran-pemerannya adalah boneka," ungkap Maria.

Eksperimen Papermoon atas teater boneka, pada awalnya banyak mengundang hinaan dari kalangan pegiat teater sendiri. Teater boneka kerap disebut sebagai karya separuh tenaga dari karya teater. Tidak dihargai karena dinilai enteng. Karya itu pun dianggap sebagai karya murahan. "Kita tidak peduli dengan cemoohan orang lain. Kita punya jalan dan cara sendiri. Kita bom-bardir terus dengan teater boneka ini," cerita Maria saat memulai penciptaan karya teater bonekanya. Untuk dewasa

Pada 27 Mei 2006, gempa bumi dahsyat melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng). Untuk menghibur para korban gempa yang kehilangan rumah, Papermoon menyelenggarakan ivorkshop dan menggelar pertunjukan ke kampung-kampung di Kabupaten Bantul, DIY, dan Klaten, Jawa Tengah. Selama 1,5 tahun kegiatan zoorksliop dan pertunjukan teater boneka digelar untuk berkegiatanbersama korban gempa. "Kemudian kami evaluasi, teater boneka ternyata mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Tidak hanya usia anak, bahkan usia remaja dan orang tua. Sejak itulah kita konsentrasi untuk mengembangkan teater boneka. Sekarang teater boneka tidak hanya bisa dinikmati oleh anak-anak. Semua usia bisa menikmati teater boneka ini," kisah Iwan.

Maria dan Iwan lantas menjajal menggarap teater boneka dengan naskah serius. Pertama kali mereka mementaskan teater boneka untuk dewasa bertajuk Noda Lelaki di Dada Mona. Skenario cerita itu hanya diperuntukkan remaja 17 tahun ke atas, bukan anak-anak. Cerita itu mengisahkan cinta antara perempuan bernama Mona dan lelaki bernama Mungkas.Kasih cinta di antara mereka harus mendapat penolakan dari kakek Mona bernama Dipo, seorang pensiunan tentara yang memiliki pengalaman buruk pada masa pembantaian aktivis PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam tragedi 1965. Pementasan itu sukses dan diapresiasi masyarakat. Setelah itu, Maria dan Iwan makin ketagihan menggarap naskah serius untuk teater boneka mereka.

Kini sudah lebih dari 30 karya yang telah dipentaskan secara besar-besaran. Papermoon juga diundang mengisi kuliah umum di AS, antara lain di New York University. "Pada akhirnya mereka yang menghina bisa paham bahwa apa yang disampaikannya tidak benar," kata Maria.